Poligami Dalam Islam

Poligami Dalam Islam

Al-Qur’an membicarakan poligami dalam Surat an-Nisa ayat 3. Sekurangnya ada tiga hal yang dijelaskan dalam surat ini. Pertama, berbicara tentang kondisi yang melatarbelakangi pengaturan, syarat adil dan batas maksimal isteri sampai empat orang. Kedua mengatur tentang larangan mengambil harta yang telah diberikan kepada isteri untuk biaya poligami. Betapun banyaknya harta itu. Ketiga, tentang beratnya atau hampir tidak mungkinnya seorang suami bisa berlaku adil terhadap isteri-isterinya jika ia berpoligami.

“Dan jika kamu takut tidak bisa berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu sukai, dua, tiga atau empat, tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat supaya kamu tidak berbuat aniaya.

Ayat ini adalah satu-satunya ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang poligami. Ayat tersebut jelas bersemangat monogami dan tidak menganjurkan muslim berpoligami. Ayat ini hanya memberi izin, itupun dengan syarat yang sangat ketat. Celakanya, ayat ini sering dijadikan landasan untuk mengatakan Islam merupakan agama wahyu satu-satunya yang membolehkan poligami.

Surat an-Nisa’ ayat 3 ini juga menghubungkan pengaturan tentang poligami dengan ketidakadilan yang diterima anak yatim. Pemahaman terhadap ayat ini bisa dilakukan dengan melihat latar belakang turunnya ayat tersebut. Ayat ini turun pada tahun ke 4 Hijriah. Saat itu umat Islam baru saja mengalami kekalahan terbesar dalam perang Uhud yang menelan korban 70 orang pria dewasa sebagai syuhada. Jumlah ini sangat besar untuk ukuran umat Islam pada waktu itu yang jumlah laki-lakinya lebih kurang 700 orang. Dengan gugurnya 10% laki-laki Muslim itu, maka banyak perempuan yang menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim. Keluarga banyak yang kehilangan penopang ekonomi keluarga.

Ketika terjadi krisis sosial akibat banyaknya sahabat yang gugur di medan perang itu, Nabi sebagai kepala negara harus menjamin kesejahteraan umatnya. Pada waktu itu kas negara terbatas, maka nabi menganjurkan kaum muslim yang memiliki kemampuan secara mental dan material untuk menanggulangi krisis dengan melakukan poligami. Ini artinya waktu itu poligami berfungsi sebagai katup pengaman sosial. Merujuk hal ini, poligami yang dilakukan tidak berdasarkan darurat sosial jelas terlarang.

Syekh Wahbah Mustafa menegaskan poligami pada dasarnya boleh. Tetapi karena berlaku adil terhadap lebih dari satu isteri itu teramat sulit, maka islam lebih menekankan monogami.
“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara perempuan-perempuan (isteri-isterimu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka janganlah kamu terlalu cenderung (perempuan yang engkau cintai) sehingga engkau biarkan (perempuan yang lain) seperti tergantung (terlupakan). Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari sebab-sebab perselisihan) maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Jelaslah sudah, poligami itu adalah sejenis amal sosial. Bukan alat legitimasi untuk mengumbar syahwat. Poloigami tidak dibenarkan terjadi dalam situasi yang normal. Perlu diingat, dalam kondisi darurat sosial saja poligami menekankan persyaratan yang ketat, apalagi kalau kondisinya normal-normal saja.

Poligami Rasulullah SAW
Bagian adari kehidupan Rasulullah yang paling sering disalahpahami dan dijadikan alat membenarkan poligami adalah kehdupan rumah tangga beliau yang terdiri dari belasan istri. Tidak banyak orang yang mau jujur bahwa 2/3 dari masa perkawinan beliau berjalan dengan monogami. Bukan poligami. Rasulullah menikah pada umur 25 tahun dengan Khadijah Binti Khuwailid, seorang janda berumur 40 tahun. Khadijah menjadi isteri rasul selama 25 tahun. 15 tahun sebelum kenabian dan 10 tahun sesudah kenabian. Sepeninggal Khadijah, rasul hidup sendiri hingga beberapa tahun. Baru kemudian beliu menikah dengan Siti Aisyah binti Abu Bakar, seorang gadis perawan anak dari sahabat utama beliau, Abu Bakar as-Shidiq.

