Sunat 2

Label: , ,

Landasa Hukum
Dasar hukum khitan adalah firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 123 sbb:
“Kemudian kami wahyukan kepadamu agar mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan dia tidak termasuk golongan orang-orang yang musyrik. ( an-Nahl : 123 ).

Terkait khitan perempuan . Ibnu Qudamah –salah seorang ulama mazhab Hambali- Murid Syekh Abdul Qadir al-Jaelani- Ia berpendapat: bahwa dengan berlandaskan firman Allah " " maka pada perempuan juga harus diperlakukan sama dengan laki-laki. Selain itu dalam Hadist lain menyatakan:
Dalam hadist di atas dinyatakan, bahwa dua Khitan yang bertemu mewajibkan untuk mandi, maka dari itu perempuan itu juga pada dasarnya mereka telah wajib berkhitan. Disamping itu Umar ra menceritakan bahwa ada seorang perempuan sebagai tukang sunat melakukan sunatan sesuai dengan bunyi Informasi Umar:
Artinya : bahwa Umar ra berkata kepada seorang tukang khita perempuan biarkan sedikit / sisakan jangan kau habiskan kalau kau mengkhitan
Lengkapnya hadis ini adalah:

Selain itu didapatkan hadist mauquf yang berbunyi:
Selain itu adanya informasi bahwa memang telah ada tukang khitan perempuan pada zaman Rasul, seperti informasi berikut ini:
Demikian juga pendapat Ibnu Taimiyah –ketika ditanya tentang khitanann perempuan- bahwa seorang perempuan wajib ber-khitan sebagaimana laki, berdasarkan dengan hadist mauquf di atas, dengan tujuan untuk melemahkan syahwat mereka, sesuai dengan ungkapannya:
Dalam Fath al-Bariy dijelaskan berbagai pendapat ulama’ tentang Khitan laki dan perempuan, baik yang mendukung dan tidak dan ujung-unjungnya kembali kepada pada tafsiran ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang kisah nabi Ibrahim. (silahkan periksa kembali), dan akhirnya diungkapkan suatu kesimpulan bahwa semua hadits yang menjadi dasar adanya keharusan khitan adalah masih dapat dipertanyakan, sesuai dengan ungkapannya:
Sementara orang perempuan yang ber-khitan pertama kali adalah seorang budak yang diberikan Hajar kepada Nabi Ibrahim, sebagaimana yang diinformasikan oleh Syaukani dalam Fath al-Qadir dengan ungkapannya:
Karena masih samarnya hukum khitan ini, maka para ulama berbeda pandangan seperti yang dapat dilihat pada ungkapan Ibnu Abidin:
Mengenai khitan ini Rasulullah SAW telah bersabda :
“Dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi saw bersabda :”bersih itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, menggunting kuku, dan mencabut bulu ketiak( HR Bukhari dan Muslim).
Empat: riwayat dari Ibn Abbas :”Khitan itu disunnahkan bagi laki-laki dan dimuliakan bagi perempuan.

Dalam hadist diatas disebutkan tentang khitan sebagai pangkal uhsulilfitrah yang lima karena disebutkan pada pangkal hadist. Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Abdurrazak dari ma’mar dari Tsawus dari bapaknya dari Abdullah bin Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lafaz “kalimat” pada ayat:”wa izibtala ibrahima” adalah lima dikepala dan lima dibadan dikepala adalah mencukur kumis, berkemumur, membersihkan hidung, siwak dan menguraikan rambut. Sedangkan lima hal dibadan adalah memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, khitan, mencabut bulu ketiak dan beristinjak.
Dalam sebuah riwayat yang diambil dari Almarwazi menyatakan: setelah Nabi Ibrahim as melakukan khitan, maka orang yang akan melakukan tawaf harus melakukan khitan dulu.
Ajaran khitan ini juga bisa di jumpai dalam agama Nasrani, dalam kitab Kejadian Baru dikatakan bahwa anak laki-laki harus dikhitan pada umur 8 hari setelah kelahiran, kemudian Yesus di khitan. Dalam kitab Injil dikatakan bahwa Adam sudah disunat. Hal ini bisa dilihat dalam Lukas. Paulus juga mengkhitan orang, tetapi ia mengatakan bahwa mau khitan boleh tapi boleh juga tidak melakukan khitan.
Ada juga beberapa riwayat lain yang menceritakan tentang usia Nabi Ibrahim as pada saat melakukan khitan karena beliau melakukannya sendiri. Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang menyatakan Nabi Ibrahim as berkhitan pada usia 70 tahun atau 120 tahun menurut riwayat yang lain. Dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 123 inilah yang menjadi dalil kewajiban laki-laki berkhitan, sedangkan bagi perempun tidak ada dasar hukumnya dalam syariat Nabi Ibrahim as. Dalam kitab Jami’ul ahkam al-qurtubi,
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat sebagimana yang disebukan diatas, hal ini karena ada sebagian ulama memasukkan kewajiban berkhitan adalah termasuk kewajiban yang diabil dari “millah Ibrahim”, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Bari sbb:
Saqawi, Imam Tajludi diriwayatkan bahwa Siti Aisyah dipestakan khitan ini baik laki maupun perempuan. Dalam hadist dikatakan :”Akhifful khitan… nikah. Hadist ini menurut as-Saukani bahwa hadist ini tidak jelas sanadnya. Tetapi dibawahnya dijelaskan Siti Aisyah berbicara pada konteks khitan perempuan.
Pada zaman Nabi Ibrahim as yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 123 ini menujukkan keumuman, yaitu siapa saja, baik dia laki-laki maupun perempuan melakkukan khitan karea Siti Sarah sudah melakukan sumpah untuk itu beliau berkhitan dan ini selanjutnya menjadi tradisi. Dan barang siapa yang bertawaf maka dia harus berkhitan dahulu. “Millah” dalam ayat ini maksudnya adalah at-tauhid, ini dibuktikan dengan konsep ayat tersebut yang diakhiri dengan kalima : “wama kana minal musyrikin”.

