Jual Mutiara Pilihan


Sedia berbagai macam jenis perhiasan mutiara
asli dari Lombok yang terkenal dengan mutiara yang bagus.
Jika ada yang berhajat, silahkan menghubungi saya ke:
email : kangjay_kgi@yahoo.com/suryaj51@gmail.com
atau telpon : 081805767588/081339517385

Baca Selengkapnya ...

Komoditas unggulan

Pulau Lombok : Komoditas Unggulan Yang Tidak Unggul Dan Bumi Sejuta Janda

Roma Hidayat*

(*adalah Ketua ADBMI Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia berbasis di Lombok Timur)

Kadang di bicarakan sambil ketawa, meskipun sesekali terdengar berita memilukan bahwa ada yang mati karena penyiksaan, cacat seumur hidup, pulang membawa anak tanpa jelas siapa ayahnya. Namun kita lebih banyak tertawa. Mungkin ada yang peduli, tapi sekedar menjadikannya bahan diskusi. Tanpa di sadari, persoalan telah menumpuk menjadi tumpukan mesiu yang siap meledak, menghancurkan tatanan sosial kemasyarakatan di Pulau kecil bernama Lombok ini.Bahkan Dunia pertanian sebagai Pembuluh nadi utama yang memompakan darah kehidupan perekonomian masyarakat Sasakpun mulai terancam oleh Dampak fenomena ini. Menjadi Buruh Migrant atau TKI sudah kedung menjadi cap bahkan brand mark Pulau Lombok dan Lombok Timur khususnya sebagai pengirim utama terbesar di Propinsi NTB. Dan entah sampai kapan/ bahkan jika melihat apa yang telah dilakukan Pemerintah Pusat apalagi Pemerintah Daerah Lombok Timur yang memang kerjaannya tidur , daerah ini sangat berpotensi untuk menjadi sentra produksi Buruh Migran yang murah, yang gampang di “dikerjain”. Dan daerah ini akan menjadi gudang penyimpanan mereka yang cacat, stress, gila dan anak-anak yang tidak mendapatkan kejelasan siapa Ayahnya. Menjadi champion nya pelaksanaan piloting program Bumi Sejuta Janda. Sentra HIV AIDS. Derasnya arus migrasi yang year ono year nya terus meningkat tanpa bisa di bendung ini merupakan bukti dan petunjuk faktual betapa Pengelola Daerah ini telah gagal mengkondisikan situasi sejahtera bagi penghuni Pulau kecil Lombok

Meskipun semua orang , termasuk saya, sepakat kalau masalah ini tidaklah sesederhana pembuatan Serabi otau kue apem. Tapi harus diakui bahwa Memang sepertinya ada masalah anomali respons dan saraf sensitifitas aparatur Pemerintah dan publik dalam masalah ini. Paradoksal The banality of evil, yaitu ketragisan, kejadian luar biasa yang direspons biasa-biasa saja karena saking banyaknya, saking biasanya terjadi. Ketika media memberitakan ada ratusan penumpang sebuah pesawat menjadi korban dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang, masyarakat terhenyak , kaget luar biasa, demikian juga ketika pemberitaan tentang adanya ledakan bom disebuah hotel yang disinyalir kerja teroris dan memakan korban jiwa, publik juga tersentak memberikan atensi yang luar biasa, semua berkomentar bahwa kasus ini sangat perlu ditanggulangi secepat mungkin, tapi tidak demikian halnya ketika di sodorkan data dan informasi bahwa ada ribuan TKI asal Lombok di deportasi setiap tahun, ratusan perempuan asal Lombok menjadi korban trafficking, menjadi korban pemerkosaan majikan dan atau oleh oknum PPTKIS. Pemerintah Lombok Timur, tidak memberikan respon apapun. Apalagi kebijakan. Bahkan lebih hebat lagi,jika kita melihat struktur APBD Pemerintah lombok Timur 2010 di sediakan Rp. 0 (nol) untuk perlindungan BMI.



Lamun Tek ngerep doang jak, Setakat Mangan

Arak mancis te (ada mancis gak), tanya seorang pengojek kepada kumpulan teman yang lain di sebuah Pangkalan ojek di Gerbang utama jalan menuju desa Suntalangu dengan lidah yang fasih, dan semua pengojek di tempat itu mengerti apa yang di cari oleh temannya. Beberapa pengojek yang lain menyodorkan korek api. Setelah itu, mereka terlibat obrolan yang lain mengalir dalam kesehajaan dan keceriaan orang desa. Salah seorang dari mereka yang tengah asik bermain domino celetuk “lha kondem jamak ita maen jelo ine jak” (waduh kondem saya maen hari ini) ungkapnya dengan memelas lalu di sambut gelak tawa yang lain.



Kalau di cari di kamus Bahasa sasak, mancis dan kondem tidak akan pernah di temukan.Dua kosa kata ini , bukanlah bahasa ibu para pengojek itu. Tapi mereka semua faham maksudnya. Karena mereka sebagian besar ternyata pernah hidup di Malaysia menjadi TKI atau Buruh Migrant. Mancis dan kondem adalah bahasa inggris yang di serap menjadi bahasa lokal Malaysia lalu di bawa pulang oleh orang Lombok. Dan sekarang menajdi bahasa lokal , Sasak.

Hampir seratus kosa kata Malaysia telah menjadi bahasa keseharian lokal di Kampung Malaysia di Desa suntalangu, kecamatan Suela Lombok Timur. Itu baru bahasa saja. Akselerasi pembangunan sebagai kontribusi langsung dan tak langsung para Buruh Migrant yang 74 % hanya tamat sekolah Dasar ini tak bisa dinilai dengan jumlah Uang yang mereka kirim saja (remittance berupa uang). Remittance sosial seperti Tata Pemukiman pelosok kampong menjadi relative lebih memenuhi estetika dan kesehatan (catatan, ini standar “kota”). Kemudian Inaq-Inaq (kaum Ibu) buta huruf nun di pelosok kampong yang tak tersentuh “gaul kota” menjadi melek teknologi komunikasi, mahir menggunakan telepon genggam HP sambil mengunyah sirih, parabola, mengenal dunia per Bank kan, memanfaatkan jasa western union, mafhum soal kurs/nilai tukar mata uang, yang jika saja alamiah berjalannya, tanpa bantuan dari proses buruh Migrant ini, maka bisa jadi kondisi seperti sekarang ini baru bisa kita lihat 30 tahun di masa yang akan datang. Tak terkecuali Pendidikan pun terbantukan ratingnya, pencapaian target wajar Sembilan tahun juga terkatrol dengan hasil keringat para Buruh Migrant kita (puncak pengiriman remittance dalam satu tahun terjeadi menjelang tahun baru, musim tanam tembakau dan hari raya iedul fitri).