Orang juga suka melupakan fakta, rasul baru melakukan poligami di usianya yang 53 tahun, tatkala baginda nabi menikahi Saudah binti Zami’ah, seorang janda korban perang. Semua istri beliau kemudian adalah janda perang. Harus dicatat pula, masa Rasulullah berpoligami bersamaan dengan masa jihad dan perjuangan membela Islam. Hal ini menunjukkan pernikahan beliau adalah darurat sosial untuk memberikan kepastian dan rasa aman kepada janda-janda korban perang. Banyak dari janda yang rasul nikahi berusia lanjut. Jauh lebih tua dibandingkan usia beliau.

Faktanya terang benderang, isteri rasul kebayakan adalah janda korban perang dan nabi berpoligami hanya 8 tahun saja dan 28 tahun ia berumah tangga sampai menjelang wafatnya. Sikap rasul tehadap poligami sendiri cukup tegas. Dikisahkan mislanya saat kondisi Madinah aman dan kondusif, rasul mengecam keinginan Ali yang hendak memadu Siti Fatimah, putri tunggal rasul.

Rasuls endiri mengakui poligami adalah pilihan berat karena harus bisa berlaku adil. Begitu beratnya, sampai Rasul sendiri berdoa secra khusus mohon ampun kepada Allah SWT karena merasa tidak mampu berlaku adil kepada semua isterinya. Do’a beliau ini sangat terkenal:

اللهم هذا قسمى فيما أملك فلا تلمنى فيما تملك ولا أملك {رواه الاربعة و, وصححه ابن حبان و الحاكم}

“Ya Allah, inilah pembagianku yang mampu aku lakukan menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencelaku tentang apa yang engaku mampu sedangkan aku tidak mampu”

Ada beberapa hikmah dari poligami yang Rasulullah lakukan.
1. Hikmah pensyari’atan: Poligami rasul menghapus tradisi jahiliyah yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung. Salah satu istri rasul adalah Zainab binti Jahsy, mantan isteri Zaid anak angkat Rasul.

2. Hikmah pengajaran: hal ini terlihat pada ummul mu’minin yang semuanya menjadi guru.

3. Hikmah sosial dan persaudaraan. Poligami rasul menguatkan dan mengeratkan hubungan sosial para sahabat. Siti Aisyah adalah putri kesayangan Abu Bakar, salah seorang sahabat utama nabi.

4. Hikmah politis. Poligami rasul melancarkan dakwah Islamiyah. Ini misalnya dilakukan nabi dengan menikahi Juwairiyah, putri Al-Harist pemimpin Bani Musthaliq dan Shafiyah, putri Huyyai bin akhthab. Buahnya permusuhan antara orang-orang Yahudi dengan Muslim dapat diredakan.

Syarat-syarat Poligami
Islam membolehkan poligami, tetapi memberikan syarat yang sangat ketat. Antara lain:
1. Kemampuan memberikan nafkah
Nafkah meliputi makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan segala kebutuhan dalam rumah tangga yang lazim digunakan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

ألا وحقهن عليكم ان تحسنوا اليهن فى نفقتهن وكسو تهن وطعا مهن ( رواه الترميذى وابن ماجه)
“Ketahuilah, hak mereka atas kalian adalah hendaklah kalian memberikan nafkah, pakaian dan makanan kepada mereka (isteri) secara layak (HR. Imam Turmudzi dan Ibn Majah)”
2. Harus bisa berlaku adil
Hal ini berdasarkan hadist dari Rasulullah SAW:

عن عا ئشة رضى الله عنها كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم بين نسا ئه ويعدل ويقول
: اللهم هذا قسمى فيما أملك فلا تلمنى فيما تملك ولا أملك {رواه الاربعةو, وصححه ابن حبان
و الحاكم}

“Dari Aisyah ra adalah Rasulullah SAW ……Ya Allah inilah pembagianku menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencelaku tentang apa yang Engkau berkuasa sedangkan aku tidak berkusa”(HR. Empat Imam Hadist, shahih ibn Hibban dan Hakim)

