Pengajian Akbar

“Laki-laki terhormat adalah
Laki-laki yang memperlakukan perempuan dengan mulia”

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13).

Merubah paradigma berfikir masyarakat tentang perempuan memerlukan waktu yang panjang dan penuh dengan liku, konsep Islam pada dasarnya sangat mengagungkan perempuan dan memandang laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas yang sama untuk menjadi apapun. Islam bahkan menyatakan bahwa perempuan adalah tiang negara, kenapa sekarang ini kita melihat banyaknya kekacauan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini disebabkan karena kita belum memperlakukan perempuan dengan mulia dan baik. Laki-laki yang mulia adalah yang memuliakan perempuan, jika ada laki-laki yang menyakiti perempuan, maka dia adalah laki-laki yang hina dina di hadapan Allah SWT. Perempuan harus diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan bisa menjadi apapun, jika diberikan kesempatan yang sama dalam pendidikan dll. Kewajiban menyusui anak, memasak dan urusan rumah tangga lainnya adalah kewajiban laki-laki, bukan perempuan hal ini di ungkapkan oleh Bapak TGH. Hasanain Juaini, LC, SH, MH yang di adakan di Pondok Pesantren Putri Nurul Haramain Putri NW Narmada, minggu 20 Desember 2009 pukul 09.00 wita. Pengajian akbar ini adalah hasil kerjasama LBH APIK NTB, We Can NTB dan Ponpes Haramain NW Narmada dengan ketua paniti Surya. Dihadiri oleh 1000 an orang jama’ah yang terdiri dari santri, wali santri dan masyarakat sekitar Ponpes.
Sementara itu dalam sambutan oleh Beauty Erawati, SH, MH, direktur eksekutif LBH APIK NTB menyatakan :”saya kaget dengan begitu banyaknya peserta yang hadir dalam pengajian akbar kali ini, karena jarang sekali kami menghadiri pengajian yang di ikuti oleh begitu banyak jama’ah, kami sangat bangga dan berterimkasih kepada Bapak TGH. Hasanain yang telah memfasilitasi pengajian ini. LBH APIK NTB selama ini bergerak dan berjuang guna pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Sering muncul pertanyaan dari bapak-bapak, kenapa hanya perempuan saja? Kita tahu bahwa berdasarkan data dan fakta di dunia maupun di Indonesia yang menjadi korban 99,99 % adalah perempuan. LBH APIK sejak tahun 1999 telah menangani ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan dan yang dominan adalah kasus perselingkuhan suami dan poligami. Dalam poligami harus ada ijin tertulis dari isteri pertama di pengadilan agama. Banyak juga kasus perdagangan orang, bapak/ibu harus waspada terhadap hal ini karena biasanya pelakunya adalah orang terdekat kita, modusnya, anak diimingi dengan gaji besar, dijanjikan kerja di restoran akan tetapi kenyataannya mereka di suruh keja sebagai PS plus di kafe-kafe. Kita juga banyak menerima kasus sodomi yaitu persetubuhan yang dilakukan terhadap anak laki-laki, nah ini banyak terjadi di daerah wisata semisal Senggigi”, ungkapnya.
Tidak lupa beauty juga mengenalkan metode baru dalam kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, metode ini di namakan We Can (kita Bisa), metode ini di adopsi dari India, mirip MLM yaitu antar individu, jadi kita berharap setiap orang yang hadir dalam pengajian ini akan menyampaikan dan mengajak orang lain untuk anti kekerasan terhadap perempuan, tambahnya.
Pengajian akbar kali ini juga disemarakkan dengan demo perakitan kompoter oleh santriwati, demo ini sempat mencengangkan jama’ah yang hadir karena santriwati yang notabene perempuan mampu merakit komputer hanya dalam waktu 7 menit, bahkan salah seorang santriwati bisa merakit hanya dalam waktu 5 menit saja, luar bisa potensi yang dimiliki oleh santriwati dan pastinya tidak kalah dengan santri laki-laki, ungkap salah seorang guru.

***


Baca Selengkapnya ...

Beberapa Hal tentang Gender

Membedah Gender

Disusun oleh: Dini Anitasari Sabaniah

Teori Dasar Tentang

Dalam Memahami berbagai persepsi masyarakat yang berbeda-beda tentang konsep gender, terlebih dahulu mari kita bersama-sama memahami bagaimana pandangan yang berbeda itu muncul. Khusus untuk kondisi sosial budaya bangsa Indonesia yang mengalami sejarah panjang di masa penjajahan Belanda dan Jepang, tidak bisa dilupakan bahwa peraturan-peraturan penjajah sangat mewarnai kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Secara umum di bawah ini akan dibahas teori-teori yang mendasar persepsi masyarakat terhadap gender. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut:

1. Teori Kodrat Alam (Alamiah)

Perbedaan Biologis yang membedakan jenis kelamin dalam memadang gender, telah melahirkan dua teori besar, yaitu ‘teori nature’ dan ‘teori kodrat’. Teori nature memandang perbedaan gender sebagai kodrat alam (alamiah) yang tidak perlu dipermasalahkan.

Teori kodrat alam memandang bahwa pemilihan peran sosial antara perempuan dianggap sebagai kejadian yang alamiah. Seperti dikemukakan bahwa “selama berabad-abad diyakini bahwa sifat-sifat, peran sosial, dan status yang berbeda dari laki-laki dan perempuan dalam masyarakat ditentukan oleh biologis (yaitu jenis kelamin), bahwa hal itu bersifat alamiah sehingga tidak dapat diubah. Teori kodrat alamiah mengacu kepada kodrat manusia secara alami, dan manusia harus menerimanya.

Teori ini memandang laki-laki terlahir sebagai laki-laki dan perempuan, dalam penampilan fisik, fungsi fisik secara biologis, dan peran sosialnya. Dan apabila penampilan fisik, fungsi serta peran masing-masing dipertukarkan, maka dianggap ada yang tidak beres pada orang yang bersangkutan.

Perempuan yang memiliki kodrat fisik berkaitan dengan fungsi reproduksi (4M: menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui dengan ASI) dianggap sangat berkaitan dengan berkembangnya perangai psikologis yang dibutuhkan untuk mengasuh anak yang dilahirkannya, seperti perangai keibuan yang menuntut sikap halus, penyabar, lemah lembut dan kasih sayang. Perempuan dengan perangai yang lemah lembut dan penuh kasih sayang mengharuskannya untuk mengasuh anak dan membereskan semua urusan rumah tangga. Sedangkan lawan jenisnya yang terlahir sebagai laki-laki yang secara kodrati memiliki ciri fisik dan biologis seperti mampu memproduksi sperma, berjakun, pada umumnya berkumis dan berjenggot dipandang merepresikan fisik laki-laki yang kuat dan agresif. Kondisi fisik yang kuat dan cenderung agresif dianggap akan berdampak pada perangai psikologis yang lebih tegar, lebih tenang, keras dan bahkan kasar. Laki-laki dengan fisik dan perangai kuat dan cenderung kasar lebih dianggap layak untuk melakukan kegiatan di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga sekaligus memberi perlindungan terhadap semua anggota keluarganya.

Hubungan patriakhi yang membagi peran perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik, secara turun temurun telah diyakini kebenarannya dan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan budaya tersebut melalui pembiasan budaya dan adat istiadat sejak anak dilahirkan. Kemudian secara estapet generasi muda menerimanya tanpa kritik dan keraguan

2. Teori Kebudayaan

Teori ini disebut Teori Kebudayaan karena memandang gender sebagai akibat dari konstruksi budaya. Seperti yang dikemukakan Kamla Bhasin, 2002 “berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat biologis, identitas gender dari perempuan dan laki-laki ditentukan secara psikologis dan sosial yang berarti secara historis dan budaya”. Juga dikemukakan oleh Nasarudin Umar, 1999 teori kebudayaan atau teori nurture memandang perbedaan gender sebagai hasil rekayasa budaya dan bukan kodrati, sehingga perbedaan gender tidak berlaku universal dan dapat dipertukarkan.

Teori ini tidak setuju bahwa pemilahan dan pembedaan peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan kodrat alam. Achmad Muthali’in, 2001 menyebutkan bahwa “faktor biologis tidak menyebabkan keunggulan laki-laki terhadap perempuan, pemilahan sekaligus pengunggulan terhadap laki-laki disebabkan karena elaborasi kebudayaan terhadap biologis masing-masing”. Dengan demikian pembentukan sifat yang berbeda yang disebut dengan sifat-sifat feminin dan maskulin merupakan hasil dari proses sosial budaya masyarakat bahkan bisa lebih khusus lagi yaitu dapat dibentuk melalui pendidikan dan latihan.

Teori kebudayaan yang memandang gender sebagai hasil dari proses budaya masyarakat yang membedakan peran sosial laki-laki dan perempuan sangat banyak pengikutnya. Semua pejuang kesetaraan gender berpandangan bahwa gender bukan kodrati tetapi gender adalah hasil dari proses budaya yang diwariskan secara turun temurun. Implikasinya, gender atau pemilahan peran sosial berdasarkan jenis kelamin dapat dipertukarkan, dapat dibentuk dan dapat dilatihkan.

3. Teori Fungsionalisme Struktural

Teori Fungsionalisme Struktural menyoroti bagaimana terjadinya masalah gender itu muncul, dan mengarah kepada bagaimana gender dipermasalahkan . Teori ini menganggap bahwa “masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Masing-masing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan dan harmoni, dan bila terjadi kesalahan fungsi dari salah satu bagian struktur akan melahirkan gejolak” (mansour Faqih, 1996).

Teori ini memandang bahwa laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari struktur nilai dalam kehidupannya di masyarakat. Masyarakat adalah merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang sangat terkait, masing-masing bagian akan secara terus menerus mencari keseimbangan dan harmoni. Adanya gejolak merupaan indikator adanya kesalahan fungsi dari salah satu bagian struktur nilai di masyaakat. Selama tidak ada gejolak dalam masyarakat, berarti pemilahan peran menurut jenis kelamin perlu dipertahankan. Namun demikian apabila ada gejolak, atau pertentangan dalam memandang pemilahan peran sosial laki-laki dan perempuan, berarti diperlukan pemecahan untuk mencapai keseimbangan. Gejolak tersebut sebagai akibat dari adanya kesalahan fungsi dalam struktur atau tatanan kehidupan di masyarakat yang harus segera diselesaikan. Adanya gejolak yang menunut “kesetaraan gender”, berarti struktur dan fungsi sosial lama yang berlaku di masyarakat perlu diperbaiki, karena dianggap tidak sesuai atau terjadi penyimpangan.

Berdasarkan teori ini, munculnya tuntutan untuk kesetaraan gender dalam peran-peran sosial di masyarakat, sebagai akibat adanya perubahan struktur nilai sosial ekonomi masyarakat. Pada masyarakat pra-industri, laki-laki berperan sebagai pencari nafkah (pangan, sandang dan perumahan), dan perempuan berperan sebagai pengurus rumah tangga dan anak-anak. Berbeda dengan masyarakat kapitalis, di jaman industrialisasi yang lebih mementingkan materi, dan kondisi masyarakat sangat ketergantungan terhadap uang. Menurut Nasarudin Umar, 1999, “dalam era globalisasi yang penuh dengan bebagai persaingan, peran seseorang tidak lagi mengacu kepada norma-norma kehidupan sosial yang lebih banyak mempertimbangkan jenis kelamin, akan tetapi ditentukan oleh daya saing dan keterampilan.

4. Teori Evolusi

Teori evolusi mempengaruhi hampir semua teori tentang perubahan sosial, serta berpengaruh terhadap pemikiran modern. Seperti dikemukakan Mansour Fakih, 1996 bahwa “... kehidupan masyarakat bergerak dari masyarakat miskin non-industri, primitif, akan berevolusi ke masyarakat industri yang lebih komplek dan modern”.

Berdasarkan teori evousi bahwa semua peristiwa yang terjadi di jagat raya ini tidak secara otomatis terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi mengalami proses evolusi atau perubahan-perugahan yang berjalan secara perlahan tetapi pasti, terus menerus tanpa henti. Proses evolusi itu menuntut semua makhluk yang ada di jagat raya untuk melakukan adaptasi dengan berbagai perubahan apabila tidak ingin mengalami kepunahan.

Demikian juga dengan manusia yang secara terus menerus harus mau menyesuaikan diri dengan perubahan alam. Teori ini dalam kaitannya dengan konsep gender adalah memandang bahwa kesetaraan gender merupakan gejala alam atau tuntutan alam yang menghendaki adanya kesetaraan gender, yang harus direspon oleh umat manusia dalam rangka adaptasi dengan alam.

Berdasarkan teori evolusi, pembagian tugas dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan pada jaman dahulu tidak pernah dipermasalahkan. Pembagian tugas dan tanggungjawab antara laki-laki mencari nafkah dan perempuan memasak di rumah untuk kondisi jaman dahulu dianggap pembagian peran yang sangat adil. Di mana saat itu pengertian mencari nafkah tidak dapat disederhanakan atau disamakan artinya dengan mencari uang, tetapi pengertian mencari nafkah adalah mencari kebutuhan pangan, sandang dan perumahan yang sebenarnya. Pengertian mencari bahan pangan adalah mencangkul, menanam, baru panen atau mencari ikan disungai atau laut, berburu binatang. Mencari buah harus naik pohon, mencari bahan pakaian juga harus menanam kapas, setelah dipanen baru ditenun. Mencari bahan perumahan juga harus pergi ke hutan menebang pohon, mengangkut, dan membuatnya menjadi bahan bangunan sampai dibuat menjadi bangunan (rumah).

Pengertian mencari nafkah yang penuh resiko pada saat itu dianggap lebih cocok dan adil menjadi tanggungjawab laki-laki dengan alasan untuk melindungi tugas perempuan yang berkaitan dengan fungsi reproduksi yaitu mengandung, melahirkan dan menyusui, yang tidak bisa digantikan oleh laki-laki. Tujuan awal patriatisme ini, bukan untuk mendominasi kaum perempuan, tetapi untuk menjaga agar perempuan tidak terganggu dalam menjalankan tugas yang lebih penting (reproduksi).

Teori evolusi memandang bahwa pembagian peran seperti di atas, tidak selamanya akan berlaku secara abadi, karena secara perlahan-lahan (evolusi) semuanya akan berubah termasuk pemilahan peran antara laki-laki dan perempuan. Teori ini terbukti bahwa sekarang pengertian mencari nafkah tidak perlu dalam pengertian seperti dijelaskan di atas, tetapi bisa disederhanakan dengan pengertian mencari uang. Dengan pegertian tadi, untuk mendapatkan kebutuhan sandang, pangan dan perumahan dapat dilakukan dengan sangat mudah dengan cara ditukar (dibeli) dengan uang. Bila mencari nafkah diartikan dengan mencari uang, maka semua orang tanpa kecuali baik perempuan maupun laki-laki akan bisa melakukannya. Dengan demikain muncullah tuntutan adanya kesetaraan gender, yang menurut teori ini merupakan tuntutan alam yang disebakan adanya perubahan alam yang berlaku di masyarakat yang memungkinkan peran laki-laki dan perempuan bisa sama atau dipertukarkan. Bila kondisi ini dapat dianggap sebagai tuntutan alam, maka manusia harus segera menyesuaikan diri agar tidak terkena seleksi alam.