Untuk mempertajam pemahaman kita atas gambaran kondisi ini, kita kupas kondisi di salah satu desa, Suralaga (dampingan ADBMI dari tahun 2007) ; Di Desa Suralaga sebanyak 13.826 jiwa, dari jumlah tersebut sebanyak 6.532 jiwa laki-laki dan 7.294 jiwa perempuan dari seluruh jumlah penduduk tersebut semuanya beragama Islam dan Jumlah BMI adalah 1.278 (807 Pria, 471 Perempuan) , potensi remitancenya adalah 14 Milyar lebih pada tahun 2009 lalu. Jika saja satu orang Buruh Migran memiliki 4 orang rata-rata anggota keluarga yang di tanggung, maka artinya 1/3 dari penduduk desa ini bergantung pada Proses BMI. Belum lagi kalau menghitung mulut yang menganga lainnya dari mereka yang terlibat rekruetemen di 333 PPTKIS yang ada di NTB saat ini (jika setiap PPTKIS melibatkan 100 orang jaringan rekrueter)

Baca Selengkapnya ...

Pengajian Akbar

“Laki-laki terhormat adalah
Laki-laki yang memperlakukan perempuan dengan mulia”

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13).

Merubah paradigma berfikir masyarakat tentang perempuan memerlukan waktu yang panjang dan penuh dengan liku, konsep Islam pada dasarnya sangat mengagungkan perempuan dan memandang laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas yang sama untuk menjadi apapun. Islam bahkan menyatakan bahwa perempuan adalah tiang negara, kenapa sekarang ini kita melihat banyaknya kekacauan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini disebabkan karena kita belum memperlakukan perempuan dengan mulia dan baik. Laki-laki yang mulia adalah yang memuliakan perempuan, jika ada laki-laki yang menyakiti perempuan, maka dia adalah laki-laki yang hina dina di hadapan Allah SWT. Perempuan harus diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan bisa menjadi apapun, jika diberikan kesempatan yang sama dalam pendidikan dll. Kewajiban menyusui anak, memasak dan urusan rumah tangga lainnya adalah kewajiban laki-laki, bukan perempuan hal ini di ungkapkan oleh Bapak TGH. Hasanain Juaini, LC, SH, MH yang di adakan di Pondok Pesantren Putri Nurul Haramain Putri NW Narmada, minggu 20 Desember 2009 pukul 09.00 wita. Pengajian akbar ini adalah hasil kerjasama LBH APIK NTB, We Can NTB dan Ponpes Haramain NW Narmada dengan ketua paniti Surya. Dihadiri oleh 1000 an orang jama’ah yang terdiri dari santri, wali santri dan masyarakat sekitar Ponpes.
Sementara itu dalam sambutan oleh Beauty Erawati, SH, MH, direktur eksekutif LBH APIK NTB menyatakan :”saya kaget dengan begitu banyaknya peserta yang hadir dalam pengajian akbar kali ini, karena jarang sekali kami menghadiri pengajian yang di ikuti oleh begitu banyak jama’ah, kami sangat bangga dan berterimkasih kepada Bapak TGH. Hasanain yang telah memfasilitasi pengajian ini. LBH APIK NTB selama ini bergerak dan berjuang guna pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Sering muncul pertanyaan dari bapak-bapak, kenapa hanya perempuan saja? Kita tahu bahwa berdasarkan data dan fakta di dunia maupun di Indonesia yang menjadi korban 99,99 % adalah perempuan. LBH APIK sejak tahun 1999 telah menangani ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan dan yang dominan adalah kasus perselingkuhan suami dan poligami. Dalam poligami harus ada ijin tertulis dari isteri pertama di pengadilan agama. Banyak juga kasus perdagangan orang, bapak/ibu harus waspada terhadap hal ini karena biasanya pelakunya adalah orang terdekat kita, modusnya, anak diimingi dengan gaji besar, dijanjikan kerja di restoran akan tetapi kenyataannya mereka di suruh keja sebagai PS plus di kafe-kafe. Kita juga banyak menerima kasus sodomi yaitu persetubuhan yang dilakukan terhadap anak laki-laki, nah ini banyak terjadi di daerah wisata semisal Senggigi”, ungkapnya.
Tidak lupa beauty juga mengenalkan metode baru dalam kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, metode ini di namakan We Can (kita Bisa), metode ini di adopsi dari India, mirip MLM yaitu antar individu, jadi kita berharap setiap orang yang hadir dalam pengajian ini akan menyampaikan dan mengajak orang lain untuk anti kekerasan terhadap perempuan, tambahnya.
Pengajian akbar kali ini juga disemarakkan dengan demo perakitan kompoter oleh santriwati, demo ini sempat mencengangkan jama’ah yang hadir karena santriwati yang notabene perempuan mampu merakit komputer hanya dalam waktu 7 menit, bahkan salah seorang santriwati bisa merakit hanya dalam waktu 5 menit saja, luar bisa potensi yang dimiliki oleh santriwati dan pastinya tidak kalah dengan santri laki-laki, ungkap salah seorang guru.

***


Baca Selengkapnya ...

Beberapa Hal tentang Gender

Membedah Gender

Disusun oleh: Dini Anitasari Sabaniah

Teori Dasar Tentang

Dalam Memahami berbagai persepsi masyarakat yang berbeda-beda tentang konsep gender, terlebih dahulu mari kita bersama-sama memahami bagaimana pandangan yang berbeda itu muncul. Khusus untuk kondisi sosial budaya bangsa Indonesia yang mengalami sejarah panjang di masa penjajahan Belanda dan Jepang, tidak bisa dilupakan bahwa peraturan-peraturan penjajah sangat mewarnai kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Secara umum di bawah ini akan dibahas teori-teori yang mendasar persepsi masyarakat terhadap gender. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut:

1. Teori Kodrat Alam (Alamiah)

Perbedaan Biologis yang membedakan jenis kelamin dalam memadang gender, telah melahirkan dua teori besar, yaitu ‘teori nature’ dan ‘teori kodrat’. Teori nature memandang perbedaan gender sebagai kodrat alam (alamiah) yang tidak perlu dipermasalahkan.