الحديث دليل على انه صلى الله عليه وسلم كان يقسم بين نسائه وتقدمت الإشارة الى أنه هل كان
واجبا أم لا. قيل كان القسم عليه صلى الله عليه وسلم غير واجب لقوله تعالى" ترجى من تشاء
منهن وتؤوى اليك من تشاء" الايه. قال بعض المفسرين انه اباح الله له أن يترك التسوية
القسم بين أزواجه حتى أنه ليؤخر من تشاء منهن عن نوبتها ويطأ من تشاء فى غير توبتها.
ان ذلك من خصانص النبى صلى الله عليه وسلم. وإذ ثبت ذلك أنه لايجب القسم عليه صلى
الله عليه وسلم فإنه كان يقسم بينهن من حسن عشرته وكمال حسن خلقه وتأليف قلوب نسائه.
Artinya : hadits ini adalah sebagai dasar Nabi saw membagi dengan adil dintara istri-istrinya dan telah ada penjelasan mengenai hal itu di depan apakah nabi wajib adil atau tidak? Ada yang berpendapat nabi tidak wajib adil pada istri-istrinya. Ini berdasarkan firman Allah " kau ( hai Muhammad ) boleh mengharap dari istri-istrimu dan boleh juga tidak”. Sebagian ulama tafsir berkata Allah memberikan khususiyah pada Nabi saw untuk tidak wajib memperlakukan istri-istrnya sama, bahkan beliau boleh melayani siapa yang ia inginkan dari mereka walaupun belum datang gilirannya. hal ini adalah khususiyah beliau. Jadi keadilan beliau itu bukan karena kewajiaban tetapi karena keluhuran budi pekertinya " .
Hal senada juga dijelaskan dalam kitab Subulussalam yang menukil hadist dari Imam Ahmad:

وعن أبى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم :من كانت له إمرئتان فمال إلى أحدا هما دون
الأ خرى جاء يوما القيامة وشقه ما ئل { رواه أحمد ولاربعة وسنده صحيح}

“Dari Abi Hurairah ra Rasulullah SAW bersabda :”barang siapa yang mempunyai isteri dua isteri kemudian lebih condong kepada salah satu isterinya maka pada hari kiamat nanti pundaknya sebelah kiri dalam keadaan miring”.(HR. Ahmad dan Empat Imam Hadist dan sanadnya shahih).

هذالحديث دليل على أنه يجب التسوية بين الزوجات على الزوج ويحرم عليه الميل على أحدهن.
Hadist ini menjadi dalil bahwa suami wajib meletakkan persamaan diantara isteri-isterinya dan haram atasnya untuk lebih condong kepada salah satu isterinya.

عن أنس رضى الله عنه قال: من السنة إذا تزوج الرجل البكر على الثيب إقام عندها سبعا ثم قسم, وإذا تزوج الثيب إقام عندها ثلاثا ثم قسم (متفق عليه واللفظ للبخارى)
االحديث دليل على اشارة الجديدة لمن كانت عنده زوجة, وقال ابن عبد البر : جمهور العلماء على أن
ذلك حق للمرأة بسبب الزفاف سواء أكانت عنده زوجة أم لا. واختاره النووى لكن الحديث دل على انه فيمن كانت عنده زوجة. وقد ذهب الى التفرقة بين البكر والثيب. بما ذكر الجمهور فظاهر الحديث أنه واجب وإنه حق لزوجة الجديده , وبه قال الا ئمة الثلاثة وقال ابو حنيفة ان الجديده لاتفضل فى القسم بل يستوى بينها وبين اللا تى عنده.

Artinya : termasuk dari sunnah apabila ia menikahi seorang gadis agar menemaninya selama tujuh hari kemudian baru dibagi. Sedangkan apabila menikahi seorang janda, maka ia menemaninya selama tiga hari kemudian dibagi". (HR. Bukhari Muslim) .

Hadits ini adalah sebagai isyarat bagi siapa saja yang menikah untuk hendaknya menemani istrinya yang baru, walaupun ia sudah memiliki istri . Ibn Abd Al-Bar berkata " menurut jumhur ulama, hal itu adalah hak istri yang baru karena masa pengantinan. Baik suami punya istri atau tidak. Mengenai soal beda antara gadis dan janda ini, pendapat imam yang tiga (Malik, Syafi'I dan Ahmad), sedangkan imam Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak ada beda antara istri yang gadis dengan yang janda dan juga istri-istrinya yang lain.

Adil yang dimaksudkan dalam surat an-Nisa’ ayat 3 adalah adil dari segi nafkah dan pembagian waktu, sedangkan adil yang dimaksdukan pada surat an_nisa’ ayat 129 adalah adil dalam kasih sayang. Termasuk juga adil dalam bercakap-cakap dan bersenang-senang ketika jimak (hubungan suami isteri). Menurut Ibnu Jarir, keadilan menjadi syarat mutlak dalam berpoligami. Ada pesan dibalik syarat keadilan ini untuk laki-laki berusaha memperkecil jumlah isteri agar tidak berbuat zalim kepada isteri dan anak-anaknya.

0 komentar:

Posting Komentar