Pornografi


PORNOGRAFI
Pornografi haram karena mengeksploitasi aurat...
Namun, soal batasan aurat
dan kriteria sesuatu dapat disebut produk pornografi
tetaplah debatable.


Salah satu isu yang dipandang berkait rekat dengan pentingnya menutup aurat (berjilbab?) adalah isu pornografi. Kebanyakan muslim yakin bahwa menutup aurat turut bersumbang-sih bagi upaya meredam maraknya pornografi—juga versi ikutannya, pornoaksi.
Isu pornografi sendiri belakangan menguat seiring kian banyaknya alternatif media informasi dan/atau produk teknologi. Banyak bermunculan, baik kuantitas maupun kualitas. Aksesabilitas masyarakat pun terhadap beragam produk teknologi meningkat sehingga memudahkan mereka mengakses aneka bentuk informasi, termasuk produk-produk pornografi. Ambil misal, pertumbuhan dan persebaran internet, suatu peranti teknologi di mana seluruh hitam-putih informasi, termasuk produk pornografi, dapat dengan mudah diakses kapanpun, di manapun, dan oleh siapapun—tak terkecuali anak-anak. Beberapa tahun lalu internet masih terbilang langka, tapi kini sangat mudah dijumpai dan diakses seperti halnya media cetak dan elektronik. Bahkan, ketimbang televisi dan media-media cetak, ia lebih mampu menawarkan banyak “warna” bagi pengaksesnya.
Seiring itu, keprihatinan atas bahaya pornografi semakin merebak. Terutama bahayanya bagi anak-anak. Namun, keprihatinan itu terasa ironis dan menjadi kontroversial saat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengajukan suatu rancangan produk hukum bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) pada 14 Februari 2006. Munculnya RUU APP, kita tahu, tempo hari sempat menyulut kontroversi bahkan hampir-hampir juga memantik sejumlah benturan antarmassa pendukung dan penolak. Perdebatan seputar RUU tersebut beserta kemungkinan eksesnya kala itu ramai mewarnai berbagai forum dan media massa. Sayang, dalam perkembangannya, perdebatan yang mengemuka tak lagi produktif. Sebab, debat tak lagi fokus soal bahaya pornografi dan problem kememadaian perangkat perundang-undangan yang mengaturnya, tapi lebih ke soal klaim-klaim teologis yang berujung pada pemaksaan standar moral tertentu (Islam) terhadap standar-standar moral lain di tengah masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural. Polarisasinya di level sosial menjadi sangat sederhana, mereka yang menolak RUU dianggap melecehkan agama (Islam) dan penyokongnya menahbiskan diri sebagai pembela agama.
Polarisasi itu, juga seluruh perdebatan yang melatari, sejatinya terbentuk dan berpangkal dari kesulitan mendefinisikan pornografi (dan juga pornoaksi) itu sendiri. Definisi pornografi sungguhlah cair. Tak ada definisi tunggal tentangnya. Di situ kita menghadapi banyak dilema, terutama dalam menentukan kriteria yang disebut porno. Jelas, pada akhirnya, ini bukan hanya soal hukum tapi lebih jauh adalah persoalan akhlak, etika. Susahnya, soal etika acap disederhanakan sebagai etiket dan lalu dijadikan alasan suatu standar etiket tertentu untuk mendominasi standar-standar etiket lain. Kita abai bahwa soal-soal semacam itu sungguh terikat dengan keragaman budaya, letak geografis, dan kesepakatan publik tentang tata cara berbusana. Oleh karena itu, sebelum menghukumi pornografi (juga pornoaksi) kita perlu memahami seluk-beluk apa itu pornografi.

A. Mencari Definisi
Istilah pornografi berasal dari bahasa Yunani, πορνογραφία atau pornographia. Ia berakar pada kata Yunani klasik, πορνη dan γραφειν, yang secara harfiah berarti “tulisan tentang atau gambar tentang pelacur”. Mulanya ia sebuah eufemisme dan secara harfiah berarti “(sesuatu yang) dijual”. Istilah pornografi juga sering dirujukkan pada kata Yunani kuno untuk menunjuk orang-orang yang mencatat “pornoai” atau para pelacur terkenal atau yang mempunyai kecakapan tertentu. Terkadang juga disingkat menjadi porn, pr0n, atau porno yang didefinisikan sebagai penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual. Ia memiliki kemiripan dengan “erotika” sehingga keduanya sering digunakan secara bergantian—padahal sebenarnya antarkedua istilah tersebut berbeda.