Hukumnya
Al-Qur’an tidak menjelaskan masalah khitan ini, akan tetapi ada beberapa hadist yang menerangkan hal tersebut, yaitu :
Pertama: riwayat dari Ustman bin Kulaib bahwa kakeknya dating kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata.”aku telah masuk Islam” lalu Nabi SAW bersabda :”Buanglah darimu rambut kekufuran dan bekhitanlah”.
Kedua: Riwayat dari Harb bin Ismail:”siapa yang masuk Islam, maka berkhitanlah walaupun sudah besar”. Ketiga riwayat dari Abu Hurairah :
Mengenai hukum khitan ini para ulama berbeda pendapat, diantaranya yaitu:
Menurut Imam Hasan Al-Bishri, Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Mazhab Hambali, yang mengacu pada hadist Rasulullah SAW mengatakan bahwa khitan itu sunnah bagi laki-laki dan dimuliakan bagi perempuan.
Menurut Imam As-Sya’bi, Rabi’ah, Al-Auza’i, Yahya bin Saad Al-Ashari, Malik bin Anas, As-Syafi’I dan Ahmad berpendapat bawhwa khitan ini adalah hukumnya wajib. Bahkan menurut Imam Malik :
”barang siapa yang tidak berkhitan maka tidak boleh jadi imam dan kesaksiannya ditolak”.
Tapi ada riwayat lain bahwa Imam Malik mengatakan bahwa hukumnya sunnah. Ibn Musa dari kalangan Hanabilah berkata bahwa hokum khitan adalah sunnah mu’akkadah. Sedangkan Imam Ahmad bahwa hokum khitan itu adalah wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan.
Adapun praktik khitan bagi perempuan dikalangan masyarakat adalah dimaksudkan sebagai control terhadap seksualitas perempuan. Dengan demikian praktik khitan yang memotong sebagian atau seluruh klitoris, bahkan menjahit labia majora menjadi dibenarkan dalam masyarakat patriakhi.
Sejumlah penelitian menemukan, praktik pemotongan klitoris menyebabkan perempuan mengalami kesulitan orgasme. Dengan teori maqasisdus syar’i yaitu untuk kemaslahatan manusia, maka disimpulkan praktik pemotongan klitoris menyebabkan kemudaratan sehingga tidak absah dilakukan.
Praktik khitan dibeberapa Negara Islam dan umat Islam telah menyalahi praktik khitan perempuan yang telah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW yang hanya sekedar membasuh atau mencolek ujung klitoris dengan jarum. Hal ini diperintahkan langsung oleh Rasulullah SAW kepad tukan sunat perempuan yang bernama Ummu Athiyah, beliau bersabda:”jangan berlebihan, karena adalah bagian kenikmatan perempuan dan kecintaan suami”. Bahkan dalam riwayat lain dikatakan :”sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami.(HR. Abu Daud).
Adapun tafsil hokum khitan dalam mazhan Syafi’i adalah sbb:
1. Wajib bagi laki-laki dan perempuan yang sudah balig, berakal dan mampu menahan sakitnya.
2. wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan, ini pendapat Syafi’I, tetapi dianggap syaz karena berlawanan dengan pendpat jumhur Syafi’iyah walaupun sama dengan pendapat Hanabilah.
3. Tidak wajib pada anak-anak dan orang gila, baik laki-laki atau perempuan, karena mereka belum mukallaf dengan kewajiban syari’at.
4. Haram pada 3 (tiga) orang, yaitu
a) Banci musykil yang memiliki dua alat kelamin, karena tidak boleh melukai tanpa ada keyakinan;
b) Mengkhitan orang yang sudah meninggal walaupun sudah balig;
c) Mengkhitan anak yang dilahirkan dalam keadaan terkhitan.

0 komentar:

Posting Komentar