Jual Mutiara Pilihan


Sedia berbagai macam jenis perhiasan mutiara
asli dari Lombok yang terkenal dengan mutiara yang bagus.
Jika ada yang berhajat, silahkan menghubungi saya ke:
email : kangjay_kgi@yahoo.com/suryaj51@gmail.com
atau telpon : 081805767588/081339517385

Baca Selengkapnya ...

Komoditas unggulan

Pulau Lombok : Komoditas Unggulan Yang Tidak Unggul Dan Bumi Sejuta Janda

Roma Hidayat*

(*adalah Ketua ADBMI Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia berbasis di Lombok Timur)

Kadang di bicarakan sambil ketawa, meskipun sesekali terdengar berita memilukan bahwa ada yang mati karena penyiksaan, cacat seumur hidup, pulang membawa anak tanpa jelas siapa ayahnya. Namun kita lebih banyak tertawa. Mungkin ada yang peduli, tapi sekedar menjadikannya bahan diskusi. Tanpa di sadari, persoalan telah menumpuk menjadi tumpukan mesiu yang siap meledak, menghancurkan tatanan sosial kemasyarakatan di Pulau kecil bernama Lombok ini.Bahkan Dunia pertanian sebagai Pembuluh nadi utama yang memompakan darah kehidupan perekonomian masyarakat Sasakpun mulai terancam oleh Dampak fenomena ini. Menjadi Buruh Migrant atau TKI sudah kedung menjadi cap bahkan brand mark Pulau Lombok dan Lombok Timur khususnya sebagai pengirim utama terbesar di Propinsi NTB. Dan entah sampai kapan/ bahkan jika melihat apa yang telah dilakukan Pemerintah Pusat apalagi Pemerintah Daerah Lombok Timur yang memang kerjaannya tidur , daerah ini sangat berpotensi untuk menjadi sentra produksi Buruh Migran yang murah, yang gampang di “dikerjain”. Dan daerah ini akan menjadi gudang penyimpanan mereka yang cacat, stress, gila dan anak-anak yang tidak mendapatkan kejelasan siapa Ayahnya. Menjadi champion nya pelaksanaan piloting program Bumi Sejuta Janda. Sentra HIV AIDS. Derasnya arus migrasi yang year ono year nya terus meningkat tanpa bisa di bendung ini merupakan bukti dan petunjuk faktual betapa Pengelola Daerah ini telah gagal mengkondisikan situasi sejahtera bagi penghuni Pulau kecil Lombok

Meskipun semua orang , termasuk saya, sepakat kalau masalah ini tidaklah sesederhana pembuatan Serabi otau kue apem. Tapi harus diakui bahwa Memang sepertinya ada masalah anomali respons dan saraf sensitifitas aparatur Pemerintah dan publik dalam masalah ini. Paradoksal The banality of evil, yaitu ketragisan, kejadian luar biasa yang direspons biasa-biasa saja karena saking banyaknya, saking biasanya terjadi. Ketika media memberitakan ada ratusan penumpang sebuah pesawat menjadi korban dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang, masyarakat terhenyak , kaget luar biasa, demikian juga ketika pemberitaan tentang adanya ledakan bom disebuah hotel yang disinyalir kerja teroris dan memakan korban jiwa, publik juga tersentak memberikan atensi yang luar biasa, semua berkomentar bahwa kasus ini sangat perlu ditanggulangi secepat mungkin, tapi tidak demikian halnya ketika di sodorkan data dan informasi bahwa ada ribuan TKI asal Lombok di deportasi setiap tahun, ratusan perempuan asal Lombok menjadi korban trafficking, menjadi korban pemerkosaan majikan dan atau oleh oknum PPTKIS. Pemerintah Lombok Timur, tidak memberikan respon apapun. Apalagi kebijakan. Bahkan lebih hebat lagi,jika kita melihat struktur APBD Pemerintah lombok Timur 2010 di sediakan Rp. 0 (nol) untuk perlindungan BMI.