masturbasi, dan lain-lain. Hal-hal inilah yang antara lain menuai protes-keberatan. Terkait ini, KH A. Mustofa Bisri merasa perlu me-wanti-wanti (mengingatkan) para elit di DPR untuk bertindak arif dengan mengakomodir aneka kepentingan, aspirasi, dan perbedaan kultural di tengah masyarakat. “Apalagi di Indonesia ada beberapa provinsi yang sudah sangat kental dengan penampilan yang oleh sebagian masyarakat dinilai sebagai porno, seperti di Bali dan Papua,” katanya. Karena itu Gus Mus, demikian kyai budayawan itu akrab disapa, meminta mendefinisikan terlebih dahulu secara tegas apa itu porno tanpa mencederai keragaman di masyarakat. Ia berujar, “Definisi porno harus tegas dulu, karena masalah aurat itu juga banyak pendapat. Jangan-jangan setelah RUU disahkan nanti justru akan berbenturan dengan fiqh Islam, karena dalam fiqh Islam pun banyak pelajaran (berbeda-beda) tentang seksualitas, termasuk dunia kedokteran.”
Celakanya, saran-saran seperti antara lain diajukan Gus Mus itulah yang tampak serius diabaikan oleh para perumus RUU APP. Hampir secara keseluruhan, spirit RUU itu tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis, dan agama. RUU itu jutsru bertumpu pada sebentuk kepongahan bahwa negara dapat mengatur-atur moral dan etika segenap rakyat Indonesia yang begitu bhinneka itu lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah-laku berdasarkan standar moral atau keyakinan telogis tertentu dari satu kelompok masyarakat saja yang kebetulan mayoritas. Padahal negara Indonesia berdiri kukuh di atas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat-istiadat dan budayanya. Ratusan suku bangsa itu memiliki norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila, termasuk dalam soal tata busana.
Di samping itu, yang tak kalah menyesakkan adalah fakta bahwa RUU APP itu sagat kyat berpijak pada suatu logika “patriarkhis” yang menyudutkan dan mendiskriminasi perempuan. Logika dimaksud menganggap bahwa dekadensi moral bangsa ini lebih disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah-laku sopan dan tidak mau menutup rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Bahkan, dalam kasus-kasus kejahatan seksual, perempuan yang notabene berposisi sebagai korban justru dipersalahkan sebagai pangkal penyebab. Perempuan yang sebenarnya korban malah dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya kejahatan seksual itu. Ini, seperti disebut di bab sebelumnya, merupakan bentuk tindakan blaming the victims—menyalahkan korban. Itulah mengapa, karena meyakini seksualitas dan tubuh perempuan sebagai biang maraknya kemaksiatan, RUU ini sangat berkeinginan membatasi ruang gerak sekaligus rapat-rapat menutupnya agar moralitas sosial terjaga, kepribadian nan luhur menguat, dan tatanan hidup masyarakat tidak terancam.
Problem utama menyangkut pornografi sesungguhnya bukan ketiadaan aturan yang mengakomodasinya, melainkan rapuhnya penegakan hukum. Sebagian besar substansi yang diatur dalam RUU APP sejatinya telah diatur dalam KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia. Dengan demikian, pemberantasan pornografi adalah tanggung jawab polisi, kejaksaan, dan hakim, sehingga tidak diperlukan lagi ”Badan Antipornografi dan Pornoaksi Nasional” (BAPPN) yang akan dibiayai APBN, sebagaimana diatur dalam RUU itu.
Selanjutnya, karena pornografi menyangkut hak-hak privat warga negara dan khususnya persoalan kekerasan terhadap objek pornografi, yaitu perempuan dan anak-anak, maka acuan dasar hukum pembentukan RUU ini yang mengacu pada UUD 1945 Pasal 20, 21, dan 29 tidaklah tepat. Instrumen hukum yang sangat berkaitan dengan esensi pornografi dan implikasi pornografi bagi perempuan dan anak-anak adalah yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi setiap warga negara, yaitu pasal 27 (2) UUD 1945; pasal 28 I juntis pasal 28 J, dan pasal 28 G ayat (2) UUD 1945; pasal 1 juntis pasal 2, pasal 5 huruf (a), dan pasal 6 dari UU No 7/1984 (CEDAW); KUHP; UU No 40/1999 tentang Pers; UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak; dan Landasan Aksi Konferensi Beijing Kapital D Angka 112-113.