Proses Budaya Penyebab Kesenjangan Gender

Berdasarkan penjelasan di atas, dari beberapa teori dasar gender mengakui bahwa gender dibentuk melalui proses budaya masyarakat melalui pembiasaan, sosialisasi budaya dan pewariasan budaya sejak anak dilahkan ke dunia. Ajaran budaya yang turun temurun diwariskan dikemas dalam bentuk tata krama sosial, aturan sopan santun dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, proses pewarisan budaya paling efekif adalah berupa sosialisasi budaya secara langsung diterapkan dalam praktek kehidupan di masrayakat dan dicontohkan oleh orang tua.

Menuru Ahmad Muthali’in, 2001 bahwa pembudayaan gender melalui tuntutan sosial budaya yang membentuk tahapan-tahapan yang mengakibatkan bias gender, bias gender tersebut tercermin dalan berbagai bentuk, yaitu: 1) menentukan sifat-sifat feminin dan maskulin; 2) menentukan peran sosial domestik dan publik; 3) berkembang posisi dominasi dan ter-suborinasi. Ketiga tuntutan budaya tersebut bukan secara alamiah terjadi dan merupakan krorat manusia tetapi lebih disebabkan karena representasi budaya.

1. Sifat Feminin dan Maskulin

Sifat-sifat feminin dan maskulin bukanlah pembawaan kodrat. Sifat feminin dan maskulin bisa dipertukarkan atau dihilangkan, artinya perempuan bisa saja tidak feminin dan maskulin begitu juga dengan laki-laki. Secara fisik antara perempuan dan laki-laki memang terdapat perbedaan, dimana perempuan memiliki organ tubuh yang berpotensi untuk keperluan reproduksi seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui dengan ASI, sedangkan laki-laki memiliki organ tubuh yang berpotensi untuk menghasilkan sperma untuk membuahi sel telur dalam rahim perempuan. Tetapi yang membuat sifat-sifat feminin dan maskulin lebih disebabkan karena faktor budaya daripada faktor fisik yang biologis tersebut yang memang terdapat perbedaan.

Proses pembudayaan sifat-sifat feminin dan maskulin dapat tersosialisasi melalui pembedaan beberapa hal: bentuk pakaian, model potongan rambut, perlakuan, sebutan-sebutan atau bahasa yang berbeda untuk anak perempuan dan anak laki-laki, tatakrama dalam kehidupan bermasyarakat (berekspresi, bertutur kata, dan berprilaku). Dengan perbedaan-perbedaan tersebut anak mengidentifikasikan dirinya dengan orang dewasa sebagai idolanya,lengkap deengan sifat-sifatnya. Anak perempuan mengidentifikasikan dirinya kepada ibunya sebagai figur idolanya, seperti ingin cantik, ingin lemah lembut dan penyayang seperti ibu. Sedangkan anak laki-laki mengidentifikasikan dirinya dengan orang dewasa sebagai idolanya dengan segala sifat-sifatnya, seperti ingin gagah seperti jendral.

Lahirnya sifat feminin dan maskulin yang sangat menentukan adalah karena adanya contoh sifat-sifat orang dewasa yang dapat dilihat dan ditiru pada kehidupan sehari-hari kemudian ditambah dengan arahan dari orang dewasa. Selanjutnya sangsi sosial harus dihadapi, berupa celaan, cemoohan, atau bahkan teguran apabila tidak mematuhi aturan atau penyimpangan dari keharusan norma budaya yang berlaku. Disamping itu ada semacam budaya daerah yang tertuang dalam peribahasa atau ilustrasi-ilustrasi yang jelek apabila anak tidak bisa bersifat feminin atau maskulin. Khususnya bagi anak perempuan, bahwa sifat feminin itu pada awalnya berkembang sebagai akibat pembiasaan atau pemaksaan, kemudian disadari sebagai kebutuhan agar tidak mendapat kesulitan dalam bemasyarakat. Bagi anak perempuan yang mampu menampilkan sifat feminin dari masyarakat akan mendapatkan pujian, bahkan status sosial (kehormatan) seorang perempuan dianggap tergambar dari sifat feminin tadi.

2. Pembagian peran publik dan domestik

Seperti layaknya sifat feminin dan maskulin, pemilihan peran publik dan domestik juga merupakan proses budaya. Sejak kecil anak diperkenalkan dengan mainan-ainan yang merupakan miniatur dari pekerjaan-pekerjaan orang dewasa dengan peran dan fungsi yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Anak perempuan diberikan mainan boneka sebagai miniatur bayi, kemudian diberikan miniatur alat-alat masak. Mainan anak perempuan sudah mencerminkan peran domestik perempuan, yang mempresentasikan peran sosialnya kelak pada saat anak sudah menjadi dewasa diharapkan yang bersangkutann pandai mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik tersebut. Jenis mainan sebagai alat sosialisasi budaya, dimana anak kelak akan melakukan simulasi pekerjaan mengasuh dan menyayangi bayi terhadap boneka, dan simulasi pekerjaan memasak dengan miniatur alat memasak.

Kepada anak laki-laki sejak kecil diberikan mainan-mainan yang berupa miniataur peralatan kerja orang dewasa, seperti mobil-mobilan, miniatur senapan, miniatur robot atau miniatur pesawat terbang. Semua mainan-mainan tersebut menggambarkan peran laki-laki bila sudah dewasa agar mampu mengambil peran publik sebagai pengendara mobil, atau menjadi seorang jenderal, atau seorang pilot. Dimana pekerjaan-pekerjaan yang diharapkan diambil oleh anak laki-laki adalah pekerjaan publik yang menuntut kerja keras, kecerdasan, keberanaian, kekuatan, ketegaran serta keterampilan yang handal. Seolah-olah anak laki-laki sejak kecil sudah dupersiapkan bahkan dilatih untuk menghadapi peran publik, yang membutuhkan kemampuan ekstra sedangkan bagi anak perempuan tidak.

Pada kenyataannya organ tubuh laki-laki dan perempuan apabila mendapat latihan fisik yang sama, sejak lahir cenderung akan melahirkan kekuatan yang sama. Pembedaan kemampuan fisik perempuan dan laki-laki terjadi, karena sejak anak itu dilahirkan oleh nilai budaya orang tuanya sudah dibedakan, dengan diarahkan dan dipersiapkan untuk menghadapi peran pubik dan domestik sehingga dalam perkembangannya secara fisik pun bebeda. Warisan budaya masyarakat melalui orang tua, yang mempersiapkan anak untuk menghadapi peran publik untuk laki-laki dan peran domestik untuk perempuan melahirkan sifat maskulin bagi laki-laki dan sifat feminin bagi perempuan.

3. Posisi Mendominasi dan Ter-subordinasi

Proses budaya paternalistik yang membentuk sifat-sifat feminin dan maskulin, kemudian membagi peran sosial laki-laki dan perempuan sesuai dengan sifat-sifat tadi, maka posisi perempuan semakin pasif. Dengan kebiasaan sikap yang cenderung pasif karena dibatasi norma-norma yang menganggap tidak pantas dilakukan oleh perempuan walaupun sudah biasa dilakukan oleh laki-laki, maka pada diri perempuan lahirlah sikap ‘nrimo’, tidak disadari lagi apabila kaum perempuan telah ter-subordinasi. Sikap kaum perempuan yang sudah terbentuk menjadi pasif (nrimo), mendorong untuk menyerahkan segala urusan yang sulit kepada kaum laki-laki, dan kaum perempuan dengan sifat femininnya memerlukan perlindungan dari kaum laki-laki. Dari kondisi seperti ini muncullah dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan, baik dalam kehidupan berumah tangga maupun di dalam kehidupan bermasyarakat.

Kuatnya pengaruh budaya masyarakat yang selama tiga setengah abad dipengaruhi oleh aturan-aturan penjajah Belanda yang membedakan nilai kehormatan perempuan lebih rendah dari laki-laki, karena penjajah hanya memerlukan tenaga laki-laki untuk kerja ‘rodi’ dan memperlakukan perempuan untuk dihina kehormatannya.

Lebih penting lagi dalam kehidupan sosial di masyarakat saat ini, praktek-praktek dominasi laki-laki terhadap perempuan, walupun mulai berkurang tetapi masih saja tetap berlangsung. Misalnya dalam kegiatan musyawarah di kampung misalnya, biasanya yang diundang kepala keluarga/laki-laki dan setiap keputusan penting, meski perempuan terlibat di dalamnya, akan senantiasa harus menjadi keputusan yang disetujui oleh laki-laki. Tuntutan budaya masyarakat yang membuat posisi laki-laki dan perempuan menjadi mendomiansi dan ter-subordinasi, bahkan ada yang menjelma dalam peraturan perundang-undangan. Diantaranya terdapat peraturan perundang-undangan yang mengharuskan adanya ijin dari suami bagi perempuan yang akan mendapat tugas belajar ke luar negeri, dan tidak berlaku sebaliknya. Dilain pihak “hampir tidak ditemukan ketentuan yang dikenakan pada suami untuk minta izin dari istrinya ketika akan dipromosikan pada kedudukan atau tugas tertentu, kecuali ada satu izin yang diperlukan suami dari istri, yaitu apabila ingin kawin lagi, itu pun seringkali tidak dilakukan suami tetapi pengadilan tetap mengijinkan suami kawin lagi tanpa izin istri.





Dampak Kesenjangan Gender

Kesenjangan Gender yang disebabkan oleh proses budaya seperti yang dipaparkan di atas dampak negatifnya tidak serta merta berhenti sampai di situ. Pelanggengan atas Kesenjangan Gender yang juga oleh proses budaya tersebut menyebabkan dampak yang berkelanjutan dan lebih parah. Dampak kesenjangan yang dimaksud adalah munculnya praktek-praktek ketidakadilan, ketidakadilan yang dimaksud adalah Ketidakadilan Gender. Bentuk-bentuk dari ketidakadilan gender tersebut adalah sebagai berikut:

1. Diskriminasi Perempuan

Bentuk ketidakadilan yang sering menimpa perempuan adalah diskriminasi perempuan. Bentuk ketidakadilan gender model ini sering terjadi, mari kita elaborasi bersama, dimanakah dan dalam bentuk apakah ketidakadilan gender berupa diskriminasi perempuan sering terjadi:
§ Di lingkungan keluarga, ketika dalam sebuah keluarga dengan kemampuan ekonomi rendah memiliki dua orang anak perempuan dan laki-laki, sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk sekolah hanya cukup untuk membiayai sekolah satu orang anak, maka dengan berbagai pertimbangan yang –menurut mereka- masuk akal lebih diutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan, tanpa dilihat potensi dan prestasi akademiknya. Dalam lingkungan keluarga yang seharusnya penuh dengan kasih sayang ini sudah berlangsung diskriminasi perempuan.
§ Di lingkungan masyarakat tempat tinggal, dalam suatu musyawarah kampung biasanya pendapat-pendapat kaum laki-laki lebih menjadi bahan keputusan ketimbang pendapat kaum perempuan. Apabila perempuan dalam menyuarakan pendapatnya saja kurang mendapatkan tanggapan di masyarakat sekitarnya, bagaimana partisipasinya dalam pembangunan bisa optimal?
§ Di dalam struktur pemerintahan, persentase kaum perempuan yang menjadi pejabat struktural sangat sedikit dibanding laki-laki, demikian juga dalam bidang legislatif, perempuan yang menjadi wakil rakyat yang memperjuangkan segala hak-hak rakyat jumlahnya masih sangat sedikit.
§ Di dalam lapangan pekerjaan, kaum laki-laki lebih dipercaya menduduki jabatan sebagai pengambil keputusan dengan upah/gaji lebih tinggi, sedangkan perempuan lebih diposisikan sebagai tenaga membantu laki-laki, bahkan ironisnya ada beberapa perusahaan yang memberikan gaji berbeda kepada pegawainya yang perempuan dan laki-laki meski mereka melakukan pekerjaan yang sama persis.

2. Eksploitasi Kaum Perempuan

Pada zaman sekarang bentuk eksploitasi perempuan condong pada kepentingan ekonomi bagi keuntungan sekelompok kecil orang (pengusaha). Fenomena yang terjadi saat ini dimana investor dalam dan luar negeri terus berdatangan, pabrik-pabrik didirikan, lowongan kerja dibuka, termasuk lowongan kerja untuk perempuan. Dalam hal ini kaum perempuan lebih dianggap sebagai tenaga kerja yang tekun, mudah diatur dan murah upahnya. Bila dilihat dari jenis pekerjaan yang diposisikan untuk kaum perempuan, umumnya lebih dikaitkan dengan kondisi fisik seperti kecantikan dan keluwesan sehingga terjadi bentuk eksploitasi perempuan untuk kepentingan bisnis atau politik. Bentuk eksploitasi yang terjadi diantaranya adalah:
§ Kaum perempuan dipekerjakan melebihi jam kerja
§ Perempuan hanya dibuat sebagai penarik pembeli, dengan menggunakan kecantikan dan daya tarik perempuan

Bentuk-bentuk eksploitasi kaum perempuan seperti di atas sangat banyak terjadi dan belum mendapatkan perlindungan hukum, bahkan hukum melanggengkan eksploitasi tersebut, seperti yang termaktub dalam UU Perkawinan.

3. Marjinalisasi Perempuan

Bentuk marjinalisasi perempuan pada saat ini bukan hanya karena harus bersaing dengan kaum laki-laki, tetapi bersamaan dengan itu muncul persaingan dengan teknologi yang menggantikan peranan pekerja perempuan. Misalnya terjadi di daerah pedesaan, Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris, mampu menghasilkan padi sebagai bahan pokok makanan, dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi perempuan untuk memanen padi dengan menggunakan ani-ani. Sekarang perempuan termarjinalkan karena tehnologi pertanian menemukan bibit padi unggul batang pendek, than hama, usia singkat dan dipanen dengan sistem ditebang batangnya dengan mnggunakan sabit, ,dan pekerjaan memanen padi model ii menjadi pekerjaan laki-laki.