Teori kodrat alam memandang bahwa pemilihan peran sosial antara perempuan dianggap sebagai kejadian yang alamiah. Seperti dikemukakan bahwa “selama berabad-abad diyakini bahwa sifat-sifat, peran sosial, dan status yang berbeda dari laki-laki dan perempuan dalam masyarakat ditentukan oleh biologis (yaitu jenis kelamin), bahwa hal itu bersifat alamiah sehingga tidak dapat diubah. Teori kodrat alamiah mengacu kepada kodrat manusia secara alami, dan manusia harus menerimanya.

Teori ini memandang laki-laki terlahir sebagai laki-laki dan perempuan, dalam penampilan fisik, fungsi fisik secara biologis, dan peran sosialnya. Dan apabila penampilan fisik, fungsi serta peran masing-masing dipertukarkan, maka dianggap ada yang tidak beres pada orang yang bersangkutan.

Perempuan yang memiliki kodrat fisik berkaitan dengan fungsi reproduksi (4M: menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui dengan ASI) dianggap sangat berkaitan dengan berkembangnya perangai psikologis yang dibutuhkan untuk mengasuh anak yang dilahirkannya, seperti perangai keibuan yang menuntut sikap halus, penyabar, lemah lembut dan kasih sayang. Perempuan dengan perangai yang lemah lembut dan penuh kasih sayang mengharuskannya untuk mengasuh anak dan membereskan semua urusan rumah tangga. Sedangkan lawan jenisnya yang terlahir sebagai laki-laki yang secara kodrati memiliki ciri fisik dan biologis seperti mampu memproduksi sperma, berjakun, pada umumnya berkumis dan berjenggot dipandang merepresikan fisik laki-laki yang kuat dan agresif. Kondisi fisik yang kuat dan cenderung agresif dianggap akan berdampak pada perangai psikologis yang lebih tegar, lebih tenang, keras dan bahkan kasar. Laki-laki dengan fisik dan perangai kuat dan cenderung kasar lebih dianggap layak untuk melakukan kegiatan di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga sekaligus memberi perlindungan terhadap semua anggota keluarganya.

Hubungan patriakhi yang membagi peran perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik, secara turun temurun telah diyakini kebenarannya dan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan budaya tersebut melalui pembiasan budaya dan adat istiadat sejak anak dilahirkan. Kemudian secara estapet generasi muda menerimanya tanpa kritik dan keraguan

2. Teori Kebudayaan

Teori ini disebut Teori Kebudayaan karena memandang gender sebagai akibat dari konstruksi budaya. Seperti yang dikemukakan Kamla Bhasin, 2002 “berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat biologis, identitas gender dari perempuan dan laki-laki ditentukan secara psikologis dan sosial yang berarti secara historis dan budaya”. Juga dikemukakan oleh Nasarudin Umar, 1999 teori kebudayaan atau teori nurture memandang perbedaan gender sebagai hasil rekayasa budaya dan bukan kodrati, sehingga perbedaan gender tidak berlaku universal dan dapat dipertukarkan.

Teori ini tidak setuju bahwa pemilahan dan pembedaan peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan kodrat alam. Achmad Muthali’in, 2001 menyebutkan bahwa “faktor biologis tidak menyebabkan keunggulan laki-laki terhadap perempuan, pemilahan sekaligus pengunggulan terhadap laki-laki disebabkan karena elaborasi kebudayaan terhadap biologis masing-masing”. Dengan demikian pembentukan sifat yang berbeda yang disebut dengan sifat-sifat feminin dan maskulin merupakan hasil dari proses sosial budaya masyarakat bahkan bisa lebih khusus lagi yaitu dapat dibentuk melalui pendidikan dan latihan.

Teori kebudayaan yang memandang gender sebagai hasil dari proses budaya masyarakat yang membedakan peran sosial laki-laki dan perempuan sangat banyak pengikutnya. Semua pejuang kesetaraan gender berpandangan bahwa gender bukan kodrati tetapi gender adalah hasil dari proses budaya yang diwariskan secara turun temurun. Implikasinya, gender atau pemilahan peran sosial berdasarkan jenis kelamin dapat dipertukarkan, dapat dibentuk dan dapat dilatihkan.

3. Teori Fungsionalisme Struktural

Teori Fungsionalisme Struktural menyoroti bagaimana terjadinya masalah gender itu muncul, dan mengarah kepada bagaimana gender dipermasalahkan . Teori ini menganggap bahwa “masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Masing-masing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan dan harmoni, dan bila terjadi kesalahan fungsi dari salah satu bagian struktur akan melahirkan gejolak” (mansour Faqih, 1996).

Teori ini memandang bahwa laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari struktur nilai dalam kehidupannya di masyarakat. Masyarakat adalah merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang sangat terkait, masing-masing bagian akan secara terus menerus mencari keseimbangan dan harmoni. Adanya gejolak merupaan indikator adanya kesalahan fungsi dari salah satu bagian struktur nilai di masyaakat. Selama tidak ada gejolak dalam masyarakat, berarti pemilahan peran menurut jenis kelamin perlu dipertahankan. Namun demikian apabila ada gejolak, atau pertentangan dalam memandang pemilahan peran sosial laki-laki dan perempuan, berarti diperlukan pemecahan untuk mencapai keseimbangan. Gejolak tersebut sebagai akibat dari adanya kesalahan fungsi dalam struktur atau tatanan kehidupan di masyarakat yang harus segera diselesaikan. Adanya gejolak yang menunut “kesetaraan gender”, berarti struktur dan fungsi sosial lama yang berlaku di masyarakat perlu diperbaiki, karena dianggap tidak sesuai atau terjadi penyimpangan.

