Bekerja Bagi Perempuan

Bekerja di Luar Rumah Bagi Perempuan
Pada dasarya bekerja adalah merupakan hak azasi setiap manusia, baik dia laki-laki ataupun perempuan. Karena Islam memandang bahwa bekerja adalah merupakan ibadah dan ganjarannya adalah pahala dari Allah SWT. Jika merujuk kepada hadist Nabi SAW. sesungguhnya ada banyak riwayat menyebutkan tentang sahabat perempuan yang bekerja didalam dan diluar rumah, baik untuk kepentingan social, maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Misalnya adalah Asma bin Abu Bakar, isteri sahabat Zaubair bin Awwam, bekerja bercocok tanam, yang terkadang melakukan perjalanan cukup jauh. Dalam kitab hadist Shahih Muslim dikatakan sbb:
قال جابربن عبد الله : طاقت خالتى فأرادت أن تجد نخلها, فزجرهارجل أن تخرج. فأتت النبى صلى الله عليه وسلم, فقال : بلى فجدي نخلك فإنك عسى أن تصدقى أو تفعلى معروفا. (رواه مسلم)
“Jabir bin Abdillah berkata :”Bibiku diceraikan (suaminya), ketika ia hendak (keluar rumah untuk) memetik buah kurma, ia dilarang seseorang karena keluar rumah. Kemudian, ia menemui Rasulullah SAW (menanyakan hal itu) Nabi SAW kemudian menjawab:”Ya, (pergilah) dan petik buah kurma kamu, agar kamu bisa bersedekah atau berbuat baik (kepada) orang lain. (HR. Muslim)

Allah SWT. dalam beberapa ayat Al-Qur’an mewajibkan untuk bekerja dan berlaku bagi manusia baik dia laki-laki maupun perempuan, diantaranya sbb:
Surat al-jumu’ah ayat 10 :
“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk mencari penghidupan (ma’isyah) dan bersamaan dengan perintah melaksanakan shalat. Ayat ini bahkan menyuruh seseorang untuk bertebaran mencari rizki di seluruh muka bumi. Dengan cara ini seseorang akan dimudahkan jalan rezekinya ketimbang hanya berdiam diri dikampung halaman baik laki-laki maupun perempuan. Rasulullah SAW. menganjurkan setiap orang baik laki-laki maupun perempuan untuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Al-Maududi berpendapat bahwa perempuan boleh keluar rumah jika ada keperluan dengan tetap memperhatikan adaf kesopanan dan nilai-nilai syari’at Islam. Timbul pertanyaan, sesungguhnya hak siapa yang melarang perempuan itu keluar rumah? Dalam hal ini yang berhak adalah suami, jika perempuan belum mempunyai suami maka yang berhak adalah orang tuanya. Untuk itu perempuan keluar rumah atau tidak sangat tergantung pada suami atau orang tuanya. Pada dasarnya tidak ada yang berhak melarang seseorang apalagi perempuan untuk bekerja atau mengerjakan apa saja diluar rumah. Para ulama membedakan hukum perempuan bekerja yang dapat mengurangi hak suami, kebanyakan ulama menyatakan hal tersebut tidak ada masalah selama tidak ada yang keberatan antara suami dan isteri atau tidak mengurangi hak suami. Fuqaha’ mazhab Hanafi menyatakan bahwa dalam hal boleh atau tidaknya perempuan bekerja diluar rumah adalah harus dilihat dari ada atau tidak adanya hak suami yang dikurangi oleh isteri (perempuan).
Akan tetapi ada beberapa ibarat dan Hadist Rasulullah SAW. yang mengisyaratkan tentang permasalahan ini. Dalam sebuah ibarat kitab fiqhul Islam Imam Syeh. Dr. Wahbatul Zuhaili menyatakan sbb:
“apakah boleh seorang perempuan melakukan perjalanan untuk melaksanakan haji sunnah atau ziarah atau dagang atau seumpama keduanya (seperti bekerja) bersama beberapa orang perempuan yang terpercaya atau seorang perempuan yang terpercaya. Dalam hal ini ada 2 (dua) pendapat dan kedua pendapat tersebut dinukil oleh Syekh Abu Hamid, Mawardi, al-Muhamily dan lainnya dari ashhab ( ulama-ulama pendukung Syafi’i) yang dibicarakan pada bab Al-Ihshor dan kedua pendapat tersebut dinukil oleh Qadhi Husen dan Al-Bugawy dan Ar-Rofi’I dan dari yang lainnya dari mereka yang pertama: boleh, karena perjalanan tersebut bukan wajib. Pendapat yang kedua dan ini yang shahih dan sesuai dengan ijma’ ulama adalah tidak boleh karena perjalanan tersebut tidak wajib”.