Contoh yang sering terjadi di perkotaan, marjinalisasi perempuan berkaitan dengan budaya patriatisme yang memerankan perempuan di sektor domestik dan laki-laki pada sektor publik. Namun demikian masalah gaji atau materi juga turut menentukan, karena walaupun pekerjaan domestik yang seharusnya dikerjakan oleh perempuan, tetapi apabila pekerjaan itu dimaksudkan untuk kepentingan publik dengan upah/gaji tinggi, maka pekerjaan tersebut akan menjadi pekerjaan laki-laki. Sebagai contoh pekerjaan memasak yang biasanya telah menjadi pekerjaan perempuan, tetapi juru masak di restauran atau hotel berbintang bukan oleh perempuan lagi, tetapi juru masaknya (koki) laki-laki. Pekerjaan tadi tidak lagi menjadi milik perempuan melainkan sudah didominasi oleh tenaga koki laki-laki.

4. Sub-ordinasi Perempuan

Sub-ordinasi perempuan merupakan kelanjutan dari pandangan bahwa perempuan makhluk yang lemah, maka laki-laki sebagai makhluk yang kuat datang untuk melindungi kaum perempuan, selanjutnya dengan beralasan sebagai pelindung memberikan pembatasan-pembatasan kepada perempuan. Bentuk penyimpangan dari perlindungan laki-laki kepada perempuan menjadi penguasaan laki-laki terhadap perempuan. Hal ini melahirkan sub-ordinasi terhadap perempuan. Bentuk sub-ordinasi bermacam-mcam, berbeda dari suatu tempat dengan tempat lain, dari waktu ke wktu, dan dari budaya satu dengan budaya lainnya. Misalnya buday asuatu tempat tertentu, pada masa lalu (atau sampai sekarang pun masih sama) bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena toh akhirnnya akan ke dapur juga. Pembagian peran perempuan bekerja di dapur untuk melayani suami dan anggot alainnya, selanjutnya menjadkan perempuan semakin ter sub-ordinasi di bawah perintah dan keinginan suaminya. Penyimpangan-penyimpangan seperti ini yang merugikan kaum perempuan.

Dari sisi penghargaan terhadap pekerjaan perempuan, yaitu pekerjaan perempuan khususnya yang berkaitan dengan “reproduksi” atau 4M (menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyussui denegan ASI) yang telah menjadi hak preogatif kaum perempuan seringkali kurang mendapatkan penghargaan yang baik. Padahal pekerjaan 4M tersebut tidak bisa digantikan oleh laki-laki.

Padahal bisa kita bayangkan? Apabila pekerjaan 4M tidak dihargai, kemudian perempuan tidak mau engandung, melahirkan dan menyusui, lalu bagaimana generasi kita selanjutnya? Kasus ini telah terjadi pada negara-negara industri (terutaam di Eropa), dimana perempuannya tidak mau mengandung dan melahirkan, bahkan tidak mau menikah sehingg ajumlah penduduk semakin berkurang.

5. Stereotipe Jenis Kelamin

Pengertian stereotipe jenis kelamin secara umum mengacu kepada pelabelan jelek kepada perempuan dengan berbagai pembatasan baik berupa keharusan/kewajiban atau pelarangan tertentu yang menuntut untuk ditaati berdasarkan adat budaya masyarakat dan menimbulkan ketidakdilan, apabila dilanggar akan mendapat semacam sangsi sosial.

Dengan pemberlakuan pandangan stereotipe yang bersumber pada kebudayaan masyarakat peradaban lama semacam ini, apabila dilihat dari segi kesetaraan jender, jelas-jelas merupakan pandangan yang bias gender. Stereotipe gender merupakan suatu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni dengan pemberian label tertentu yang memojokkan kaum perempuan. Dibawah ini beberapa contoh pelabelan terhadap perempuan:
§ Pandangan bahwa gadis perawan adalah makhluk yang rawan sehingga harus dijaga dan dibatasi, pengertian perlindungan yang berlebihan ini berubah menjadi penguasaan sehingga terjadi pengekangan-pengekangan terhadap perempuan. Akibat selanjutnya, kemampuan, prestasi dan peran perempuan baik dalam masyarakat, maupun dalam lingkungan kerja menjadi ketinggalan dibaningkan lawan jenisnya.
§ “Perempuan sebagai ibu rumah tangga”, stereotipe tersebut memposisikan perempuan menjadi orang yang paling bertanggungjawab terhadap urusan rumah dan anak-anak. Akibat dari pelabelan ini, jika perempuan hendak aktif dalam kegiatan publik yang dianggap “wilayah” laki-laki, seperti kegiatan politik, bisnis dan olah raga dianggap tidak sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan. Akibat selanjutnya adalah pedidikan kaum perempuan menjadi tidak prioritas, atau diomorduakan. Perempuan sebagai ibu rumah tangga, pendidik anak, dan pendamping suami harus lebih mengutamakan kepantingan keluarga, yaitu anak-anak dan suami, ketimbang kepentinagn untuk mengembangkan potensi dirinya.
§ Stereotipe jenis kelamin kepada laki-laki bahwa laki-laki sebagai “pencari nafkah utama” juga berdampak pada marginalisasi dan penguasan leki-laki terhadap perempuan, akibat pandangan seperti ini memposisikan hasil karya perempuan seberapapun nilainya dianggap sebagai penghasilan tambahan bukan penghasilan yang pokok. Pandangan seperti itu menyebabkan motivasi perempuan untuk peningkatan prestasi dalam karienya menjadi berkurang, karena menurut pandangan budaya yang berkembang di masyarakat tanggungjawab yang lebih utamanya adalah mendidik anak dan mengurusi urusan keluarga.

6. Beban Kerja Lebih Berat

Seringkali terdengar kritik bahwa “efek dari pemilahan peran sosial (gender) yang menimpa kaum perempuan diantaraya adalah beban kerja perempuan lebih berat”. Dari segi jumlah dan jenis pekerjaan, sebagai ibu rumah tangga lebih banyak dan lebih berat dari pada pekerjaan publik yang menghasilkan materi. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga selain hasilnya tidak seluruhnya dapat dihitung dengan nilai uang, juga hasilnya abstrak. Celakanya perjuangan dan pengorbanan seperti ini kurang mendapatkan penghargaan, seperti ketika sang suami mendapatkan hasil kerja berupa materi.

LBH APIK Jakarta pernah melakukan penelitian tentang pembakuan peran pada masyarakat kota Jakarta. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ternyata hampir sebagian besar keluarga di Jakarta biaya kehidupannya ditopang oleh perempuan, meski perempuan dianggap sebagai ‘pencari nafkah tambahan’ keberadaannya tidak dapat diabaikan. Perempuan yang juga bekerja di luar rumah pada kenyataannya masih tetap harus bekerja di dalam rumah melakukan kerja-kerja domestik, kaum laki-laki (dalam hal ini suami) belum memiliki kesadaran untuk berbagi dalam melakukan pekerjaan domestik.

Ketidakadilan sangat kentara, meski beban kerjanya lebih berat, tetapi curahan waktu dan tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan domestik tersebut sama sekali tidak dihargai secara ekonomi, bahkan status sosialnya dalam masyarakat dipandang lebih rendah dari pekerjaan publik. Sebenarnya pandangan yang sangat salah, apabila menganggap pekerjaan domestik tidak berharga secara ekonomis sekaligus dipandang rendah secara sosial.

7. Kekerasan terhadap Perempuan

Bentuk penyimpangan yang paling mengerikan dari budaya patrialisme yang berdampak pada kesenjangan gender yang mengakibatkan ketidakadilan gender adalah terjadinya bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sebelum membahas kekerasan terhadap perempuan lebih lanjut, yang dimaksud dengan Kekerasan itu sendiri adalah setiap sikap/perbuatan yang berakibat, atau dapat berakibat kesengsaraan atau penderitaan (Fisik, Emosional/Psikologis, Ekonomi dan Seksual) pada objek, termasuk ancaman perbuatan tertentu.

Adapun bentuk-bentuk dari kekerasan adalah berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis/psikologis/emosional, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi (dalam UU P KDRT dikenal dengan sebutan penelantaran rumah tangga).

Kekerasan Fisik adalah setiap sikap/perbuatan yang berakibat atau dapat berakibat kesengsaraan atau penderitaan fisik pada obyek, termasuk ancaman perbuatan tertentu yang ditujukan untuk mengakibatkan penderitaan fisik pada obyek. Beberapa bentuk kekerasan fisik antara lain dipukul, ditendang, diludahi, dicakar, dicekik, dilepar batu/kotoran/benda-benda lain, dibunuh, pemotongan anggota tubuh, dll.

Kekerasan Psikis/Psikologis/ Emosional adalah setiap sikap/perbuatan yang berakibat atau dapat berakibat kesengsaraan atau penderitaan psikis/psikologis/emosional pada obyek, termasuk ancaman perbuatan tertentu yang ditujukan untuk mengakibatkan penderitaan psikis/psikologis/emosional pada obyek. Beberapa bentuk kekerasan psikis/psikologis/ emosional antara lain menakut-nakuti, membuat gelisah/curiga, mebuat orang terhina/malu, memaki, membentak, memandang deengan mata melotot, dll.

Kekerasan Seksual adalah setiap sikap/perbuatan yang berakibat atau dapat berakibat kesengsaraan atau penderitaan seksual pada obyek, termasuk ancaman perbuatan tertentu yang ditujukan untuk mengakibatkan penderitaan seksual pada obyek. Beberapa bentuk kekerasan seksual antara lain perkosaan, incest, pelecehan seksual (menyentuh, meraba, mencium, mencubit dengan paksa, mempertontonkan bahan-bahan pornografis, merayu, menggunjingkan bagian-bagian tubuh tertentu seseorang, dll), sunat pada perempuan, perdangangan perempuan untuk prostitusi, pemaksaan alat KB dan ber-KB, pemaksaan kawin/hamil, dll.

Kekerasan Ekonomi adalah setiap sikap/perbuatan yang berakibat atau dapat berakibat kesengsaraan atau penderitaan ekonomi pada obyek, termasuk ancaman perbuatan tertentu yang ditujukan untuk mengakibatkan penderitaan ekonomi pada obyek. Beberapa bentuk kekerasan ekonomi antara lain diskriminasi upah, menunda pembayaran upah, menghilangkan nafkah, mengkaryakan/mengkomoditikan istri, dll.

Baca Selengkapnya ...

HAM & PERNIKAHAN DIBAWAH UMUR

Prov. NTB khususnya Pulau Lombok dikenal dengan tingkatIPM yang rendah dan angka kematian ibu dan bayi masih sangat tinggi. tentu hal ini menjadi keprihatinan dan tugas semua pihak terutama pemerintah untuk mencarikan solusi.
Beberapa instrumen HAM tentang pernikahan dibawah umur, yaitu :
1. convention on consernt to marriage, minimum age for marriage and registration of marriages, 1964;
2. UU. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun;
3. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah yang berusia dibawah 18 tahun;
3. CRC (konvensi PBB untuk perlindungan anak) yaitu 18 tahun;

Hak-hak anak
- non diskriminasi;
- kepentingan yang terbaik bagi anak;
(dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, pemerintah atau legislatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang utama.
- hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
(hak yang melekat atas kehidupan, didalamnya perkembangan fisik dan mental (pendidikan), moral dan spritual, sosial dan budaya).
- penghargaan terhadap pendapat anak.
Perlindungan hukum bagi Anak:
Undang-undang perlindungan anak pasal 26 ayat (1) menyebutkan bahwa :orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak;
Pasal 81 ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun, minim 3 tahun dan pidana denda maksimal 300 juta dan minimum 60 juta rupiah.
KUHP pasal 288 : barang siapa dalam perkawinan bersetubuh seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Ada beberapa Dampak Pernikahan di Bawah Umur:
Dampak Biologis
anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan sek dengan lawan jenisnya, apabila sampai hamil kemudian melahirkan. JIka dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak.
Dampak psikologis
secara psikologis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan sek, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Disamping itu pernikahan tersebut akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan, hak berma serta dan menikmati waktu luang serta hak-hak lain yang melekat dalam diri anak.
bersambung

Baca Selengkapnya ...

Teknik Shalat Khusu'

Shalat Bagi Laki-laki
Sebagai hamba Allah SWT yang beriman, kita dibebankan kewajiban untuk menyembah-Nya dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Kewajiban shalat tersebut dibebankan 5 Waktu sehari semalam. Kewajiban shalat ini menjadi sangat urgen karena merupakan satu-satunya media yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun banyak diatara kita umat Islam yang tidak faham bagaimana shalat yang sebanarnya.
Berikut saya akan memaparkan teknik yang benar dan tepat dalam gerakan-gerakan shalat...se,oga berguna untuk kita semua....

Cara berdiri;
Menghadaplah ke kiblat dengan mantap dan tegak lurus, serta pandangan di arahkan ke tempat sujud.
Niat:
Niat dilafazkan bersamaan dengan takbiratul ihram, yang terpenting diniatkan adalah :shalat apa, rakaat dan karena Allah.
Takbir:
Takbir yang baik dan tepat adalah dengan mengangkat ke dua tangan dan telapak tangan menghadap kiblat, ibu jari sejajar dengan ujung bawah daun telinga.
Sedakep:
ketika tangan bersedakap sebaiknya di geser agak ke kiri sedikit tepat diatas hati, ini mengandung filosofi bahwa kita menutup hati kita untuk tidak mengingat yang selain Allah karena sifat hati yang bergolak.
Rukuk:
rukuk yang baik dan benar adalah: kedua telapak tangan memegang lutut, tangan lurus dan pandangan menghadap tepat ke tempat sujud serta punggung lurus dengan kepala.
Sujud :
ada beberapa rukun dalam sujud dan harus dipenuhi, yaitu kening harus menyentuh tempat sujud tanpa ada rambut atau apapun yang menghalanginya dan bagi yang rambutnya pajang usahan menggunakan topi karena ada kaedah dalam fiqh : "ma la yatimmul wajibu illah bihi fahuwa wajibun" apa saja yang karenanya sesuatu yang wajib menjadi lengkap, maka hal itu juga wajib. hidung harus menyentuk tempat sujud, jari-jari tangan di rapatkan (hal ini mengandung filosofi bahwa rahmat Allah itu datangnya dari bawah. Jari-jari kaki ke semuanya harus menyentuh tempat sujud. Perut agak dinaikkan.
Dalam shalat ada istilah tuma'ninah (yaitu diam sejenak disetiap gerakan shalat, misalnya pada waktu rukuk atau i'tidal).
Semoga berguna untuk kita semua.......

Baca Selengkapnya ...

Hari Anak Nasional

Hari Anak Nasional 2009

23 Juli merupakan hari anak nasional yang selalu diperingati dan diisi dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan anak. LBH APIK NTB sebagai salah satu lembaga yang konsen terhadap permasalahan anak menyelenggarakan pentas seni dan dialog publik dengan tema : Dampak pernikahan dini bagi kesehatan reproduksi, yang juga menyinggung budaya “merarik” yang keliru dalam inplementasinya di masyarakat. acara yang bertempat di Gedung Graha Bhakti Praja kolplek kantor Gubernur NTB ini berlangsung meriah dan di hadiri 500 an peserta terdiri dari kalangan tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, Aparat Penegak Hukum, mahasiswa, siswa, guru, LSM dan unsur pemerintahan yang berasal dari seluruh pulau Lombok. Acara di buka oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat TGH. M. Zainul Majdi, MA yang sekaligus membuka acara secara resmi.