Berdasarkan teori ini, munculnya tuntutan untuk kesetaraan gender dalam peran-peran sosial di masyarakat, sebagai akibat adanya perubahan struktur nilai sosial ekonomi masyarakat. Pada masyarakat pra-industri, laki-laki berperan sebagai pencari nafkah (pangan, sandang dan perumahan), dan perempuan berperan sebagai pengurus rumah tangga dan anak-anak. Berbeda dengan masyarakat kapitalis, di jaman industrialisasi yang lebih mementingkan materi, dan kondisi masyarakat sangat ketergantungan terhadap uang. Menurut Nasarudin Umar, 1999, “dalam era globalisasi yang penuh dengan bebagai persaingan, peran seseorang tidak lagi mengacu kepada norma-norma kehidupan sosial yang lebih banyak mempertimbangkan jenis kelamin, akan tetapi ditentukan oleh daya saing dan keterampilan.

4. Teori Evolusi

Teori evolusi mempengaruhi hampir semua teori tentang perubahan sosial, serta berpengaruh terhadap pemikiran modern. Seperti dikemukakan Mansour Fakih, 1996 bahwa “... kehidupan masyarakat bergerak dari masyarakat miskin non-industri, primitif, akan berevolusi ke masyarakat industri yang lebih komplek dan modern”.

Berdasarkan teori evousi bahwa semua peristiwa yang terjadi di jagat raya ini tidak secara otomatis terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi mengalami proses evolusi atau perubahan-perugahan yang berjalan secara perlahan tetapi pasti, terus menerus tanpa henti. Proses evolusi itu menuntut semua makhluk yang ada di jagat raya untuk melakukan adaptasi dengan berbagai perubahan apabila tidak ingin mengalami kepunahan.

Demikian juga dengan manusia yang secara terus menerus harus mau menyesuaikan diri dengan perubahan alam. Teori ini dalam kaitannya dengan konsep gender adalah memandang bahwa kesetaraan gender merupakan gejala alam atau tuntutan alam yang menghendaki adanya kesetaraan gender, yang harus direspon oleh umat manusia dalam rangka adaptasi dengan alam.

Berdasarkan teori evolusi, pembagian tugas dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan pada jaman dahulu tidak pernah dipermasalahkan. Pembagian tugas dan tanggungjawab antara laki-laki mencari nafkah dan perempuan memasak di rumah untuk kondisi jaman dahulu dianggap pembagian peran yang sangat adil. Di mana saat itu pengertian mencari nafkah tidak dapat disederhanakan atau disamakan artinya dengan mencari uang, tetapi pengertian mencari nafkah adalah mencari kebutuhan pangan, sandang dan perumahan yang sebenarnya. Pengertian mencari bahan pangan adalah mencangkul, menanam, baru panen atau mencari ikan disungai atau laut, berburu binatang. Mencari buah harus naik pohon, mencari bahan pakaian juga harus menanam kapas, setelah dipanen baru ditenun. Mencari bahan perumahan juga harus pergi ke hutan menebang pohon, mengangkut, dan membuatnya menjadi bahan bangunan sampai dibuat menjadi bangunan (rumah).

Pengertian mencari nafkah yang penuh resiko pada saat itu dianggap lebih cocok dan adil menjadi tanggungjawab laki-laki dengan alasan untuk melindungi tugas perempuan yang berkaitan dengan fungsi reproduksi yaitu mengandung, melahirkan dan menyusui, yang tidak bisa digantikan oleh laki-laki. Tujuan awal patriatisme ini, bukan untuk mendominasi kaum perempuan, tetapi untuk menjaga agar perempuan tidak terganggu dalam menjalankan tugas yang lebih penting (reproduksi).

Teori evolusi memandang bahwa pembagian peran seperti di atas, tidak selamanya akan berlaku secara abadi, karena secara perlahan-lahan (evolusi) semuanya akan berubah termasuk pemilahan peran antara laki-laki dan perempuan. Teori ini terbukti bahwa sekarang pengertian mencari nafkah tidak perlu dalam pengertian seperti dijelaskan di atas, tetapi bisa disederhanakan dengan pengertian mencari uang. Dengan pegertian tadi, untuk mendapatkan kebutuhan sandang, pangan dan perumahan dapat dilakukan dengan sangat mudah dengan cara ditukar (dibeli) dengan uang. Bila mencari nafkah diartikan dengan mencari uang, maka semua orang tanpa kecuali baik perempuan maupun laki-laki akan bisa melakukannya. Dengan demikain muncullah tuntutan adanya kesetaraan gender, yang menurut teori ini merupakan tuntutan alam yang disebakan adanya perubahan alam yang berlaku di masyarakat yang memungkinkan peran laki-laki dan perempuan bisa sama atau dipertukarkan. Bila kondisi ini dapat dianggap sebagai tuntutan alam, maka manusia harus segera menyesuaikan diri agar tidak terkena seleksi alam.


Proses Budaya Penyebab Kesenjangan Gender

Berdasarkan penjelasan di atas, dari beberapa teori dasar gender mengakui bahwa gender dibentuk melalui proses budaya masyarakat melalui pembiasaan, sosialisasi budaya dan pewariasan budaya sejak anak dilahkan ke dunia. Ajaran budaya yang turun temurun diwariskan dikemas dalam bentuk tata krama sosial, aturan sopan santun dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, proses pewarisan budaya paling efekif adalah berupa sosialisasi budaya secara langsung diterapkan dalam praktek kehidupan di masrayakat dan dicontohkan oleh orang tua.

Menuru Ahmad Muthali’in, 2001 bahwa pembudayaan gender melalui tuntutan sosial budaya yang membentuk tahapan-tahapan yang mengakibatkan bias gender, bias gender tersebut tercermin dalan berbagai bentuk, yaitu: 1) menentukan sifat-sifat feminin dan maskulin; 2) menentukan peran sosial domestik dan publik; 3) berkembang posisi dominasi dan ter-suborinasi. Ketiga tuntutan budaya tersebut bukan secara alamiah terjadi dan merupakan krorat manusia tetapi lebih disebabkan karena representasi budaya.