Pada ibarat tersebut diatas ditekankan pada adanya perjalanan, akan tetapi ada isyarat disini pada lafaz “wanahwihima” yaitu seumpama, maksudnya adalah ziarah dan tijarah (bisnis). Hal ini mengisyaratkan tentang adanya aktivitas tijarah (bisnis). Mengacu pada ibarat yang tersebut, maka ada 2 (dua) pendapat ulama dalam hal ini, yaitu :
1. Menurut syekh Abu Hamid, Mawardi dan ulama-ulama lain yang merupakan ulama pendukung mazhab Syafi’i menyatakan boleh hukumnya perempuan melakukan perjalanan dan bisnis serta hukumnya seumpama mengerjakan ibadah haji.
2. Ada kesepakatan para ulama yang dikemukakan dalam kitab ‘Um bahwa tidak boleh perempuan musafir, ziarah atau bekerja karena perjalanan tersebut bukan merupakan perjalanan wajib.
Dalam hal ini boleh saja perempuan bekerja dan ada pula yang menyatakan tidak boleh, Akan tetapi tidak boleh ini bisa gugur apabila ada mahram yang menyertainya. Islam bukan berarti menghalangi perempuan untuk bekerja, malah perempuan diperbolehkan bekerja diluar rumah dengan izin dari suaminya dan perbuatan ini tidak dikatagorikan sebagai perbuatan nusyuz. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya Fiqhul Islam wa ‘adillatuhu sebagaimana ibarat dalam kitab tersebut sbb:
“iza ‘amilat azzaujatu nahaaran au lailan kharijal manzil khattabibati,”
Hal ini juga terdapat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Mesir, bahwa isteri yang bekerja sebagai dokter atau perawat atau lainnya maka hal itu boleh dan bukan termasuk nusyuz dan apalagi ditambah dengan adanya kewajiban nafkah yang melekat padanya. Hal ini juga tidak menyebabkan gugurya hak nafkah untuknya dari suami, dengan catatan bahwa dalam perjalanan ada jaminan keselamatan dari segala fitnah dan hal-hal yang akan merugikan atau mengurangi kehormatannya. Untuk itulah diperlukan adanya mahram yang bisa menjamin hal-hal tersebut. Menurut Yusuf Qardhawi jika kondisi aman, maka baik diperjalanan atau ditempat tujuan, maka hukum perempuan melakukan perjalanan atau bekerja adalah sama dengan melakukan ibadah haji.
Tujuan dari adanya mahram ini tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menjaga kehormatan dan nama baik perempuan, mehindarkannya dari niat jahat orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan menghindari fitnah. Jika tujuan adanya mahram adalah sebagaimana tersebut, maka tentu pada saat ini fungsinya semakin kompleks, tidak hanya dilihat dari siapa yang menyertai kepergian itu, akan tetapi esensinya adalah bagaimana memberikan perlindungan kepada perempuan agar terhindar dari fitnah dan hal-hal yang dapat mengurangi kehormatannya. Bentuk mahram tersebut bukan hanya manusia baik laki-laki maupun perempuan, akan tetapi bisa saja berbentuk aturan-aturan atau perundangan-undangan yang menjamin keselamatan perempuan atau siapa saja.
Ada beberapa hadist dari Rasulullah SAW. yang melarang perempuan keluar rumah untuk bekerja tampa adaya mahram yang mendampingi, yaitu :
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra sbb:
عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لاتسافر امرأة ثلاثا الا ومعها محرم { رواه البخارى ومسلم}وفى رواية مسلم :لا يحل للإمرأة تؤمن بالله واليوم الأخرأنتسافر مسيرة ثلاث ليال الا ومعها ذو محرم
“Diriwayatkan dari Ibn Umar bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:”tidak boleh tiga orang perempuan melakukan perjalanan kecuali bersamanya mahramnya”(HR. Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat Muslim :”tidak boleh bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan seukuran 3 (tiga) malam”.