Dalam sambutannya TGH. Zainul Majdi, MA menyatakan :”merarik belakangan ini merupakan persolan yang banyak disoroti. Mengapa? karena menurut Gubernur, disatu sisi merupakan hukum yang hidup di masyarakat Sasak, namun disisi lain ada yang bertentangan dengan Undang-Undang dan perkembangan zaman.” hal ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkebangan masyarakat”. Karena menimbulkan berbagai macam permasalahan baru yang sulit kita atasi bersama, maka semua pihak harus dapat mendorong kesadaran semua dan mencapai kesepakatan meminimalisasi terjadinya kasus pernikahan di bawah umur. Lanjut Gubernur, membicarakan permasalahan merarik adalah suatu hal yang pantas untuk dibicarakan , bukan hal yang sifatnya tabu, tentu tidak dalam rangka mendiskreditkan pihak-pihak tertentu.
Karenanya apa yang menjadi gawe dari LBH APIK NTB adalah suatu hal yang wajar dalam rangka untuk mencari solusi terkait dengan berbagai persolan yang terjadi dimasyarakat, khususnya terkait dengan persoalan anak, jika melakukan perkawinan dibawah umur. Sebab, bicara soal anak sangat kompleks, sehingga di perlukan dialog guna penyelesaian masalahnya. Tentu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dengan cara-cara yang simpatik dan elegan. Kita bisa merubah semua, yang tidak bisa di rubah hanya al-Qur’an dan hadist.
Selain dialog publik yang menghadirkan 2 orang narasumber yaitu : Bapak dr. Soesbandoro (kesehatan reproduksi) dan DR. Idrus Abdullah, SH, Magister (hukum dan perundang-undangan) juga menghadirkan gelar pentas seni yaitu tari rudat, puisi, dance dan Shalawat. Acar ini sebagai bentuk perhatian LBH APIK NTB terhadap tumbuh kembang anak yang harus didapatkan oleh anak.
Sementara Beauty Erawati, SH, MH dalam laporan sebagai ketua panitia menyatakan : “Tokoh adat belum sepaham dengan LBH APIK NTB. “kita tidak ada niat sama sekali untuk merusak adat, justru kita mau meluruskan adat yang benar karena dalam praktiknya sudah banyak yang menyimpang, imbuhnya.
Dalam kesempatan ini sedianya kita akan mengadakan dialog publik dengan tema :"Selarian (merarik) Dalam Kontroversi" di tinjau dari segi adat, hukum dan kesehatan. Akan tetapi karena banyak kalangan yang tidak setuju dengan tema yang di angkat, maka acara tersebut urung dilaknasakan. Kita harus faham bahwa hal-hal seperti ini (merarik) bukan hal yang tabu untuk dibahas, kita ingin bahwa persoalan yang ditimbulkan dengan mengatasnamakan merarik sangat meresahkan orang tua, misalnya terjadi perkosaan dll yang tidak diinginkan. Untuk itu diperlukan kepedulian kita bersama terutama tokoh adat untuk meluruskan praktik selarian dan merarik yang sebenarnya sesuai dengan adat yang berlaku di Lombok khususnya.
Semoga ke depan, tidak lagi anak menjadi korban………

Baca Selengkapnya ...

Selarian


Selarian Sasak
Masyarakat pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat dikenal dengan kekayaan budaya yang unik, khususnya dalam budaya menikah. Masyarakat Lombok mengenal namanya Selarian atau lebih dikenal dengan nama "merarik" yaitu membawa perempuan untuk dinikahi. Pada awalnya proses ini berjalan baik karena sudah memenuhi unsur dan persyaratan secara adat dan tidak melanggar aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Akan tetapi pada perkembangannya adat ini sudah banyak berubah dan malah di salah gunakan oleh mereka yang tidak bertanggungjawab.
Kita cukup miris mendengar berita banyak anak-anak sekolah dilarikan untuk dinikahi dan bahkan mereka tidak saling mengenal sebelumnya, apalagi keluarga yang mau kenal, padahal sebagai prasyarat awal bahwa bisa melakukan selarian apabila antara laki-laki dan perempuan sudah saling kenal, ada proses saling kenal keluarga. Hal ini tentunya mengakibatkan banyak orang tua yang tidak terima anak mereka yang masih sekolah dibawa selarian bengitu saja. Kasus-kasus ini pada gilirannya berdampak pada IPM NTB yang tidak bisa naik peringkatnya, karena banyak pernikahan usia dini.

Menurut beberapa tokoh adat, bahwa sudah terjadi kekeliruan dalam adat selarian, tidak boleh membawa lari gadis yang masih di bawah umur, harus ada sepengetahuan orang tua, ada saling mengenal sebelumnya dsbnya.
Kasus terbaru yang ditangani oleh LBH APIK NTB adalah salah seorang putri dari Lombok Timur yang masih duduk di bangku sekolah dibawa selarian, orang tua tidak terima dan melaporkan kasus tersebut ke Aparat Kepolisian Lombok Timur, dan Aparat yang sudah responsif gender berani menahan pelaku dengan tuduhan melanggar pasal 332 KHUP melarikan perempuan yang belum dewasa. Salut untuk Polres Lombok Timur.
karena permasalahan ini tidak terlalu berani di campuri oleh aparat karena merupakan ranah adat, akan tetapi karena melanggar adat dan tentunya peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Aparat Kepolisian harus menegakkannya. Semoga ke depan tidak terjadi lagi kasus yang melanggar adat dan tentunya hukum. Mari kita kembali kepada adat selarian yang sesungguhnya....

Baca Selengkapnya ...

Moneva Program Anak

Monitoring dan Evaluasi 2009
Hari Senin kemarin tanggal 22 Juni 2009,LBH APIK NTB khususnya Program Anak mengadakan Monitoring dan Evaluasi Jaringan Perlindungan anak yang juga melibatkan 5 jaringan NGO yaitu : LARD Mataram, YPAI Lobar, LMND, STN dan FKMN NTB. Acara ini sendiri bertempat di Rumah Makan Dua Em Mataram dengan fasilitator : Marta Dinata dari YKPR Mataram.

Proses Moneva:

Pertama acara dibuka oleh Panitia Tony Hoban selaku koordinator Program anak LBH APIK NTB, dalam pembukaannya dia mengungkapkan bahwa :"acara moneva seperti ini sudah rutin kita lakukan 6 bulan sekali dengan melibatkan jaringan dan 5 NGO lain sebagai pemantau, acara ini dimaksudkan untuk menggali permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh jaringan dalam penanganan kasus anak".

Sementara Direktur LBH APIK NTB Beauty Erawati, SH, MH mengungkapkan "selama 3 tahun tertakhir ini sudah menangani 570 an kasus dan dengan jumlah korban 430 orang, mengapa ini berbeda, karena satu korban bisa mendapatkan 2-3 kasus. Banyak orang mengatakan bahwa LBH APIK NTB hanya menangani kasus saja, kalau menangani kasus saja, maka kasus tidak akan pernah habis sampai dunia kiamat. Padahal mereka tidak tahu, bahwa kita melakukan 3 (tiga) hal, struktur : kita memberikan pemahaman kepada aparat penegak hukum agar lebih responsip dam berpihak kepada korban. Subtansi : kita juga berupaya mendesakkan peraturan dan kebijakan ditingkat daerah berupa Perda dan SK yang adil terhadap perempuan. Kultur : juga memberikan penyadaran dan pemahaman kepada masyarakat untuk lebih memahami hukum. Jika ke tiga hal tersebut sudah bagus, maka secara otomatis perjuangan kita selama ini sudah berhasil". Imbuhnya.

Dalam moneva ini terungkap beberapa kendala yang dihadapi oleh jaringan diantaranya, jaringan belum memiliki buku panduan yang berisi mekanisme penanganan kasus dan peraturan yang berkaitan. banyak juga yang mengungkapkan bahwa banyak APH yang masih tidak responsif korban. Sementara juga ada muncul kendala dari korban dan masyarakat yang menganggap korban terutama perempuan dan anak yang salah jika terjadi kasus. Masyarakat masih menganggap aib untuk melaporkan kasusnya dan diketahui publik. Sementara temen-temen NGO meberikan masukan agar lebih meningkatkan koordinasi dan komunikasi anatar jaringan maupun jaringan dengan LBH APIK NTB. Perlu juga dibentuk forum di masing-masing daerah untuk melakukan advokasi bersama dan penanganan kasus yang berat sehingga tidak semua kasus harus dirujuk ke LBH APIK NTB, yang penting ada laporan ke APIK.

Semoga ke depan LBH APIK NTB semakin Jaya dan terus berbuat untuk kebaikan umat.....

Baca Selengkapnya ...

KASIHAN TKI NTB

Oh..TKI..oh
Akhir-akhir ini kita banyak mendengar TKI asal NTB banyak yang di deportasi bahkan sebelumnya mendapatkan penyiksaan, gaji tidak di bayar yang melanggar HAM mereka, hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi Pemda NTB untuk mengatasi permasalahan tersebut. Ada indikasi bahwa, TKI asal NTB dipalsukan identitasnya. Untuk itu diperlukan kepedulian dan keseriusan Pemda untuk menjalankan Fungsi Kontrol selaku Pengawasan dalam penempatan TKI asal NTB.

Semoga semua bisa peduli dengan nasib pahlawan devisa ini. Jangan sampai ketika orang asing maun masuk ke wilayah kita, kita semua marah dan rasa kebangsaan kita muncul, akan tetapi, ketika rakyat kita yang di injak-injak martabatnya sebagai manusia di negara lain, rasa patriot kita terbelenggu...ayo kita selamatkan pahlawan kita......maju...

Baca Selengkapnya ...

Selarian bermasalah?

Adat masyarakat sasak asli khsusus selarian (merarik) telah banyak mengandung kontrofersi, karena adat selarian yang sebenarnya tidak diperhatikan. Contoh kasus terbaru adalah, klien LBH APIK NTB yang masih anak di bawa untuk dinakahi tanpa persetujuan orang tua. Pihak keluarga perempuan tidak terima karena anaknya masih sekolah. Sementara keluarga laki-laki juga tidak terima calon mempelai perempuannya di ambil kembali oleh keluarga. lambat laun, karena proses permintaan wali tidak diberikan, pihak keluarga laki-laki mendaftarkan ke Pengadilan Agama Mataram untuk permohonan wali adhal. Hal ini tentunya merupakan babak baru dalam kisah selarian di Lombok. Diperlukan perhatian semua pihak terutama pemerintah dan tokoh adat untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bagaimana selarian yang sebenarnya tanpa melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Kita berharap adat selarian tidak membawa dampak yang buruk bagi peningkatan IPM NTB agar bisa sesuai dengan Slogan :NTB Bersaing (Beriman dan Berdaya Saing).
semoga....

Baca Selengkapnya ...

TOT Paralegal


TOT Paralegal
kemarin, tanggal 11 - 13 Juni 2009 bertempat di Hotel Puri Saron Senggigi, LBH APIK NTB mengadakan Training of Trainer Paralegal dengan peserta 26 orang yang berasal dari berbagai daerah. TOT ini terselenggara berkat kerjasama LBH APIK NTB dengan Federasi APIK, APIK yang hadir, Jakarta, Bali, Semarang, Manado, Pontianak, Palu dan Makassar.
TOT ini menghadirkan 2 (dua) orang fasilitator dari Makassar (Lusy Palalungan) dan dari Mataram (Beauty Erawati) serta narasumber Bapak Sulistio dari Koslata Mataram. TOT ini mengajarkan peserta untuk mernjadi fasililator yang handal dan menjadi narasumber yang baik..
ke depan diharapakan peserta bisa menjadi fasilitator untuk perubahan ke arah kesetaraan gender dan HAM.

Baca Selengkapnya ...

Pornografi


PORNOGRAFI
Pornografi haram karena mengeksploitasi aurat...
Namun, soal batasan aurat
dan kriteria sesuatu dapat disebut produk pornografi
tetaplah debatable.


Salah satu isu yang dipandang berkait rekat dengan pentingnya menutup aurat (berjilbab?) adalah isu pornografi. Kebanyakan muslim yakin bahwa menutup aurat turut bersumbang-sih bagi upaya meredam maraknya pornografi—juga versi ikutannya, pornoaksi.
Isu pornografi sendiri belakangan menguat seiring kian banyaknya alternatif media informasi dan/atau produk teknologi. Banyak bermunculan, baik kuantitas maupun kualitas. Aksesabilitas masyarakat pun terhadap beragam produk teknologi meningkat sehingga memudahkan mereka mengakses aneka bentuk informasi, termasuk produk-produk pornografi. Ambil misal, pertumbuhan dan persebaran internet, suatu peranti teknologi di mana seluruh hitam-putih informasi, termasuk produk pornografi, dapat dengan mudah diakses kapanpun, di manapun, dan oleh siapapun—tak terkecuali anak-anak. Beberapa tahun lalu internet masih terbilang langka, tapi kini sangat mudah dijumpai dan diakses seperti halnya media cetak dan elektronik. Bahkan, ketimbang televisi dan media-media cetak, ia lebih mampu menawarkan banyak “warna” bagi pengaksesnya.
Seiring itu, keprihatinan atas bahaya pornografi semakin merebak. Terutama bahayanya bagi anak-anak. Namun, keprihatinan itu terasa ironis dan menjadi kontroversial saat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengajukan suatu rancangan produk hukum bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) pada 14 Februari 2006. Munculnya RUU APP, kita tahu, tempo hari sempat menyulut kontroversi bahkan hampir-hampir juga memantik sejumlah benturan antarmassa pendukung dan penolak. Perdebatan seputar RUU tersebut beserta kemungkinan eksesnya kala itu ramai mewarnai berbagai forum dan media massa. Sayang, dalam perkembangannya, perdebatan yang mengemuka tak lagi produktif. Sebab, debat tak lagi fokus soal bahaya pornografi dan problem kememadaian perangkat perundang-undangan yang mengaturnya, tapi lebih ke soal klaim-klaim teologis yang berujung pada pemaksaan standar moral tertentu (Islam) terhadap standar-standar moral lain di tengah masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural. Polarisasinya di level sosial menjadi sangat sederhana, mereka yang menolak RUU dianggap melecehkan agama (Islam) dan penyokongnya menahbiskan diri sebagai pembela agama.
Polarisasi itu, juga seluruh perdebatan yang melatari, sejatinya terbentuk dan berpangkal dari kesulitan mendefinisikan pornografi (dan juga pornoaksi) itu sendiri. Definisi pornografi sungguhlah cair. Tak ada definisi tunggal tentangnya. Di situ kita menghadapi banyak dilema, terutama dalam menentukan kriteria yang disebut porno. Jelas, pada akhirnya, ini bukan hanya soal hukum tapi lebih jauh adalah persoalan akhlak, etika. Susahnya, soal etika acap disederhanakan sebagai etiket dan lalu dijadikan alasan suatu standar etiket tertentu untuk mendominasi standar-standar etiket lain. Kita abai bahwa soal-soal semacam itu sungguh terikat dengan keragaman budaya, letak geografis, dan kesepakatan publik tentang tata cara berbusana. Oleh karena itu, sebelum menghukumi pornografi (juga pornoaksi) kita perlu memahami seluk-beluk apa itu pornografi.