1. Sifat Feminin dan Maskulin

Sifat-sifat feminin dan maskulin bukanlah pembawaan kodrat. Sifat feminin dan maskulin bisa dipertukarkan atau dihilangkan, artinya perempuan bisa saja tidak feminin dan maskulin begitu juga dengan laki-laki. Secara fisik antara perempuan dan laki-laki memang terdapat perbedaan, dimana perempuan memiliki organ tubuh yang berpotensi untuk keperluan reproduksi seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui dengan ASI, sedangkan laki-laki memiliki organ tubuh yang berpotensi untuk menghasilkan sperma untuk membuahi sel telur dalam rahim perempuan. Tetapi yang membuat sifat-sifat feminin dan maskulin lebih disebabkan karena faktor budaya daripada faktor fisik yang biologis tersebut yang memang terdapat perbedaan.

Proses pembudayaan sifat-sifat feminin dan maskulin dapat tersosialisasi melalui pembedaan beberapa hal: bentuk pakaian, model potongan rambut, perlakuan, sebutan-sebutan atau bahasa yang berbeda untuk anak perempuan dan anak laki-laki, tatakrama dalam kehidupan bermasyarakat (berekspresi, bertutur kata, dan berprilaku). Dengan perbedaan-perbedaan tersebut anak mengidentifikasikan dirinya dengan orang dewasa sebagai idolanya,lengkap deengan sifat-sifatnya. Anak perempuan mengidentifikasikan dirinya kepada ibunya sebagai figur idolanya, seperti ingin cantik, ingin lemah lembut dan penyayang seperti ibu. Sedangkan anak laki-laki mengidentifikasikan dirinya dengan orang dewasa sebagai idolanya dengan segala sifat-sifatnya, seperti ingin gagah seperti jendral.

Lahirnya sifat feminin dan maskulin yang sangat menentukan adalah karena adanya contoh sifat-sifat orang dewasa yang dapat dilihat dan ditiru pada kehidupan sehari-hari kemudian ditambah dengan arahan dari orang dewasa. Selanjutnya sangsi sosial harus dihadapi, berupa celaan, cemoohan, atau bahkan teguran apabila tidak mematuhi aturan atau penyimpangan dari keharusan norma budaya yang berlaku. Disamping itu ada semacam budaya daerah yang tertuang dalam peribahasa atau ilustrasi-ilustrasi yang jelek apabila anak tidak bisa bersifat feminin atau maskulin. Khususnya bagi anak perempuan, bahwa sifat feminin itu pada awalnya berkembang sebagai akibat pembiasaan atau pemaksaan, kemudian disadari sebagai kebutuhan agar tidak mendapat kesulitan dalam bemasyarakat. Bagi anak perempuan yang mampu menampilkan sifat feminin dari masyarakat akan mendapatkan pujian, bahkan status sosial (kehormatan) seorang perempuan dianggap tergambar dari sifat feminin tadi.

2. Pembagian peran publik dan domestik

Seperti layaknya sifat feminin dan maskulin, pemilihan peran publik dan domestik juga merupakan proses budaya. Sejak kecil anak diperkenalkan dengan mainan-ainan yang merupakan miniatur dari pekerjaan-pekerjaan orang dewasa dengan peran dan fungsi yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Anak perempuan diberikan mainan boneka sebagai miniatur bayi, kemudian diberikan miniatur alat-alat masak. Mainan anak perempuan sudah mencerminkan peran domestik perempuan, yang mempresentasikan peran sosialnya kelak pada saat anak sudah menjadi dewasa diharapkan yang bersangkutann pandai mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik tersebut. Jenis mainan sebagai alat sosialisasi budaya, dimana anak kelak akan melakukan simulasi pekerjaan mengasuh dan menyayangi bayi terhadap boneka, dan simulasi pekerjaan memasak dengan miniatur alat memasak.

Kepada anak laki-laki sejak kecil diberikan mainan-mainan yang berupa miniataur peralatan kerja orang dewasa, seperti mobil-mobilan, miniatur senapan, miniatur robot atau miniatur pesawat terbang. Semua mainan-mainan tersebut menggambarkan peran laki-laki bila sudah dewasa agar mampu mengambil peran publik sebagai pengendara mobil, atau menjadi seorang jenderal, atau seorang pilot. Dimana pekerjaan-pekerjaan yang diharapkan diambil oleh anak laki-laki adalah pekerjaan publik yang menuntut kerja keras, kecerdasan, keberanaian, kekuatan, ketegaran serta keterampilan yang handal. Seolah-olah anak laki-laki sejak kecil sudah dupersiapkan bahkan dilatih untuk menghadapi peran publik, yang membutuhkan kemampuan ekstra sedangkan bagi anak perempuan tidak.

Pada kenyataannya organ tubuh laki-laki dan perempuan apabila mendapat latihan fisik yang sama, sejak lahir cenderung akan melahirkan kekuatan yang sama. Pembedaan kemampuan fisik perempuan dan laki-laki terjadi, karena sejak anak itu dilahirkan oleh nilai budaya orang tuanya sudah dibedakan, dengan diarahkan dan dipersiapkan untuk menghadapi peran pubik dan domestik sehingga dalam perkembangannya secara fisik pun bebeda. Warisan budaya masyarakat melalui orang tua, yang mempersiapkan anak untuk menghadapi peran publik untuk laki-laki dan peran domestik untuk perempuan melahirkan sifat maskulin bagi laki-laki dan sifat feminin bagi perempuan.

3. Posisi Mendominasi dan Ter-subordinasi

Proses budaya paternalistik yang membentuk sifat-sifat feminin dan maskulin, kemudian membagi peran sosial laki-laki dan perempuan sesuai dengan sifat-sifat tadi, maka posisi perempuan semakin pasif. Dengan kebiasaan sikap yang cenderung pasif karena dibatasi norma-norma yang menganggap tidak pantas dilakukan oleh perempuan walaupun sudah biasa dilakukan oleh laki-laki, maka pada diri perempuan lahirlah sikap ‘nrimo’, tidak disadari lagi apabila kaum perempuan telah ter-subordinasi. Sikap kaum perempuan yang sudah terbentuk menjadi pasif (nrimo), mendorong untuk menyerahkan segala urusan yang sulit kepada kaum laki-laki, dan kaum perempuan dengan sifat femininnya memerlukan perlindungan dari kaum laki-laki. Dari kondisi seperti ini muncullah dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan, baik dalam kehidupan berumah tangga maupun di dalam kehidupan bermasyarakat.