Hadist yang diriwayatka oleh Ibn Said sbb:
وعن ابن سعيد عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : لا تسافر امرأة يومين الا ومعها زوجها أو ذو محرم {رواه البخارى ومسلم }
“Dari Abi Said dari Nabi SAW beliau bersabda:”tidak boleh seorang perempuan melakukan perjalanan selama dua hari kecuali besertanya suaminya atau mempunyai mahram”.(HR. Bukhari dan Muslim)

Melihat dari penjelasan hadist diatas bahwa sesungguhya perempuan bukan tidak boleh melakukan perjalanan ataupun bekerja diluar rumah, boleh saja dengan catatan ada bersamanya mahram (terjamin keamanan dan keselamatan jiwanya).
Melihat beberapa konteks hadist tersebut diatas maka perempuan dilarang bepergian tampa ditemani oleh muhrimnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Imam al-Kofal dalam mengomentari hadist tersebut sbb:
قال القفال : تحريم سفر المرأة من غير محرم وهو مطلق فى قليل السفر وكثيرة
“seorang perempuan dilarang melakukan perjalanan kecuali bersama mahramnya baik itu perjalanan yang sebentar ataupun waktu yang cukup lama.
Namun demikian ada beberapa hal yang menjadi perhatian para ulama dalam permasalahan ini ada yang mendukung perempuan kerja keluar rumah dan ada yang tidak membolehkannya dengan catatan juga.
Ada beberapa pendapat ulama fiqh dalam masalah ini, diantaranya yaitu:
1) Perempuan yang dalam kondisi ekonomi yang lemah atau kebutuhan yang mendesak diperbolehkan keluar rumah. Perempuan yang tidak bisa mencukupi nafkahnya sendiri maka boleh baginya melakukan perjalanan/kerja kapan saja dia mau walaupn tampa suami ataupun mahram. Hal senada juga dikemukakan oleh Ibrahim Al-Bagawi bahwa perempuan dibolehkan keluar rumah dalam keadaan yang mendesak.
“Allah mengijinkan perempuan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya”. Alasan beliau bahwa Saodah binti Zama’ah pernah keluar rumah untuk suatu keperluan yang kemudian ditegur oleh Umar Ibnu Khattab karena ia tidak segera sembunyi dari penglihatan Umar Ibn Khattab. Atas pristiwa ini Aisyah kemudian mengadu kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW bersabda :”Bahwa Allah memperbolehkan perempuan pergi keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya”. Lanjut menurut Ibnu Katsir :”berangkat ke masjid untuk melaksanakan shalat adalah hajat sehingga isteri boleh keluar rumah.
2). Seorang perempuan boleh melakukan perjalanan atau keluar rumah untuk bekerja dengan tujuan keselamatan dirinya atau ada kekhawatiran atas keselamatan jiwanya, menuntut ilmu ataupun untuk keperluan lainnya selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam maka hal ini tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan nusyuz.
و العلماء تفصل فى ذلك قالوا : ويجوز سفر المرأة وحدها فى الهجرة من دار الحرب والمخا فة على نفسها لتضاء الدين ورد الود يعة والرجوع من النشوز
Dalam ibarat tersebut dijelaskan ada beberapa perbuatan perempuan keluar rumah yang tidak dihukum haram padanya, diantaranya perempuan melakukan perjalanan atau keluar rumah dengan alasan untuk keselamatan diri dan jiwa asalkan melakukan perbuatan yang tidak bertentangan dengan syari’at dll.
3). Dalam kondisi darurat perempuan diperbolehkan keluar rumah, misalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini dikemukakan oleh Imam Al-Qurtuby :”jika tidak dalam kondisi darurat, maka hokum perempuan keluar rumah kembali pada hokum asal pada waktu-waktu normal, yaitu tidak boleh keluar rumah tampa adanya muhrim”.