A. Mencari Definisi
Istilah pornografi berasal dari bahasa Yunani, πορνογραφία atau pornographia. Ia berakar pada kata Yunani klasik, πορνη dan γραφειν, yang secara harfiah berarti “tulisan tentang atau gambar tentang pelacur”. Mulanya ia sebuah eufemisme dan secara harfiah berarti “(sesuatu yang) dijual”. Istilah pornografi juga sering dirujukkan pada kata Yunani kuno untuk menunjuk orang-orang yang mencatat “pornoai” atau para pelacur terkenal atau yang mempunyai kecakapan tertentu. Terkadang juga disingkat menjadi porn, pr0n, atau porno yang didefinisikan sebagai penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual. Ia memiliki kemiripan dengan “erotika” sehingga keduanya sering digunakan secara bergantian—padahal sebenarnya antarkedua istilah tersebut berbeda.


masturbasi, dan lain-lain. Hal-hal inilah yang antara lain menuai protes-keberatan. Terkait ini, KH A. Mustofa Bisri merasa perlu me-wanti-wanti (mengingatkan) para elit di DPR untuk bertindak arif dengan mengakomodir aneka kepentingan, aspirasi, dan perbedaan kultural di tengah masyarakat. “Apalagi di Indonesia ada beberapa provinsi yang sudah sangat kental dengan penampilan yang oleh sebagian masyarakat dinilai sebagai porno, seperti di Bali dan Papua,” katanya. Karena itu Gus Mus, demikian kyai budayawan itu akrab disapa, meminta mendefinisikan terlebih dahulu secara tegas apa itu porno tanpa mencederai keragaman di masyarakat. Ia berujar, “Definisi porno harus tegas dulu, karena masalah aurat itu juga banyak pendapat. Jangan-jangan setelah RUU disahkan nanti justru akan berbenturan dengan fiqh Islam, karena dalam fiqh Islam pun banyak pelajaran (berbeda-beda) tentang seksualitas, termasuk dunia kedokteran.”
Celakanya, saran-saran seperti antara lain diajukan Gus Mus itulah yang tampak serius diabaikan oleh para perumus RUU APP. Hampir secara keseluruhan, spirit RUU itu tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis, dan agama. RUU itu jutsru bertumpu pada sebentuk kepongahan bahwa negara dapat mengatur-atur moral dan etika segenap rakyat Indonesia yang begitu bhinneka itu lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah-laku berdasarkan standar moral atau keyakinan telogis tertentu dari satu kelompok masyarakat saja yang kebetulan mayoritas. Padahal negara Indonesia berdiri kukuh di atas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat-istiadat dan budayanya. Ratusan suku bangsa itu memiliki norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila, termasuk dalam soal tata busana.
Di samping itu, yang tak kalah menyesakkan adalah fakta bahwa RUU APP itu sagat kyat berpijak pada suatu logika “patriarkhis” yang menyudutkan dan mendiskriminasi perempuan. Logika dimaksud menganggap bahwa dekadensi moral bangsa ini lebih disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah-laku sopan dan tidak mau menutup rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Bahkan, dalam kasus-kasus kejahatan seksual, perempuan yang notabene berposisi sebagai korban justru dipersalahkan sebagai pangkal penyebab. Perempuan yang sebenarnya korban malah dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya kejahatan seksual itu. Ini, seperti disebut di bab sebelumnya, merupakan bentuk tindakan blaming the victims—menyalahkan korban. Itulah mengapa, karena meyakini seksualitas dan tubuh perempuan sebagai biang maraknya kemaksiatan, RUU ini sangat berkeinginan membatasi ruang gerak sekaligus rapat-rapat menutupnya agar moralitas sosial terjaga, kepribadian nan luhur menguat, dan tatanan hidup masyarakat tidak terancam.
Problem utama menyangkut pornografi sesungguhnya bukan ketiadaan aturan yang mengakomodasinya, melainkan rapuhnya penegakan hukum. Sebagian besar substansi yang diatur dalam RUU APP sejatinya telah diatur dalam KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia. Dengan demikian, pemberantasan pornografi adalah tanggung jawab polisi, kejaksaan, dan hakim, sehingga tidak diperlukan lagi ”Badan Antipornografi dan Pornoaksi Nasional” (BAPPN) yang akan dibiayai APBN, sebagaimana diatur dalam RUU itu.
Selanjutnya, karena pornografi menyangkut hak-hak privat warga negara dan khususnya persoalan kekerasan terhadap objek pornografi, yaitu perempuan dan anak-anak, maka acuan dasar hukum pembentukan RUU ini yang mengacu pada UUD 1945 Pasal 20, 21, dan 29 tidaklah tepat. Instrumen hukum yang sangat berkaitan dengan esensi pornografi dan implikasi pornografi bagi perempuan dan anak-anak adalah yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi setiap warga negara, yaitu pasal 27 (2) UUD 1945; pasal 28 I juntis pasal 28 J, dan pasal 28 G ayat (2) UUD 1945; pasal 1 juntis pasal 2, pasal 5 huruf (a), dan pasal 6 dari UU No 7/1984 (CEDAW); KUHP; UU No 40/1999 tentang Pers; UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak; dan Landasan Aksi Konferensi Beijing Kapital D Angka 112-113.
Lalu, adakah implikasi serius jika RUU APP itu terus dipaksakan untuk diundangkan? Terdapat sejumlah kekhawatiran logis jika RUU ini jadi diberlaku-terapkan. Pertama, pemberlakuan RUU ini bakal menghapus kemajemukan budaya bangsa sehingga yang tertuang dalam konsiderannya malah bertentangan dengan substansinya sendiri. Haruslah dimengerti bahwa berbagai hal tentang perkelaminan sangat berhubungan rekat dengan soal-soal kebudayaan dan sejarah kesukubangsaan di Indonesia sehingga sukar menuding tradisi tertentu, bahkan ritual keagamaan dalam tradisi tersebut, sebagai bentuk pornografi atau tindak pornoaksi, apalagi mengkriminalisasinya. Kedua, ketidakjelasan dalam definisi dan prosedur akan menyulitkan penegak hukum dalam menangani kasus yang dipandang sebagai pornografi atau dituduh sebagai pornoaksi. Ketiga, pengaturan paksa terhadap ruang privat—seperti cara-cara berpakaian—dicemaskan bakal menimbulkan pengekangan, pemaksaan, bahkan kekerasan negara terhadap warga negara melalui “pemberian” wewenang terhadap sekelompok orang yang akan bertindak sebagai ”polisi moral”. Dan, keempat, intervensi negara terhadap ruang privat akan menyebabkan hilangnya hak-hak sipil warga negara.
Keseluruh problem yang diidap oleh RUU APP berikut kemungkinan implikasinya itulah yang terus memperbesar gelombang penolakan atasnya—menandingi gerak kelompok-kelompok pendukungnya. Sikap penolakan mereka diketengahkan dengan slogan “Tolak Pornografi, Tolak RUU APP”. Bagi mereka, pornografi perlu ditolak karena berbahaya bagi moralitas masyarakat dan RUU APP juga perlu ditolak karena berpotensi mengancam kemajemukan, basis bagi keutuhan hidup berbangsa dan bernegara.
Penolakan terhadap RUU APP itu sama dapat dimengertinya dengan penolakan terhadap pornografi. Yang sungguh tak bisa dimengerti adalah ke-ngotot-an sementara umat Islam untuk memaksakan pengundangan RUU APP. Tak dapat dimengerti karena sikap bersikeras mereka cenderung bergeser dari kepentingan melindungi anak-anak dan perempuan dari pornografi menjadi kepentingan mendominasi domain publik atas nama agama. Inilah yang dirisaukan antara lain oleh Gus Mus. Menurut pengasuh pesantren Raudlatut Tholibin Rembang Jawa Tengah itu, desakan untuk segera mengeluarkan peraturan mengenai pornoaksi dan pornografi merupakan manifestasi kepanikan dari sebagian kelompok Islam yang merasa rendah diri. Kelompok ini merasa rendah diri dan tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengatasi masalah pornoaksi dan pornografi di Indonesia, sehingga mereka merasa perlu menekan DPR RI dan pemerintah untuk segera mengeluarkan undang-undang terkait. Tekanan keras untuk segera mengesahkan UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi itu mengisyaratkan seolah umat Islam tidak mampu memecahkan persoalannya sendiri. “Ada semacam kepanikan sebagian umat Islam terhadap globalisasi yang sedang terjadi saat ini… seakan umat Islam begitu cemas dan tidak bisa mengatasi persoalannya sendiri, sehingga merasa perlu memaksa agar RUU APP itu segera disahkan sebagai UU,” katanya.
Akhirnya, kita tidak perlu ragu: Islam jelas mengharamkan pornografi karena mengeksploitasi aurat. Namun, soal bagaimana menentukan batas aurat dan apa kriteria bagi sesuatu untuk dapat disebut produk pornografi bisa sangat debatable. Maka, biarkanlah masing-masing pandangan berkontestasi secara bebas di ruang publik. Tak perlu ada upaya suatu pandangan terntu dipaksakan sebagai standar tunggal kebenaran tentang aurat dan pornografi. Ini memang seperti soal riba. Islam jelas mengharamkan riba. Namun, apakah bunga bank dapat disebut bentuk riba dan karena itu haram? Kita tahu, tentang ini, terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Demikian juga soal aurat dan penentuan kriteria standar pornografi.
Kita mungkin dan boleh saja membuat sejumlah kriteria untuk dilekatkan sebagai definisi pornografi (juga pornoaksi). Akan tetapi, dari sisi hukum, apapun rumusan kita tetaplah sebuah legal opinion. Artinya, selalu terbuka munculnya second opinion tentang kriteria pornografi. Oleh karena itu, suatu rumusan tertentu tidak bisa dipaksakan untuk dijadikan rumusan tunggal kemana rumusan-rumusan lain harus merujukkan diri.
Masalah aurat, isu utama dalam pornografi (juga pornoaksi), memang lebih soal moralitas (etika), juga etiket. Maka, bila suatu standar moral tertentu hendak dijadikan standar moral publik, pastilah konsekuensinya memberangus keragaman—alih-alih mencipta kepastian hukum. Konsekuensi inilah yang bakal teretas bila RUU APP positif menjadi undang-undang. Agaknya, kita harus terus belajar menghormati pilihan-pilihan berbeda orang lain. Dengan begitu jargon rahmatan li al-‘âlamîn akan betul-betul menuai signifikansinya.



_________

Baca Selengkapnya ...

Bekerja Bagi Perempuan

Bekerja di Luar Rumah Bagi Perempuan
Pada dasarya bekerja adalah merupakan hak azasi setiap manusia, baik dia laki-laki ataupun perempuan. Karena Islam memandang bahwa bekerja adalah merupakan ibadah dan ganjarannya adalah pahala dari Allah SWT. Jika merujuk kepada hadist Nabi SAW. sesungguhnya ada banyak riwayat menyebutkan tentang sahabat perempuan yang bekerja didalam dan diluar rumah, baik untuk kepentingan social, maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Misalnya adalah Asma bin Abu Bakar, isteri sahabat Zaubair bin Awwam, bekerja bercocok tanam, yang terkadang melakukan perjalanan cukup jauh. Dalam kitab hadist Shahih Muslim dikatakan sbb:
قال جابربن عبد الله : طاقت خالتى فأرادت أن تجد نخلها, فزجرهارجل أن تخرج. فأتت النبى صلى الله عليه وسلم, فقال : بلى فجدي نخلك فإنك عسى أن تصدقى أو تفعلى معروفا. (رواه مسلم)
“Jabir bin Abdillah berkata :”Bibiku diceraikan (suaminya), ketika ia hendak (keluar rumah untuk) memetik buah kurma, ia dilarang seseorang karena keluar rumah. Kemudian, ia menemui Rasulullah SAW (menanyakan hal itu) Nabi SAW kemudian menjawab:”Ya, (pergilah) dan petik buah kurma kamu, agar kamu bisa bersedekah atau berbuat baik (kepada) orang lain. (HR. Muslim)

Allah SWT. dalam beberapa ayat Al-Qur’an mewajibkan untuk bekerja dan berlaku bagi manusia baik dia laki-laki maupun perempuan, diantaranya sbb:
Surat al-jumu’ah ayat 10 :
“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk mencari penghidupan (ma’isyah) dan bersamaan dengan perintah melaksanakan shalat. Ayat ini bahkan menyuruh seseorang untuk bertebaran mencari rizki di seluruh muka bumi. Dengan cara ini seseorang akan dimudahkan jalan rezekinya ketimbang hanya berdiam diri dikampung halaman baik laki-laki maupun perempuan. Rasulullah SAW. menganjurkan setiap orang baik laki-laki maupun perempuan untuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Al-Maududi berpendapat bahwa perempuan boleh keluar rumah jika ada keperluan dengan tetap memperhatikan adaf kesopanan dan nilai-nilai syari’at Islam. Timbul pertanyaan, sesungguhnya hak siapa yang melarang perempuan itu keluar rumah? Dalam hal ini yang berhak adalah suami, jika perempuan belum mempunyai suami maka yang berhak adalah orang tuanya. Untuk itu perempuan keluar rumah atau tidak sangat tergantung pada suami atau orang tuanya. Pada dasarnya tidak ada yang berhak melarang seseorang apalagi perempuan untuk bekerja atau mengerjakan apa saja diluar rumah. Para ulama membedakan hukum perempuan bekerja yang dapat mengurangi hak suami, kebanyakan ulama menyatakan hal tersebut tidak ada masalah selama tidak ada yang keberatan antara suami dan isteri atau tidak mengurangi hak suami. Fuqaha’ mazhab Hanafi menyatakan bahwa dalam hal boleh atau tidaknya perempuan bekerja diluar rumah adalah harus dilihat dari ada atau tidak adanya hak suami yang dikurangi oleh isteri (perempuan).
Akan tetapi ada beberapa ibarat dan Hadist Rasulullah SAW. yang mengisyaratkan tentang permasalahan ini. Dalam sebuah ibarat kitab fiqhul Islam Imam Syeh. Dr. Wahbatul Zuhaili menyatakan sbb:
“apakah boleh seorang perempuan melakukan perjalanan untuk melaksanakan haji sunnah atau ziarah atau dagang atau seumpama keduanya (seperti bekerja) bersama beberapa orang perempuan yang terpercaya atau seorang perempuan yang terpercaya. Dalam hal ini ada 2 (dua) pendapat dan kedua pendapat tersebut dinukil oleh Syekh Abu Hamid, Mawardi, al-Muhamily dan lainnya dari ashhab ( ulama-ulama pendukung Syafi’i) yang dibicarakan pada bab Al-Ihshor dan kedua pendapat tersebut dinukil oleh Qadhi Husen dan Al-Bugawy dan Ar-Rofi’I dan dari yang lainnya dari mereka yang pertama: boleh, karena perjalanan tersebut bukan wajib. Pendapat yang kedua dan ini yang shahih dan sesuai dengan ijma’ ulama adalah tidak boleh karena perjalanan tersebut tidak wajib”.