Kuatnya pengaruh budaya masyarakat yang selama tiga setengah abad dipengaruhi oleh aturan-aturan penjajah Belanda yang membedakan nilai kehormatan perempuan lebih rendah dari laki-laki, karena penjajah hanya memerlukan tenaga laki-laki untuk kerja ‘rodi’ dan memperlakukan perempuan untuk dihina kehormatannya.

Lebih penting lagi dalam kehidupan sosial di masyarakat saat ini, praktek-praktek dominasi laki-laki terhadap perempuan, walupun mulai berkurang tetapi masih saja tetap berlangsung. Misalnya dalam kegiatan musyawarah di kampung misalnya, biasanya yang diundang kepala keluarga/laki-laki dan setiap keputusan penting, meski perempuan terlibat di dalamnya, akan senantiasa harus menjadi keputusan yang disetujui oleh laki-laki. Tuntutan budaya masyarakat yang membuat posisi laki-laki dan perempuan menjadi mendomiansi dan ter-subordinasi, bahkan ada yang menjelma dalam peraturan perundang-undangan. Diantaranya terdapat peraturan perundang-undangan yang mengharuskan adanya ijin dari suami bagi perempuan yang akan mendapat tugas belajar ke luar negeri, dan tidak berlaku sebaliknya. Dilain pihak “hampir tidak ditemukan ketentuan yang dikenakan pada suami untuk minta izin dari istrinya ketika akan dipromosikan pada kedudukan atau tugas tertentu, kecuali ada satu izin yang diperlukan suami dari istri, yaitu apabila ingin kawin lagi, itu pun seringkali tidak dilakukan suami tetapi pengadilan tetap mengijinkan suami kawin lagi tanpa izin istri.





Dampak Kesenjangan Gender

Kesenjangan Gender yang disebabkan oleh proses budaya seperti yang dipaparkan di atas dampak negatifnya tidak serta merta berhenti sampai di situ. Pelanggengan atas Kesenjangan Gender yang juga oleh proses budaya tersebut menyebabkan dampak yang berkelanjutan dan lebih parah. Dampak kesenjangan yang dimaksud adalah munculnya praktek-praktek ketidakadilan, ketidakadilan yang dimaksud adalah Ketidakadilan Gender. Bentuk-bentuk dari ketidakadilan gender tersebut adalah sebagai berikut:

1. Diskriminasi Perempuan

Bentuk ketidakadilan yang sering menimpa perempuan adalah diskriminasi perempuan. Bentuk ketidakadilan gender model ini sering terjadi, mari kita elaborasi bersama, dimanakah dan dalam bentuk apakah ketidakadilan gender berupa diskriminasi perempuan sering terjadi:
§ Di lingkungan keluarga, ketika dalam sebuah keluarga dengan kemampuan ekonomi rendah memiliki dua orang anak perempuan dan laki-laki, sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk sekolah hanya cukup untuk membiayai sekolah satu orang anak, maka dengan berbagai pertimbangan yang –menurut mereka- masuk akal lebih diutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan, tanpa dilihat potensi dan prestasi akademiknya. Dalam lingkungan keluarga yang seharusnya penuh dengan kasih sayang ini sudah berlangsung diskriminasi perempuan.
§ Di lingkungan masyarakat tempat tinggal, dalam suatu musyawarah kampung biasanya pendapat-pendapat kaum laki-laki lebih menjadi bahan keputusan ketimbang pendapat kaum perempuan. Apabila perempuan dalam menyuarakan pendapatnya saja kurang mendapatkan tanggapan di masyarakat sekitarnya, bagaimana partisipasinya dalam pembangunan bisa optimal?
§ Di dalam struktur pemerintahan, persentase kaum perempuan yang menjadi pejabat struktural sangat sedikit dibanding laki-laki, demikian juga dalam bidang legislatif, perempuan yang menjadi wakil rakyat yang memperjuangkan segala hak-hak rakyat jumlahnya masih sangat sedikit.
§ Di dalam lapangan pekerjaan, kaum laki-laki lebih dipercaya menduduki jabatan sebagai pengambil keputusan dengan upah/gaji lebih tinggi, sedangkan perempuan lebih diposisikan sebagai tenaga membantu laki-laki, bahkan ironisnya ada beberapa perusahaan yang memberikan gaji berbeda kepada pegawainya yang perempuan dan laki-laki meski mereka melakukan pekerjaan yang sama persis.

2. Eksploitasi Kaum Perempuan

Pada zaman sekarang bentuk eksploitasi perempuan condong pada kepentingan ekonomi bagi keuntungan sekelompok kecil orang (pengusaha). Fenomena yang terjadi saat ini dimana investor dalam dan luar negeri terus berdatangan, pabrik-pabrik didirikan, lowongan kerja dibuka, termasuk lowongan kerja untuk perempuan. Dalam hal ini kaum perempuan lebih dianggap sebagai tenaga kerja yang tekun, mudah diatur dan murah upahnya. Bila dilihat dari jenis pekerjaan yang diposisikan untuk kaum perempuan, umumnya lebih dikaitkan dengan kondisi fisik seperti kecantikan dan keluwesan sehingga terjadi bentuk eksploitasi perempuan untuk kepentingan bisnis atau politik. Bentuk eksploitasi yang terjadi diantaranya adalah:
§ Kaum perempuan dipekerjakan melebihi jam kerja
§ Perempuan hanya dibuat sebagai penarik pembeli, dengan menggunakan kecantikan dan daya tarik perempuan

Bentuk-bentuk eksploitasi kaum perempuan seperti di atas sangat banyak terjadi dan belum mendapatkan perlindungan hukum, bahkan hukum melanggengkan eksploitasi tersebut, seperti yang termaktub dalam UU Perkawinan.

3. Marjinalisasi Perempuan

Bentuk marjinalisasi perempuan pada saat ini bukan hanya karena harus bersaing dengan kaum laki-laki, tetapi bersamaan dengan itu muncul persaingan dengan teknologi yang menggantikan peranan pekerja perempuan. Misalnya terjadi di daerah pedesaan, Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris, mampu menghasilkan padi sebagai bahan pokok makanan, dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi perempuan untuk memanen padi dengan menggunakan ani-ani. Sekarang perempuan termarjinalkan karena tehnologi pertanian menemukan bibit padi unggul batang pendek, than hama, usia singkat dan dipanen dengan sistem ditebang batangnya dengan mnggunakan sabit, ,dan pekerjaan memanen padi model ii menjadi pekerjaan laki-laki.