Lamun Tek ngerep doang jak, Setakat Mangan

Arak mancis te (ada mancis gak), tanya seorang pengojek kepada kumpulan teman yang lain di sebuah Pangkalan ojek di Gerbang utama jalan menuju desa Suntalangu dengan lidah yang fasih, dan semua pengojek di tempat itu mengerti apa yang di cari oleh temannya. Beberapa pengojek yang lain menyodorkan korek api. Setelah itu, mereka terlibat obrolan yang lain mengalir dalam kesehajaan dan keceriaan orang desa. Salah seorang dari mereka yang tengah asik bermain domino celetuk “lha kondem jamak ita maen jelo ine jak” (waduh kondem saya maen hari ini) ungkapnya dengan memelas lalu di sambut gelak tawa yang lain.



Kalau di cari di kamus Bahasa sasak, mancis dan kondem tidak akan pernah di temukan.Dua kosa kata ini , bukanlah bahasa ibu para pengojek itu. Tapi mereka semua faham maksudnya. Karena mereka sebagian besar ternyata pernah hidup di Malaysia menjadi TKI atau Buruh Migrant. Mancis dan kondem adalah bahasa inggris yang di serap menjadi bahasa lokal Malaysia lalu di bawa pulang oleh orang Lombok. Dan sekarang menajdi bahasa lokal , Sasak.

Hampir seratus kosa kata Malaysia telah menjadi bahasa keseharian lokal di Kampung Malaysia di Desa suntalangu, kecamatan Suela Lombok Timur. Itu baru bahasa saja. Akselerasi pembangunan sebagai kontribusi langsung dan tak langsung para Buruh Migrant yang 74 % hanya tamat sekolah Dasar ini tak bisa dinilai dengan jumlah Uang yang mereka kirim saja (remittance berupa uang). Remittance sosial seperti Tata Pemukiman pelosok kampong menjadi relative lebih memenuhi estetika dan kesehatan (catatan, ini standar “kota”). Kemudian Inaq-Inaq (kaum Ibu) buta huruf nun di pelosok kampong yang tak tersentuh “gaul kota” menjadi melek teknologi komunikasi, mahir menggunakan telepon genggam HP sambil mengunyah sirih, parabola, mengenal dunia per Bank kan, memanfaatkan jasa western union, mafhum soal kurs/nilai tukar mata uang, yang jika saja alamiah berjalannya, tanpa bantuan dari proses buruh Migrant ini, maka bisa jadi kondisi seperti sekarang ini baru bisa kita lihat 30 tahun di masa yang akan datang. Tak terkecuali Pendidikan pun terbantukan ratingnya, pencapaian target wajar Sembilan tahun juga terkatrol dengan hasil keringat para Buruh Migrant kita (puncak pengiriman remittance dalam satu tahun terjeadi menjelang tahun baru, musim tanam tembakau dan hari raya iedul fitri).

Untuk mempertajam pemahaman kita atas gambaran kondisi ini, kita kupas kondisi di salah satu desa, Suralaga (dampingan ADBMI dari tahun 2007) ; Di Desa Suralaga sebanyak 13.826 jiwa, dari jumlah tersebut sebanyak 6.532 jiwa laki-laki dan 7.294 jiwa perempuan dari seluruh jumlah penduduk tersebut semuanya beragama Islam dan Jumlah BMI adalah 1.278 (807 Pria, 471 Perempuan) , potensi remitancenya adalah 14 Milyar lebih pada tahun 2009 lalu. Jika saja satu orang Buruh Migran memiliki 4 orang rata-rata anggota keluarga yang di tanggung, maka artinya 1/3 dari penduduk desa ini bergantung pada Proses BMI. Belum lagi kalau menghitung mulut yang menganga lainnya dari mereka yang terlibat rekruetemen di 333 PPTKIS yang ada di NTB saat ini (jika setiap PPTKIS melibatkan 100 orang jaringan rekrueter)

Baca Selengkapnya ...