Pada ibarat tersebut diatas ditekankan pada adanya perjalanan, akan tetapi ada isyarat disini pada lafaz “wanahwihima” yaitu seumpama, maksudnya adalah ziarah dan tijarah (bisnis). Hal ini mengisyaratkan tentang adanya aktivitas tijarah (bisnis). Mengacu pada ibarat yang tersebut, maka ada 2 (dua) pendapat ulama dalam hal ini, yaitu :
1. Menurut syekh Abu Hamid, Mawardi dan ulama-ulama lain yang merupakan ulama pendukung mazhab Syafi’i menyatakan boleh hukumnya perempuan melakukan perjalanan dan bisnis serta hukumnya seumpama mengerjakan ibadah haji.
2. Ada kesepakatan para ulama yang dikemukakan dalam kitab ‘Um bahwa tidak boleh perempuan musafir, ziarah atau bekerja karena perjalanan tersebut bukan merupakan perjalanan wajib.
Dalam hal ini boleh saja perempuan bekerja dan ada pula yang menyatakan tidak boleh, Akan tetapi tidak boleh ini bisa gugur apabila ada mahram yang menyertainya. Islam bukan berarti menghalangi perempuan untuk bekerja, malah perempuan diperbolehkan bekerja diluar rumah dengan izin dari suaminya dan perbuatan ini tidak dikatagorikan sebagai perbuatan nusyuz. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya Fiqhul Islam wa ‘adillatuhu sebagaimana ibarat dalam kitab tersebut sbb:
“iza ‘amilat azzaujatu nahaaran au lailan kharijal manzil khattabibati,”
Hal ini juga terdapat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Mesir, bahwa isteri yang bekerja sebagai dokter atau perawat atau lainnya maka hal itu boleh dan bukan termasuk nusyuz dan apalagi ditambah dengan adanya kewajiban nafkah yang melekat padanya. Hal ini juga tidak menyebabkan gugurya hak nafkah untuknya dari suami, dengan catatan bahwa dalam perjalanan ada jaminan keselamatan dari segala fitnah dan hal-hal yang akan merugikan atau mengurangi kehormatannya. Untuk itulah diperlukan adanya mahram yang bisa menjamin hal-hal tersebut. Menurut Yusuf Qardhawi jika kondisi aman, maka baik diperjalanan atau ditempat tujuan, maka hukum perempuan melakukan perjalanan atau bekerja adalah sama dengan melakukan ibadah haji.
Tujuan dari adanya mahram ini tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menjaga kehormatan dan nama baik perempuan, mehindarkannya dari niat jahat orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan menghindari fitnah. Jika tujuan adanya mahram adalah sebagaimana tersebut, maka tentu pada saat ini fungsinya semakin kompleks, tidak hanya dilihat dari siapa yang menyertai kepergian itu, akan tetapi esensinya adalah bagaimana memberikan perlindungan kepada perempuan agar terhindar dari fitnah dan hal-hal yang dapat mengurangi kehormatannya. Bentuk mahram tersebut bukan hanya manusia baik laki-laki maupun perempuan, akan tetapi bisa saja berbentuk aturan-aturan atau perundangan-undangan yang menjamin keselamatan perempuan atau siapa saja.
Ada beberapa hadist dari Rasulullah SAW. yang melarang perempuan keluar rumah untuk bekerja tampa adaya mahram yang mendampingi, yaitu :
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra sbb:
عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لاتسافر امرأة ثلاثا الا ومعها محرم { رواه البخارى ومسلم}وفى رواية مسلم :لا يحل للإمرأة تؤمن بالله واليوم الأخرأنتسافر مسيرة ثلاث ليال الا ومعها ذو محرم
“Diriwayatkan dari Ibn Umar bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:”tidak boleh tiga orang perempuan melakukan perjalanan kecuali bersamanya mahramnya”(HR. Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat Muslim :”tidak boleh bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan seukuran 3 (tiga) malam”.

Hadist yang diriwayatka oleh Ibn Said sbb:
وعن ابن سعيد عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : لا تسافر امرأة يومين الا ومعها زوجها أو ذو محرم {رواه البخارى ومسلم }
“Dari Abi Said dari Nabi SAW beliau bersabda:”tidak boleh seorang perempuan melakukan perjalanan selama dua hari kecuali besertanya suaminya atau mempunyai mahram”.(HR. Bukhari dan Muslim)

Melihat dari penjelasan hadist diatas bahwa sesungguhya perempuan bukan tidak boleh melakukan perjalanan ataupun bekerja diluar rumah, boleh saja dengan catatan ada bersamanya mahram (terjamin keamanan dan keselamatan jiwanya).
Melihat beberapa konteks hadist tersebut diatas maka perempuan dilarang bepergian tampa ditemani oleh muhrimnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Imam al-Kofal dalam mengomentari hadist tersebut sbb:
قال القفال : تحريم سفر المرأة من غير محرم وهو مطلق فى قليل السفر وكثيرة
“seorang perempuan dilarang melakukan perjalanan kecuali bersama mahramnya baik itu perjalanan yang sebentar ataupun waktu yang cukup lama.
Namun demikian ada beberapa hal yang menjadi perhatian para ulama dalam permasalahan ini ada yang mendukung perempuan kerja keluar rumah dan ada yang tidak membolehkannya dengan catatan juga.
Ada beberapa pendapat ulama fiqh dalam masalah ini, diantaranya yaitu:
1) Perempuan yang dalam kondisi ekonomi yang lemah atau kebutuhan yang mendesak diperbolehkan keluar rumah. Perempuan yang tidak bisa mencukupi nafkahnya sendiri maka boleh baginya melakukan perjalanan/kerja kapan saja dia mau walaupn tampa suami ataupun mahram. Hal senada juga dikemukakan oleh Ibrahim Al-Bagawi bahwa perempuan dibolehkan keluar rumah dalam keadaan yang mendesak.
“Allah mengijinkan perempuan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya”. Alasan beliau bahwa Saodah binti Zama’ah pernah keluar rumah untuk suatu keperluan yang kemudian ditegur oleh Umar Ibnu Khattab karena ia tidak segera sembunyi dari penglihatan Umar Ibn Khattab. Atas pristiwa ini Aisyah kemudian mengadu kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW bersabda :”Bahwa Allah memperbolehkan perempuan pergi keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya”. Lanjut menurut Ibnu Katsir :”berangkat ke masjid untuk melaksanakan shalat adalah hajat sehingga isteri boleh keluar rumah.
2). Seorang perempuan boleh melakukan perjalanan atau keluar rumah untuk bekerja dengan tujuan keselamatan dirinya atau ada kekhawatiran atas keselamatan jiwanya, menuntut ilmu ataupun untuk keperluan lainnya selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam maka hal ini tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan nusyuz.
و العلماء تفصل فى ذلك قالوا : ويجوز سفر المرأة وحدها فى الهجرة من دار الحرب والمخا فة على نفسها لتضاء الدين ورد الود يعة والرجوع من النشوز
Dalam ibarat tersebut dijelaskan ada beberapa perbuatan perempuan keluar rumah yang tidak dihukum haram padanya, diantaranya perempuan melakukan perjalanan atau keluar rumah dengan alasan untuk keselamatan diri dan jiwa asalkan melakukan perbuatan yang tidak bertentangan dengan syari’at dll.
3). Dalam kondisi darurat perempuan diperbolehkan keluar rumah, misalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini dikemukakan oleh Imam Al-Qurtuby :”jika tidak dalam kondisi darurat, maka hokum perempuan keluar rumah kembali pada hokum asal pada waktu-waktu normal, yaitu tidak boleh keluar rumah tampa adanya muhrim”.
Secara umum tidak ada kita temukan dalam literature fiqh yang melarang perempuan untuk bekerja, selama ada jaminan keamanan dan keselmatan. Ulama hanya berbeda pendapat mengenai perempuan yang sudah mempunyai suami yang dengan bekerja tersebut dapat mengurangi hak suami.
Ulama membedakan antara pekerjaan seorang perempuan (isteri) yang dapat mengurangi hak suami atau keadaan darurat dan kedua perempuan yang bekerja diluar rumah pada pekerjaan yang tidak mengandung resiko. Pada masalah yang pertama yaitu yang mengurangi hak suami para ulama melarang perempuan untuk keluar sendiri dalam rangka mencari pekerjaan. Dalam pandangan ulama fiqh, suami juga tidak berhak sama sekali untuk melarang isteri bekerja mencari nafkah, apabila nyata suami tidak bisa bekerja mencari nafkah dengan alasan sakit, miskin atau karena alasan yang lainnya. (fatwa Ibnu Hajar, juz IV, hal 205 dan Al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, hal : 573). Lebih tegas dalam fiqh Hambali, seorang suami yang pada awalnya sudah mengetahui calon isterinya sebagai pekerja yang setelah perkawinan juga akan tetap bekerja diluar rumah, suami tidak boleh kemudian melarang isterinya bekerja dengan alasan apapun. (lihat Fiqh al-Islam wa adillatuhu, juz, VII, hal 795).
Dalam kasus yang kedua yaitu jika dalam kondisi darurat, maka para ulama membolehkannya. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ibn Abidin sbb:
و الذى ينبغى تحريره أن يكون منعها من كل عمل يؤدى الى تنقص حقه, أوضرورة أو الى خروجها من بيته. أما العمل الذى لا ضرر فيه فلا وجه طنعها. وكذالك ليس له منعها من الخروج إذاكانت تجرقعملا هو من فروض الكفاية الخاصة بالمرأة مثل طلب العلم.
Melihat pada kausa hukum atau illat ajaran agama bahwa yang dimaksudkan oleh ketentuan tentang muhrim ini adalah adanya garansi atau jaminan keselamatan atas perempuan saat dimana perempuan tersebut dalam kondisi lemah, baik lemah fisik, psikis ataupun ekonomi. Hal senada juga dikemukakan oleh Iman Al-Qulyuby menyatakan bahwa :”kepergian perempuan bersamaan dengan perempuan lain yang terpercaya adalah boleh dengan kata lain mahram laki-laki sudah tidak dibutuhkan lagi ketika perempuan bepergian secara berjama’ah sebab dalam kondisi bersama-sama akan terjamin keselamatan jiwa dan raga serta hartanya”.
Musafir menurut mazhab Maliki, perempuan musafir dengan ijin suami, maka tidak gugur kewajiban suami ini untuk menafkahi. Ibnu taimyah kalau keluar perempuan, maka yang dipentingkan adalah keamanannya. Bahkan menurut Yusuf al-Qardawi, bahwa boleh perempuan keluar rumah untuk bekerja yang penting ada jaminan keamanan dan keselamatan jiwa dan dirinya.

Bagaimana TKI illegal?
Bekerja bisa saja hukumnya adalah sunnah, makruh dan bisa juga jatuhnya haram. Dalam hal bekerja diluar negeri yang membutuhkan berbagai perlengkapan dokumen sebagai syarat utama. Untuk itu jika tidak memiliki, maka mereka haram untuk pergi bekerja karena tidak ada jaminan keselamtan yang diberikan oleh Negara. Mereka sudah melanggar ketentuan yang dibuat oleh pemerintah, maka jika tidak taat kepada pemerintah yang sah, itu berdosa dan haram hukumnya.
Hal ini berdasrkan pada firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59 sbb:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Dalam ayat tersebut Allah SWT mewajibkan kepada kita sebagai umat Islam untuk taat kepada Allah, Rasul dan pemerintah yang sah.

Baca Selengkapnya ...

Poligami Dalam Islam

Poligami Dalam Islam

Al-Qur’an membicarakan poligami dalam Surat an-Nisa ayat 3. Sekurangnya ada tiga hal yang dijelaskan dalam surat ini. Pertama, berbicara tentang kondisi yang melatarbelakangi pengaturan, syarat adil dan batas maksimal isteri sampai empat orang. Kedua mengatur tentang larangan mengambil harta yang telah diberikan kepada isteri untuk biaya poligami. Betapun banyaknya harta itu. Ketiga, tentang beratnya atau hampir tidak mungkinnya seorang suami bisa berlaku adil terhadap isteri-isterinya jika ia berpoligami.

“Dan jika kamu takut tidak bisa berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu sukai, dua, tiga atau empat, tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat supaya kamu tidak berbuat aniaya.

Ayat ini adalah satu-satunya ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang poligami. Ayat tersebut jelas bersemangat monogami dan tidak menganjurkan muslim berpoligami. Ayat ini hanya memberi izin, itupun dengan syarat yang sangat ketat. Celakanya, ayat ini sering dijadikan landasan untuk mengatakan Islam merupakan agama wahyu satu-satunya yang membolehkan poligami.

Surat an-Nisa’ ayat 3 ini juga menghubungkan pengaturan tentang poligami dengan ketidakadilan yang diterima anak yatim. Pemahaman terhadap ayat ini bisa dilakukan dengan melihat latar belakang turunnya ayat tersebut. Ayat ini turun pada tahun ke 4 Hijriah. Saat itu umat Islam baru saja mengalami kekalahan terbesar dalam perang Uhud yang menelan korban 70 orang pria dewasa sebagai syuhada. Jumlah ini sangat besar untuk ukuran umat Islam pada waktu itu yang jumlah laki-lakinya lebih kurang 700 orang. Dengan gugurnya 10% laki-laki Muslim itu, maka banyak perempuan yang menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim. Keluarga banyak yang kehilangan penopang ekonomi keluarga.

Ketika terjadi krisis sosial akibat banyaknya sahabat yang gugur di medan perang itu, Nabi sebagai kepala negara harus menjamin kesejahteraan umatnya. Pada waktu itu kas negara terbatas, maka nabi menganjurkan kaum muslim yang memiliki kemampuan secara mental dan material untuk menanggulangi krisis dengan melakukan poligami. Ini artinya waktu itu poligami berfungsi sebagai katup pengaman sosial. Merujuk hal ini, poligami yang dilakukan tidak berdasarkan darurat sosial jelas terlarang.