Contoh yang sering terjadi di perkotaan, marjinalisasi perempuan berkaitan dengan budaya patriatisme yang memerankan perempuan di sektor domestik dan laki-laki pada sektor publik. Namun demikian masalah gaji atau materi juga turut menentukan, karena walaupun pekerjaan domestik yang seharusnya dikerjakan oleh perempuan, tetapi apabila pekerjaan itu dimaksudkan untuk kepentingan publik dengan upah/gaji tinggi, maka pekerjaan tersebut akan menjadi pekerjaan laki-laki. Sebagai contoh pekerjaan memasak yang biasanya telah menjadi pekerjaan perempuan, tetapi juru masak di restauran atau hotel berbintang bukan oleh perempuan lagi, tetapi juru masaknya (koki) laki-laki. Pekerjaan tadi tidak lagi menjadi milik perempuan melainkan sudah didominasi oleh tenaga koki laki-laki.

4. Sub-ordinasi Perempuan

Sub-ordinasi perempuan merupakan kelanjutan dari pandangan bahwa perempuan makhluk yang lemah, maka laki-laki sebagai makhluk yang kuat datang untuk melindungi kaum perempuan, selanjutnya dengan beralasan sebagai pelindung memberikan pembatasan-pembatasan kepada perempuan. Bentuk penyimpangan dari perlindungan laki-laki kepada perempuan menjadi penguasaan laki-laki terhadap perempuan. Hal ini melahirkan sub-ordinasi terhadap perempuan. Bentuk sub-ordinasi bermacam-mcam, berbeda dari suatu tempat dengan tempat lain, dari waktu ke wktu, dan dari budaya satu dengan budaya lainnya. Misalnya buday asuatu tempat tertentu, pada masa lalu (atau sampai sekarang pun masih sama) bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena toh akhirnnya akan ke dapur juga. Pembagian peran perempuan bekerja di dapur untuk melayani suami dan anggot alainnya, selanjutnya menjadkan perempuan semakin ter sub-ordinasi di bawah perintah dan keinginan suaminya. Penyimpangan-penyimpangan seperti ini yang merugikan kaum perempuan.

Dari sisi penghargaan terhadap pekerjaan perempuan, yaitu pekerjaan perempuan khususnya yang berkaitan dengan “reproduksi” atau 4M (menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyussui denegan ASI) yang telah menjadi hak preogatif kaum perempuan seringkali kurang mendapatkan penghargaan yang baik. Padahal pekerjaan 4M tersebut tidak bisa digantikan oleh laki-laki.

Padahal bisa kita bayangkan? Apabila pekerjaan 4M tidak dihargai, kemudian perempuan tidak mau engandung, melahirkan dan menyusui, lalu bagaimana generasi kita selanjutnya? Kasus ini telah terjadi pada negara-negara industri (terutaam di Eropa), dimana perempuannya tidak mau mengandung dan melahirkan, bahkan tidak mau menikah sehingg ajumlah penduduk semakin berkurang.

5. Stereotipe Jenis Kelamin

Pengertian stereotipe jenis kelamin secara umum mengacu kepada pelabelan jelek kepada perempuan dengan berbagai pembatasan baik berupa keharusan/kewajiban atau pelarangan tertentu yang menuntut untuk ditaati berdasarkan adat budaya masyarakat dan menimbulkan ketidakdilan, apabila dilanggar akan mendapat semacam sangsi sosial.

Dengan pemberlakuan pandangan stereotipe yang bersumber pada kebudayaan masyarakat peradaban lama semacam ini, apabila dilihat dari segi kesetaraan jender, jelas-jelas merupakan pandangan yang bias gender. Stereotipe gender merupakan suatu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni dengan pemberian label tertentu yang memojokkan kaum perempuan. Dibawah ini beberapa contoh pelabelan terhadap perempuan:
§ Pandangan bahwa gadis perawan adalah makhluk yang rawan sehingga harus dijaga dan dibatasi, pengertian perlindungan yang berlebihan ini berubah menjadi penguasaan sehingga terjadi pengekangan-pengekangan terhadap perempuan. Akibat selanjutnya, kemampuan, prestasi dan peran perempuan baik dalam masyarakat, maupun dalam lingkungan kerja menjadi ketinggalan dibaningkan lawan jenisnya.
§ “Perempuan sebagai ibu rumah tangga”, stereotipe tersebut memposisikan perempuan menjadi orang yang paling bertanggungjawab terhadap urusan rumah dan anak-anak. Akibat dari pelabelan ini, jika perempuan hendak aktif dalam kegiatan publik yang dianggap “wilayah” laki-laki, seperti kegiatan politik, bisnis dan olah raga dianggap tidak sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan. Akibat selanjutnya adalah pedidikan kaum perempuan menjadi tidak prioritas, atau diomorduakan. Perempuan sebagai ibu rumah tangga, pendidik anak, dan pendamping suami harus lebih mengutamakan kepantingan keluarga, yaitu anak-anak dan suami, ketimbang kepentinagn untuk mengembangkan potensi dirinya.
§ Stereotipe jenis kelamin kepada laki-laki bahwa laki-laki sebagai “pencari nafkah utama” juga berdampak pada marginalisasi dan penguasan leki-laki terhadap perempuan, akibat pandangan seperti ini memposisikan hasil karya perempuan seberapapun nilainya dianggap sebagai penghasilan tambahan bukan penghasilan yang pokok. Pandangan seperti itu menyebabkan motivasi perempuan untuk peningkatan prestasi dalam karienya menjadi berkurang, karena menurut pandangan budaya yang berkembang di masyarakat tanggungjawab yang lebih utamanya adalah mendidik anak dan mengurusi urusan keluarga.

6. Beban Kerja Lebih Berat

Seringkali terdengar kritik bahwa “efek dari pemilahan peran sosial (gender) yang menimpa kaum perempuan diantaraya adalah beban kerja perempuan lebih berat”. Dari segi jumlah dan jenis pekerjaan, sebagai ibu rumah tangga lebih banyak dan lebih berat dari pada pekerjaan publik yang menghasilkan materi. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga selain hasilnya tidak seluruhnya dapat dihitung dengan nilai uang, juga hasilnya abstrak. Celakanya perjuangan dan pengorbanan seperti ini kurang mendapatkan penghargaan, seperti ketika sang suami mendapatkan hasil kerja berupa materi.