Secara umum tidak ada kita temukan dalam literature fiqh yang melarang perempuan untuk bekerja, selama ada jaminan keamanan dan keselmatan. Ulama hanya berbeda pendapat mengenai perempuan yang sudah mempunyai suami yang dengan bekerja tersebut dapat mengurangi hak suami.
Ulama membedakan antara pekerjaan seorang perempuan (isteri) yang dapat mengurangi hak suami atau keadaan darurat dan kedua perempuan yang bekerja diluar rumah pada pekerjaan yang tidak mengandung resiko. Pada masalah yang pertama yaitu yang mengurangi hak suami para ulama melarang perempuan untuk keluar sendiri dalam rangka mencari pekerjaan. Dalam pandangan ulama fiqh, suami juga tidak berhak sama sekali untuk melarang isteri bekerja mencari nafkah, apabila nyata suami tidak bisa bekerja mencari nafkah dengan alasan sakit, miskin atau karena alasan yang lainnya. (fatwa Ibnu Hajar, juz IV, hal 205 dan Al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, hal : 573). Lebih tegas dalam fiqh Hambali, seorang suami yang pada awalnya sudah mengetahui calon isterinya sebagai pekerja yang setelah perkawinan juga akan tetap bekerja diluar rumah, suami tidak boleh kemudian melarang isterinya bekerja dengan alasan apapun. (lihat Fiqh al-Islam wa adillatuhu, juz, VII, hal 795).
Dalam kasus yang kedua yaitu jika dalam kondisi darurat, maka para ulama membolehkannya. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ibn Abidin sbb:
و الذى ينبغى تحريره أن يكون منعها من كل عمل يؤدى الى تنقص حقه, أوضرورة أو الى خروجها من بيته. أما العمل الذى لا ضرر فيه فلا وجه طنعها. وكذالك ليس له منعها من الخروج إذاكانت تجرقعملا هو من فروض الكفاية الخاصة بالمرأة مثل طلب العلم.
Melihat pada kausa hukum atau illat ajaran agama bahwa yang dimaksudkan oleh ketentuan tentang muhrim ini adalah adanya garansi atau jaminan keselamatan atas perempuan saat dimana perempuan tersebut dalam kondisi lemah, baik lemah fisik, psikis ataupun ekonomi. Hal senada juga dikemukakan oleh Iman Al-Qulyuby menyatakan bahwa :”kepergian perempuan bersamaan dengan perempuan lain yang terpercaya adalah boleh dengan kata lain mahram laki-laki sudah tidak dibutuhkan lagi ketika perempuan bepergian secara berjama’ah sebab dalam kondisi bersama-sama akan terjamin keselamatan jiwa dan raga serta hartanya”.
Musafir menurut mazhab Maliki, perempuan musafir dengan ijin suami, maka tidak gugur kewajiban suami ini untuk menafkahi. Ibnu taimyah kalau keluar perempuan, maka yang dipentingkan adalah keamanannya. Bahkan menurut Yusuf al-Qardawi, bahwa boleh perempuan keluar rumah untuk bekerja yang penting ada jaminan keamanan dan keselamatan jiwa dan dirinya.

Bagaimana TKI illegal?
Bekerja bisa saja hukumnya adalah sunnah, makruh dan bisa juga jatuhnya haram. Dalam hal bekerja diluar negeri yang membutuhkan berbagai perlengkapan dokumen sebagai syarat utama. Untuk itu jika tidak memiliki, maka mereka haram untuk pergi bekerja karena tidak ada jaminan keselamtan yang diberikan oleh Negara. Mereka sudah melanggar ketentuan yang dibuat oleh pemerintah, maka jika tidak taat kepada pemerintah yang sah, itu berdosa dan haram hukumnya.
Hal ini berdasrkan pada firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59 sbb:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Dalam ayat tersebut Allah SWT mewajibkan kepada kita sebagai umat Islam untuk taat kepada Allah, Rasul dan pemerintah yang sah.

0 komentar:

Posting Komentar