Syekh Wahbah Mustafa menegaskan poligami pada dasarnya boleh. Tetapi karena berlaku adil terhadap lebih dari satu isteri itu teramat sulit, maka islam lebih menekankan monogami.
“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara perempuan-perempuan (isteri-isterimu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka janganlah kamu terlalu cenderung (perempuan yang engkau cintai) sehingga engkau biarkan (perempuan yang lain) seperti tergantung (terlupakan). Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari sebab-sebab perselisihan) maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Jelaslah sudah, poligami itu adalah sejenis amal sosial. Bukan alat legitimasi untuk mengumbar syahwat. Poloigami tidak dibenarkan terjadi dalam situasi yang normal. Perlu diingat, dalam kondisi darurat sosial saja poligami menekankan persyaratan yang ketat, apalagi kalau kondisinya normal-normal saja.

Poligami Rasulullah SAW
Bagian adari kehidupan Rasulullah yang paling sering disalahpahami dan dijadikan alat membenarkan poligami adalah kehdupan rumah tangga beliau yang terdiri dari belasan istri. Tidak banyak orang yang mau jujur bahwa 2/3 dari masa perkawinan beliau berjalan dengan monogami. Bukan poligami. Rasulullah menikah pada umur 25 tahun dengan Khadijah Binti Khuwailid, seorang janda berumur 40 tahun. Khadijah menjadi isteri rasul selama 25 tahun. 15 tahun sebelum kenabian dan 10 tahun sesudah kenabian. Sepeninggal Khadijah, rasul hidup sendiri hingga beberapa tahun. Baru kemudian beliu menikah dengan Siti Aisyah binti Abu Bakar, seorang gadis perawan anak dari sahabat utama beliau, Abu Bakar as-Shidiq.

Orang juga suka melupakan fakta, rasul baru melakukan poligami di usianya yang 53 tahun, tatkala baginda nabi menikahi Saudah binti Zami’ah, seorang janda korban perang. Semua istri beliau kemudian adalah janda perang. Harus dicatat pula, masa Rasulullah berpoligami bersamaan dengan masa jihad dan perjuangan membela Islam. Hal ini menunjukkan pernikahan beliau adalah darurat sosial untuk memberikan kepastian dan rasa aman kepada janda-janda korban perang. Banyak dari janda yang rasul nikahi berusia lanjut. Jauh lebih tua dibandingkan usia beliau.

Faktanya terang benderang, isteri rasul kebayakan adalah janda korban perang dan nabi berpoligami hanya 8 tahun saja dan 28 tahun ia berumah tangga sampai menjelang wafatnya. Sikap rasul tehadap poligami sendiri cukup tegas. Dikisahkan mislanya saat kondisi Madinah aman dan kondusif, rasul mengecam keinginan Ali yang hendak memadu Siti Fatimah, putri tunggal rasul.

Rasuls endiri mengakui poligami adalah pilihan berat karena harus bisa berlaku adil. Begitu beratnya, sampai Rasul sendiri berdoa secra khusus mohon ampun kepada Allah SWT karena merasa tidak mampu berlaku adil kepada semua isterinya. Do’a beliau ini sangat terkenal:

اللهم هذا قسمى فيما أملك فلا تلمنى فيما تملك ولا أملك {رواه الاربعة و, وصححه ابن حبان و الحاكم}

“Ya Allah, inilah pembagianku yang mampu aku lakukan menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencelaku tentang apa yang engaku mampu sedangkan aku tidak mampu”

Ada beberapa hikmah dari poligami yang Rasulullah lakukan.
1. Hikmah pensyari’atan: Poligami rasul menghapus tradisi jahiliyah yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung. Salah satu istri rasul adalah Zainab binti Jahsy, mantan isteri Zaid anak angkat Rasul.

2. Hikmah pengajaran: hal ini terlihat pada ummul mu’minin yang semuanya menjadi guru.

3. Hikmah sosial dan persaudaraan. Poligami rasul menguatkan dan mengeratkan hubungan sosial para sahabat. Siti Aisyah adalah putri kesayangan Abu Bakar, salah seorang sahabat utama nabi.

4. Hikmah politis. Poligami rasul melancarkan dakwah Islamiyah. Ini misalnya dilakukan nabi dengan menikahi Juwairiyah, putri Al-Harist pemimpin Bani Musthaliq dan Shafiyah, putri Huyyai bin akhthab. Buahnya permusuhan antara orang-orang Yahudi dengan Muslim dapat diredakan.

Syarat-syarat Poligami
Islam membolehkan poligami, tetapi memberikan syarat yang sangat ketat. Antara lain:
1. Kemampuan memberikan nafkah
Nafkah meliputi makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan segala kebutuhan dalam rumah tangga yang lazim digunakan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

ألا وحقهن عليكم ان تحسنوا اليهن فى نفقتهن وكسو تهن وطعا مهن ( رواه الترميذى وابن ماجه)
“Ketahuilah, hak mereka atas kalian adalah hendaklah kalian memberikan nafkah, pakaian dan makanan kepada mereka (isteri) secara layak (HR. Imam Turmudzi dan Ibn Majah)”
2. Harus bisa berlaku adil
Hal ini berdasarkan hadist dari Rasulullah SAW:

عن عا ئشة رضى الله عنها كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم بين نسا ئه ويعدل ويقول
: اللهم هذا قسمى فيما أملك فلا تلمنى فيما تملك ولا أملك {رواه الاربعةو, وصححه ابن حبان
و الحاكم}

“Dari Aisyah ra adalah Rasulullah SAW ……Ya Allah inilah pembagianku menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencelaku tentang apa yang Engkau berkuasa sedangkan aku tidak berkusa”(HR. Empat Imam Hadist, shahih ibn Hibban dan Hakim)

الحديث دليل على انه صلى الله عليه وسلم كان يقسم بين نسائه وتقدمت الإشارة الى أنه هل كان
واجبا أم لا. قيل كان القسم عليه صلى الله عليه وسلم غير واجب لقوله تعالى" ترجى من تشاء
منهن وتؤوى اليك من تشاء" الايه. قال بعض المفسرين انه اباح الله له أن يترك التسوية
القسم بين أزواجه حتى أنه ليؤخر من تشاء منهن عن نوبتها ويطأ من تشاء فى غير توبتها.
ان ذلك من خصانص النبى صلى الله عليه وسلم. وإذ ثبت ذلك أنه لايجب القسم عليه صلى
الله عليه وسلم فإنه كان يقسم بينهن من حسن عشرته وكمال حسن خلقه وتأليف قلوب نسائه.
Artinya : hadits ini adalah sebagai dasar Nabi saw membagi dengan adil dintara istri-istrinya dan telah ada penjelasan mengenai hal itu di depan apakah nabi wajib adil atau tidak? Ada yang berpendapat nabi tidak wajib adil pada istri-istrinya. Ini berdasarkan firman Allah " kau ( hai Muhammad ) boleh mengharap dari istri-istrimu dan boleh juga tidak”. Sebagian ulama tafsir berkata Allah memberikan khususiyah pada Nabi saw untuk tidak wajib memperlakukan istri-istrnya sama, bahkan beliau boleh melayani siapa yang ia inginkan dari mereka walaupun belum datang gilirannya. hal ini adalah khususiyah beliau. Jadi keadilan beliau itu bukan karena kewajiaban tetapi karena keluhuran budi pekertinya " .
Hal senada juga dijelaskan dalam kitab Subulussalam yang menukil hadist dari Imam Ahmad:

وعن أبى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم :من كانت له إمرئتان فمال إلى أحدا هما دون
الأ خرى جاء يوما القيامة وشقه ما ئل { رواه أحمد ولاربعة وسنده صحيح}

“Dari Abi Hurairah ra Rasulullah SAW bersabda :”barang siapa yang mempunyai isteri dua isteri kemudian lebih condong kepada salah satu isterinya maka pada hari kiamat nanti pundaknya sebelah kiri dalam keadaan miring”.(HR. Ahmad dan Empat Imam Hadist dan sanadnya shahih).

هذالحديث دليل على أنه يجب التسوية بين الزوجات على الزوج ويحرم عليه الميل على أحدهن.
Hadist ini menjadi dalil bahwa suami wajib meletakkan persamaan diantara isteri-isterinya dan haram atasnya untuk lebih condong kepada salah satu isterinya.

عن أنس رضى الله عنه قال: من السنة إذا تزوج الرجل البكر على الثيب إقام عندها سبعا ثم قسم, وإذا تزوج الثيب إقام عندها ثلاثا ثم قسم (متفق عليه واللفظ للبخارى)
االحديث دليل على اشارة الجديدة لمن كانت عنده زوجة, وقال ابن عبد البر : جمهور العلماء على أن
ذلك حق للمرأة بسبب الزفاف سواء أكانت عنده زوجة أم لا. واختاره النووى لكن الحديث دل على انه فيمن كانت عنده زوجة. وقد ذهب الى التفرقة بين البكر والثيب. بما ذكر الجمهور فظاهر الحديث أنه واجب وإنه حق لزوجة الجديده , وبه قال الا ئمة الثلاثة وقال ابو حنيفة ان الجديده لاتفضل فى القسم بل يستوى بينها وبين اللا تى عنده.

Artinya : termasuk dari sunnah apabila ia menikahi seorang gadis agar menemaninya selama tujuh hari kemudian baru dibagi. Sedangkan apabila menikahi seorang janda, maka ia menemaninya selama tiga hari kemudian dibagi". (HR. Bukhari Muslim) .

Hadits ini adalah sebagai isyarat bagi siapa saja yang menikah untuk hendaknya menemani istrinya yang baru, walaupun ia sudah memiliki istri . Ibn Abd Al-Bar berkata " menurut jumhur ulama, hal itu adalah hak istri yang baru karena masa pengantinan. Baik suami punya istri atau tidak. Mengenai soal beda antara gadis dan janda ini, pendapat imam yang tiga (Malik, Syafi'I dan Ahmad), sedangkan imam Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak ada beda antara istri yang gadis dengan yang janda dan juga istri-istrinya yang lain.

Adil yang dimaksudkan dalam surat an-Nisa’ ayat 3 adalah adil dari segi nafkah dan pembagian waktu, sedangkan adil yang dimaksdukan pada surat an_nisa’ ayat 129 adalah adil dalam kasih sayang. Termasuk juga adil dalam bercakap-cakap dan bersenang-senang ketika jimak (hubungan suami isteri). Menurut Ibnu Jarir, keadilan menjadi syarat mutlak dalam berpoligami. Ada pesan dibalik syarat keadilan ini untuk laki-laki berusaha memperkecil jumlah isteri agar tidak berbuat zalim kepada isteri dan anak-anaknya.

Baca Selengkapnya ...

HAM



Info:

Akhir bulan Mei 2009 kemarin kami LBH APIK NTB mengadakan workshop HAM yang diikuti oleh 27 orang peserta terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, tokoh budaya, tokoh masyarakat dan NGO yang ada di NTB. workshop ini sendiri mengangkat tema : "menyamakan persepsi membulatkan tekad dan aksi".
mengahadirkan fasiliattor dari HRWG Jakarta yaitu : mas Chaerul Anam dan panitia Surya looo.....
workshop HAM 2009 ini bertujuan untuk membentuk jaringan perlindungan HAM di NTB yang khsusus untuk pembelaan HAM perempuan dan anak di NTB yang masih banyak dilanggar dan bahkan banyak sekali masih menjadi korban.
tahun 2009 ini LBH APIK NTB memang sengaja banyak berhubungan dengan tokoh adat, karena selama ini memang mereka belum terlalu banyak disentuh dalam rangka pembelaan HAM ini. apalagi di Lombok, ada adat selarian yang memungkinkan siapa saja bisa melarikan gadis dan tidak akan di tuntut sebagai penculikan, apakah segampang itu selarian? bagaimana sebenarnya mekanisme yang benar?. Untuk itu masyarakat harus diberikan informasi bagaiamana sebenarnya selarian itu agar tidak melanggar adat dan terutama hukum yang berlaku di Indonesia.

Baca Selengkapnya ...

Kepemimpinan Perempuan

Label: ,

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

Makna kepemimpinan
Dalam bahasa Arab kepemimpinan disebut “أَلْخِلافَة” atau disebut juga “امَارَةُ المؤمِنِيْنَ” semua sebutan tersebut menunjukkan pada suatu jabatan public yaitu jabatan tertinggi dalam politik atau pemerintahan. Dalam hal ini para ulama mendivinisikan mengenai kepemimpinan ini dalam beberapa persi, dianataranya sbb:
Menurut al-Taftajani khilafah adalah jabatan pimpinan umum yang mengatur urusan agama dan yang mengatur hal –hal yang berhubungan dengan kehidupan dunia, sebagai pengganti dari Nabi Muhammad SAW. Al-Mawardi mengatakan bahwa imamah (kepemimpinan) adalah suatu ucapan yang dihantar untuk jabatan pengganti kenabian dalam memelihara agama dan mengatur urusan agama. Sementara Ibnu Khaldum mengatakan bahwa khilafah adalah orang yang mengemban tanggungjawab orang banyak sesuai dengan ketentuan syara’ (agama) untuk kemaslahatan akhirat mereka atau kemaslahatan dunia yang kembali pada kemaslahatan akhirat.
قال العلماء الراعى هنا هو الحافظ المؤ تمن, الملتزم صلاح ماقام به وماهو تحت نظره
“Menurut ulama raa’i bahwa pemimpin adalah orang yang mampu memelihara amanah, selalu menciptakan prdamaian dan dibawah perhatiannya”.