LBH APIK Jakarta pernah melakukan penelitian tentang pembakuan peran pada masyarakat kota Jakarta. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ternyata hampir sebagian besar keluarga di Jakarta biaya kehidupannya ditopang oleh perempuan, meski perempuan dianggap sebagai ‘pencari nafkah tambahan’ keberadaannya tidak dapat diabaikan. Perempuan yang juga bekerja di luar rumah pada kenyataannya masih tetap harus bekerja di dalam rumah melakukan kerja-kerja domestik, kaum laki-laki (dalam hal ini suami) belum memiliki kesadaran untuk berbagi dalam melakukan pekerjaan domestik.

Ketidakadilan sangat kentara, meski beban kerjanya lebih berat, tetapi curahan waktu dan tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan domestik tersebut sama sekali tidak dihargai secara ekonomi, bahkan status sosialnya dalam masyarakat dipandang lebih rendah dari pekerjaan publik. Sebenarnya pandangan yang sangat salah, apabila menganggap pekerjaan domestik tidak berharga secara ekonomis sekaligus dipandang rendah secara sosial.

7. Kekerasan terhadap Perempuan

Bentuk penyimpangan yang paling mengerikan dari budaya patrialisme yang berdampak pada kesenjangan gender yang mengakibatkan ketidakadilan gender adalah terjadinya bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sebelum membahas kekerasan terhadap perempuan lebih lanjut, yang dimaksud dengan Kekerasan itu sendiri adalah setiap sikap/perbuatan yang berakibat, atau dapat berakibat kesengsaraan atau penderitaan (Fisik, Emosional/Psikologis, Ekonomi dan Seksual) pada objek, termasuk ancaman perbuatan tertentu.

Adapun bentuk-bentuk dari kekerasan adalah berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis/psikologis/emosional, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi (dalam UU P KDRT dikenal dengan sebutan penelantaran rumah tangga).

Kekerasan Fisik adalah setiap sikap/perbuatan yang berakibat atau dapat berakibat kesengsaraan atau penderitaan fisik pada obyek, termasuk ancaman perbuatan tertentu yang ditujukan untuk mengakibatkan penderitaan fisik pada obyek. Beberapa bentuk kekerasan fisik antara lain dipukul, ditendang, diludahi, dicakar, dicekik, dilepar batu/kotoran/benda-benda lain, dibunuh, pemotongan anggota tubuh, dll.

Kekerasan Psikis/Psikologis/ Emosional adalah setiap sikap/perbuatan yang berakibat atau dapat berakibat kesengsaraan atau penderitaan psikis/psikologis/emosional pada obyek, termasuk ancaman perbuatan tertentu yang ditujukan untuk mengakibatkan penderitaan psikis/psikologis/emosional pada obyek. Beberapa bentuk kekerasan psikis/psikologis/ emosional antara lain menakut-nakuti, membuat gelisah/curiga, mebuat orang terhina/malu, memaki, membentak, memandang deengan mata melotot, dll.

Kekerasan Seksual adalah setiap sikap/perbuatan yang berakibat atau dapat berakibat kesengsaraan atau penderitaan seksual pada obyek, termasuk ancaman perbuatan tertentu yang ditujukan untuk mengakibatkan penderitaan seksual pada obyek. Beberapa bentuk kekerasan seksual antara lain perkosaan, incest, pelecehan seksual (menyentuh, meraba, mencium, mencubit dengan paksa, mempertontonkan bahan-bahan pornografis, merayu, menggunjingkan bagian-bagian tubuh tertentu seseorang, dll), sunat pada perempuan, perdangangan perempuan untuk prostitusi, pemaksaan alat KB dan ber-KB, pemaksaan kawin/hamil, dll.

Kekerasan Ekonomi adalah setiap sikap/perbuatan yang berakibat atau dapat berakibat kesengsaraan atau penderitaan ekonomi pada obyek, termasuk ancaman perbuatan tertentu yang ditujukan untuk mengakibatkan penderitaan ekonomi pada obyek. Beberapa bentuk kekerasan ekonomi antara lain diskriminasi upah, menunda pembayaran upah, menghilangkan nafkah, mengkaryakan/mengkomoditikan istri, dll.

Baca Selengkapnya ...

HAM & PERNIKAHAN DIBAWAH UMUR

Prov. NTB khususnya Pulau Lombok dikenal dengan tingkatIPM yang rendah dan angka kematian ibu dan bayi masih sangat tinggi. tentu hal ini menjadi keprihatinan dan tugas semua pihak terutama pemerintah untuk mencarikan solusi.
Beberapa instrumen HAM tentang pernikahan dibawah umur, yaitu :
1. convention on consernt to marriage, minimum age for marriage and registration of marriages, 1964;
2. UU. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun;
3. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah yang berusia dibawah 18 tahun;
3. CRC (konvensi PBB untuk perlindungan anak) yaitu 18 tahun;

Hak-hak anak
- non diskriminasi;
- kepentingan yang terbaik bagi anak;
(dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, pemerintah atau legislatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang utama.
- hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
(hak yang melekat atas kehidupan, didalamnya perkembangan fisik dan mental (pendidikan), moral dan spritual, sosial dan budaya).
- penghargaan terhadap pendapat anak.
Perlindungan hukum bagi Anak:
Undang-undang perlindungan anak pasal 26 ayat (1) menyebutkan bahwa :orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak;
Pasal 81 ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun, minim 3 tahun dan pidana denda maksimal 300 juta dan minimum 60 juta rupiah.
KUHP pasal 288 : barang siapa dalam perkawinan bersetubuh seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Ada beberapa Dampak Pernikahan di Bawah Umur:
Dampak Biologis
anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan sek dengan lawan jenisnya, apabila sampai hamil kemudian melahirkan. JIka dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak.
Dampak psikologis
secara psikologis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan sek, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Disamping itu pernikahan tersebut akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan, hak berma serta dan menikmati waktu luang serta hak-hak lain yang melekat dalam diri anak.
bersambung

Baca Selengkapnya ...