Lalu, adakah implikasi serius jika RUU APP itu terus dipaksakan untuk diundangkan? Terdapat sejumlah kekhawatiran logis jika RUU ini jadi diberlaku-terapkan. Pertama, pemberlakuan RUU ini bakal menghapus kemajemukan budaya bangsa sehingga yang tertuang dalam konsiderannya malah bertentangan dengan substansinya sendiri. Haruslah dimengerti bahwa berbagai hal tentang perkelaminan sangat berhubungan rekat dengan soal-soal kebudayaan dan sejarah kesukubangsaan di Indonesia sehingga sukar menuding tradisi tertentu, bahkan ritual keagamaan dalam tradisi tersebut, sebagai bentuk pornografi atau tindak pornoaksi, apalagi mengkriminalisasinya. Kedua, ketidakjelasan dalam definisi dan prosedur akan menyulitkan penegak hukum dalam menangani kasus yang dipandang sebagai pornografi atau dituduh sebagai pornoaksi. Ketiga, pengaturan paksa terhadap ruang privat—seperti cara-cara berpakaian—dicemaskan bakal menimbulkan pengekangan, pemaksaan, bahkan kekerasan negara terhadap warga negara melalui “pemberian” wewenang terhadap sekelompok orang yang akan bertindak sebagai ”polisi moral”. Dan, keempat, intervensi negara terhadap ruang privat akan menyebabkan hilangnya hak-hak sipil warga negara.
Keseluruh problem yang diidap oleh RUU APP berikut kemungkinan implikasinya itulah yang terus memperbesar gelombang penolakan atasnya—menandingi gerak kelompok-kelompok pendukungnya. Sikap penolakan mereka diketengahkan dengan slogan “Tolak Pornografi, Tolak RUU APP”. Bagi mereka, pornografi perlu ditolak karena berbahaya bagi moralitas masyarakat dan RUU APP juga perlu ditolak karena berpotensi mengancam kemajemukan, basis bagi keutuhan hidup berbangsa dan bernegara.
Penolakan terhadap RUU APP itu sama dapat dimengertinya dengan penolakan terhadap pornografi. Yang sungguh tak bisa dimengerti adalah ke-ngotot-an sementara umat Islam untuk memaksakan pengundangan RUU APP. Tak dapat dimengerti karena sikap bersikeras mereka cenderung bergeser dari kepentingan melindungi anak-anak dan perempuan dari pornografi menjadi kepentingan mendominasi domain publik atas nama agama. Inilah yang dirisaukan antara lain oleh Gus Mus. Menurut pengasuh pesantren Raudlatut Tholibin Rembang Jawa Tengah itu, desakan untuk segera mengeluarkan peraturan mengenai pornoaksi dan pornografi merupakan manifestasi kepanikan dari sebagian kelompok Islam yang merasa rendah diri. Kelompok ini merasa rendah diri dan tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengatasi masalah pornoaksi dan pornografi di Indonesia, sehingga mereka merasa perlu menekan DPR RI dan pemerintah untuk segera mengeluarkan undang-undang terkait. Tekanan keras untuk segera mengesahkan UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi itu mengisyaratkan seolah umat Islam tidak mampu memecahkan persoalannya sendiri. “Ada semacam kepanikan sebagian umat Islam terhadap globalisasi yang sedang terjadi saat ini… seakan umat Islam begitu cemas dan tidak bisa mengatasi persoalannya sendiri, sehingga merasa perlu memaksa agar RUU APP itu segera disahkan sebagai UU,” katanya.
Akhirnya, kita tidak perlu ragu: Islam jelas mengharamkan pornografi karena mengeksploitasi aurat. Namun, soal bagaimana menentukan batas aurat dan apa kriteria bagi sesuatu untuk dapat disebut produk pornografi bisa sangat debatable. Maka, biarkanlah masing-masing pandangan berkontestasi secara bebas di ruang publik. Tak perlu ada upaya suatu pandangan terntu dipaksakan sebagai standar tunggal kebenaran tentang aurat dan pornografi. Ini memang seperti soal riba. Islam jelas mengharamkan riba. Namun, apakah bunga bank dapat disebut bentuk riba dan karena itu haram? Kita tahu, tentang ini, terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Demikian juga soal aurat dan penentuan kriteria standar pornografi.
Kita mungkin dan boleh saja membuat sejumlah kriteria untuk dilekatkan sebagai definisi pornografi (juga pornoaksi). Akan tetapi, dari sisi hukum, apapun rumusan kita tetaplah sebuah legal opinion. Artinya, selalu terbuka munculnya second opinion tentang kriteria pornografi. Oleh karena itu, suatu rumusan tertentu tidak bisa dipaksakan untuk dijadikan rumusan tunggal kemana rumusan-rumusan lain harus merujukkan diri.
Masalah aurat, isu utama dalam pornografi (juga pornoaksi), memang lebih soal moralitas (etika), juga etiket. Maka, bila suatu standar moral tertentu hendak dijadikan standar moral publik, pastilah konsekuensinya memberangus keragaman—alih-alih mencipta kepastian hukum. Konsekuensi inilah yang bakal teretas bila RUU APP positif menjadi undang-undang. Agaknya, kita harus terus belajar menghormati pilihan-pilihan berbeda orang lain. Dengan begitu jargon rahmatan li al-‘âlamîn akan betul-betul menuai signifikansinya.



_________

0 komentar:

Posting Komentar