Hukum Mengangkat Pemimpin
Menurut pendapat ahli sunnah, murji’ah, syi’ah dan mu’tazilah bahwa mengangkat pemimpin adalah hukumnya wajib dan umat wajib patuh terhadap pemimpin yang adil yang menjalankan hokum selama tidak menyuruh terhadap hal-hal yang melanggar perintah Allah SWT.
Dasar hokum yang dikemukakan oleh mereka adalah sbb:
A. Dalil syara’, yaitu ijma’ shahabat yatitu kesepkatan para shanata dan generasi sesudahnya bahwa wajib mengangkat pemimpin, karena waktu pada saat Rasulullah wafat dan sebelum dimakamkan para shabat berkumpul di rumah Sakifah bani Sa’idah untuk melantik Abu Bakar setelah sebelumnya bermusyawarah dengan pemuka-pemuka dari kaum muhajirin dan kaum anshor menyetujuai pengangkatan Abu Bakar tersebut sebagai khalifah yang pertamagenerasi
Menurut Al-Iji dalam kitab Al-Mawakif menyebutkan bahwa kesepakatan kaum muslimin pada generasi awal setelah Rasulullah wafat adalah tidak boleh trjadi kekosongan kepeimpinan. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang dikemukana oleh Abu Bakar dalam khotbahnya ketika Rasulullah wafat, sbb:
“ingatlah bahwa Nabi Muhammad SAW telah wafat, maka haruslah agama ini ada yang memimpinnya”. Maka para shahabat segera menerima perkataanya dan menangguhnkan urusan yang paling penting saat itu, yaitu memakamkan Rasulullah SAW.
B. dalil aqli
pada dasarnya bermasyarakat sudah merupakan tabiat manusia sebagai mahluk social. Hal ini memungkinkan terjadinya perselisihan, permusuhan karena manusia memiliki sifat mencintai dan sekaligus tamak terhadap sesuatu. Menurut Al-Mawardi bahwa wajib mengangkat pemimpin dari segi aqal karena tabiat manusia menyerahkan urusan tersebut kepada orang yang bisa mengatasi kezaliman dan mengatasi perselisihan antara manusia.
Islam memandang bahwa mengangkat pemimpin adalah hal yang sangat penting, hal ini ditandai dengan adanya perintah Allah untuk taat kepada pimpinan. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Ada beberapa sabda Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk mengangkat pimpinan dalam suatu kaum,
من ما ت وليس فى عنقه بيعت ما ت ميتة جاهلية
“Barang siapa meninggal sedang tidak membai’at (melantik seorang pemimpin) maka ia meninggal seperti orang yang mati pada masa jahiliah”.

إذا خرج ثلاثة فى سفر فليؤمروأحدهم
“apabila pergi musyafir 3 (tiga) orang maka hendaklah mengangkat seorang pemimpin diantara mereka”

ان أحب النا س الى الله يوم القيا مة وأردناهم منه مجلسا إمام عادل وابغض النا س إلى الله وابعدهم منه مجلسا امام جائز
“Sesungguhnya orang yang paling dicintai Allah dan yang paling dekat tempat dari padanya adalah imam (pemimpin) yang adil dan orang yang paling dimurkai dan yang paling jauh tempat diantara mereka adalah pemimpin yang dhalim”.

لا يحل لثلاثة يكون فى فلاة من الأرض الا امروا عليهم احدهم
“tidak halal bagi 3 (tiga) orang yang berada ditanah lapang dari permukaan bumi kecuali mengagkat seoarng menjadi pemimpin diantara mereka”.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa setiap manusia tidak akan sepurna kemaslahatnnya baik yang berhububungan dengan urusan dunia dan akhirat kecuali dengan bermasyarakat dan tolong menolong dalam mencapai segala mampaat hidup, saling membantu dalam segala yang membahayakan hidup mereka dan semua maksud tersebut akan dapat tercapai apabila mentaati kepada yang menyuruh dan melarang maksud tersebut. Untuk itu diharuskan kepada manusia untuk taat kepada yang menyuruh dan melarangnya.
Imam al-Gazali berkata dunia dan keamanan terhadap diri dan harta tidak akan teratur kecuali dengan peguasa yang ditaati. Hal ini dapat dibuktikan pada saat terjadinya fitnah dengan meninggalnya penguasa-penguasa atau imam-imam. Apabila hal ini dibiarkan begitu saja tampa engangkat seorang pemimpin yang ditaati maka akan terjadi kekacauan dan pertumpahan darah.

Pemimpin Perempuan
Firman Allah dalam al-Qur’an surat berfirman :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.

Secara historis ayat ini turun disebabkan oleh adanya seorang yang menampar istrinya, kemudian istrinya mengadukan hal tersebut kepada Nabi, dan Nabi memberikan keputusan agar diberikan Qishah, maka turunlah ayat di atas, sehingga Nabi menarik kembali keputusannya, dengan demikian laki-laki itu tidak di-qishah (menampar). Menurut Qurai Syihab banyak ulama yang memahami kalimat “ألرجال” dalam arti para suami karena konsideran pernyataan diatas seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka para suami telah menafkahkan sebagian dari harta yakni isteri-isteri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata laki-laki adalah pria secara umum maka tentu konsiderannya tidak demikian. Ayat inilah yang sering kali dijadikan sebagai landasan untuk membenarkan hak otoritas kepada kaum laki untuk berkuasa, baik dalam rumah tangga maupun lainnya. Hal ini disebabkan oleh redaksi ayat yang menggunakan kata “قوامون_ على ”, (menggunakan huruf jar ‘ala) yang disamakan maknanya dengan kata “قوامون_ ب ” (menggunakan huruf jar bi (ba’). Yang pertama dapat berarti mendukung dan membantu (to support), sedangkan yang kedua berarti “menangani” atau “mengurus” (undertike). Dengan demikian, semestinya diterjemahkan “membantu”, “mendukung” bukan “menangani”. Akan tetapi dalam kamus bahasa Arab, seperti al-Munjid (Lois Ma’luf), al-Munawwir dan Lisan al-Arab ditemukan bahwa kata ”قوامون “ merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata “ قوام ” yang berati “orang-orang yang bertanggung jawab” (al-Mutakallafun bi al-Amri), baik diikuti oleh “Ala” dan “Ba’” sesuai dengan ungkapan berikut:
{"قوم بأمرها وما تحتاج إليه وقام بأمر كذا و قام الرجل على المرأة مائنها وإنه لقوام عليها مائن لها"}
“Dia (laki) telah melaksanakan (bertanggung jawab) terhadap tugasnya (perempuan) dan hal yang dibutuhkan, demikian juga ia telah melaksanakan tugas demikian… dan seorang laki bertanggung jawab atas istrinya yaitu menyediakan sandang pangan dan sesungguhnya ia benar-benar bertanggung jawab terhadapnya, yaitu menyediakan sandang pangan”

Masih dalam konteks ayat di atas, sebagian mufassir, al-Bagawi misalnya, secara tegas mengklaim bahwa kemimpinan laki-laki atas perempuan itu ditegakkan, baik dalam persoalan perintah maupun larangan. Lebih ekstrim lagi adalah pandangan Abu Su’ud yang menegaskan – dikutip Muhammad Ali Ash-Shabuniy - dalam menafsirkan ayat di atas, bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin baik dalam sekala besar maupun kecil.
Penafsiran literaristik tadi jelas menunjukkan suatu wajah diskriminasi atas hak-hak kemanusian universal. Artinya sebuah penafsiran yang telah meletakkan superioritas kaum laki-laki atas perempuan, selain al-Qur’an mengajukan hadits yang memposisikan perempuan pada posisi inperior, yaitu hadis berikut:
{لن يفلح قوم ولّو أمرهم امرأة}
“Tidaklah akan berjaya suatu kaum (bangsa) yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum perempuan”
Masih dalam menafsirkan hadits tersebut, Ibnu Kasir, secara jelas mengatakan bahwa; hak kepemimipinan, sebagai hakim dan penguasa harus berada di kalangan laki-laki. Dengan kata lain bahwa jabatan yang disebut tadi tidak boleh dipegang oleh kaum perempuan. Adalah jelas bahwa kedua argumentasi di atas menurut pandangan penafsir yang terpengaruh bias gender sering menjadikannya sebagai alasan mendelegetimasi perempuan dalam konteks kepemimpinan (mengambil peran sebagai pemimpin), baik politik maupun otoritas keagamaan. Yang menarik adalah pandangan Qurais Shihab yang secara jelas melihat hadist di atas sebagai hadist dhaif, yang dibuat oleh mereka yang masih terpengaruh dengan pandangan miring terhadap perempuan, karena penafsiran mereka yang keliru. Adanya beberapa pandangan dan penafsiran di atas, telah menjadi legetimasi teologis bagi pembenaran hak-hak hegemonik kaum laki-laki atas kaum perempuan, menjadi daya tarik tersendiri untuk dilakukan studi lanjutan, terutama dalam masalah kemimpinan intlektualitas Islam atau hak perempuan sebagai penafsir doktrin Islam.
Adalah sebuah pengakuan yang sulit dibantah bahwa umat Islam menyakini al-Qur’an dan al-Hadist menjadi sumber otoritatif Islam, dan menurut umat Islam, bahwa kedua sumber tersebut -sebagaimana yang diyakini-adalah bersumber dari wahyu. Sebagai sumber ajaran Islam, al-Qur’an tidak pernah membuat defrensia yang meletakkan hegemonik kaum laki-laki atas kaum perempuan, bahkan al-Qur’an memandang manusia – secara umum - dan kemanusiaan adalah simbol keberpihakan al-Qur’an terhadap manusia sebagai makhluk Allah. Keberpihakan al-Qur’an di atas prinsip-prinsip kesederajatan tampak secara nyata disuarakan sendiri:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Pada lain ayat disebutkan:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."

Selain ayat di atas, Allah juga menegaskan sifat ke-taqwa-an seorang dan karya yang baik dalam kehidupannya adalah menjadi ukuran kemuliaan dan predikat terbaiknya, tanpa membedakan jenis kelamin, sehingga posisi laki-laki dan perempuan adalah sama dalam berkarya positif baik bagi dirinya, masyarakat, dan lingkungannya. Perhatikan ayat berikut:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Dan ungkapan ayat lain dalam al-Qur’an seperti ayat:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
Kedua ayat di atas (Surat al-Isra’ ayat 70 dan Ali Imran ayat 193) - disamping ayat lainnya- secara gamblang dan jelas menunjukkan sikap kritis yang berusaha mengikis habis segala bentuk difrensia dan diskriminasi atas nilai-nilai kemanusiaan (bukan atas dimensi biologis atau jenis kelamin). Karena tidak mengakui perbedaan jenis kelamin adalah tidak masuk akal, maka usaha-usaha memojokkan kaum wanita dalam aktvitas kemanusiaan, termasuk kereatifitas intelektual sangat tidak dibenarkan. Dengan demikian sampai disini jelas al-Qur’an maupun al-Hadist telah meletakkan kaum perempuan maupun laki-laki dalam suatu ruang kesederajatan (equlity sphare), yaitu sebuah kesederajatan kemanusiaan yang merefleksikan manusia sebagai Khalifah Allah (Vicegerent Of God).
Dalam konteks sebagai Khalifah Allah , kaum perempuan pun berhak memegang dan memainkan peran penting dalam melakukan kegiatan keagamaan serta melakukan reformasi dan rekonstruksi prilaku dunia Muslim, termasuk di dalamnya peran-peran sosial-keagamaan. Usaha transformasi, reformasi dan rekonstruksi teologi yang dilakukan perempuan muslim akhir-akhir ini semakin menampakkan diri, dan secara lebih jauh adalah melakukan tafsir baru (re-interpretasi) atas al- Quran. Sebagai contoh adalah munculnya nama-nama seperti: Amina Wadud Muhsin. Ia bahkan secara terang-terangan mengeritik dokterin syari’ah historis yang secara berlebihan telah memposisikan kaum laki-laki secara hegemonic, sehingga pada akhirnya laki-laki telah memonopoli dan mendominasi kekuasaan politik dan otoritas penafsiran atas agama.
Kesadaran intelektualitas dan spiritualitas kaum perempuan atas peran hegemonik kaum laki-laki inilah ternyata melahirkan sikap kritis mereka, termasuk untuk menyatakan hak untuk melakukan tafsir atas dokterin islam, seperti yang dilakukan oleh: Asma’ Syarif Beatrix, Amina Wadud Muhsin, Rifaat Hasan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kemunculan kaum perempuan dalam mengambil hak atas reinterpretasi doktrin Islam jelas menjadi simbul atas kesederajatan intlektual dan spritualitas kaum perempuan dan kaum laki-lak. Maka cukup beralasan bila Mahmud Muhammad Toha secara tegas menolak segala bentuk pemisahan laki-laki dan perempuan (tentu saja tidak dalam bentuk jenis kelamin). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa munculnya terminlogi pemisahan laki-laki dan perempuan dalam pengertian bahwa laki-laki memiliki hak otoritatif tunggal untuk menfsirkan agama jelas berangkat dari usaha-usaha para penafsir Islam (dokterin Islam), seperti para mufassir, fuqaha’ klasik.
Fakta-fakta di atas dapat dijadikan alasan untuk mengatakan, bahwa kaum perempuan juga memiliki hak dan kemampuan intlektual dalam memahami dan melakukan interprestasi atas ajaran Islam, dan sekaligus mengukuhkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah Khalifah Allah yang, memiliki tanggung jawab dan hak intlektualitas, yang pada gilirannya disebut sebagai pemegang otoritas keagamaan atau ulama’ perempuan yang selama ini diklaim sebagai pemilik hak kaum laki-laki. Kemampuan kaum perempuan sebagai penafsir doktrin Islam adalah bagian dari realitas kemurahan Tuhan atas hamba-Nya dan sebagaimana ditunjukkan pula oleh sejarah.
Ada beberapa persayaratan untuk menjadi seorang khalifah (pemimpin) dan sayarat-syarat yang dikemukakan oleh para ulama tidak satupun yang menyatakan ada persyaratan jenis kelamin.
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili dalam fiqh al-Islam menyebutkan beberapa persayaratan untuk menjadi pimpinan tertinggi, yaitu:
1. Mempunyai sifat terpercaya
2. terpelihara dan wara’ (terhindar dari hal-hal yang subhat) sert ihlas;
3. memberikan motifasi yang baik terhadap orang-orang muslim.
Menurut Syekh Muhammad Izzah Darwarah menyatakan sebagaimana yang terdapat dalam kitab Nizam al-Hukmi fi as-Syari’ah al-Islamiyah wa at-Tarikh Al-Islam Zafir Al-Qasimi sbb :”jika perempuan pada masa-masa pertama Islam tidak ikut serta dalam urusan-urusan Negara secara luas, karena alasannya adalah tabi’at kehidupan social saat itu, dan itu bukan berarti menonaktifkan hukum-hukum al-Qur’an, sebab kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya adalah sumber syari’at dan hukum-hukum Islam disetiap masa dan tempat.
Secara lebih jauh disebutkan dalam kitab tersebut bahwa para fuqaha’ tidak menemukan satu nashpun dalam al-Qur’an yang mencegah perempuan untuk memegang tongkat kewenangan besar. Oleh karenanya mereka mencari-cari dalil dalam sunnah, sementara semua petunjuk nash tentang tema kepemimpinan besar. Orang yang meneliti hadist yang dijadikan sebagai dalil yang tidak memberikan hak kepada perempuan untuk menjadi pimpinan politik, pasti menemukan bahwa hadist-hadist tersebut diriwayatkan secara perorangan (hadist ahad) yang masih dzanny yang tidak bisa mengalahkan dalil yang qath’i seperti firman Allah SWT. dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 71 sbb:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar”.

Dalam ayat tersebut disebutkan adanya kewajiban bagi laki-laki dan perempuan untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran tanpa membedakan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin.
™



Baca Selengkapnya ...