Nusyuz dalam perspektif Islam

Label: , , ,

Nusyuz
Surya

Sekilas Pengertian

Kata nusyuz dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar (akar kata) dari kata ”نشز- ينشز- نشوزا” yang berarti: ”duduk kemudian berdiri, berdiri dari, menonjol, menentang atau durhaka.[1] Dalam konteks pernikahan, makna nusyuz yang tepat untuk digunakan adalah “menentang atau durhaka”. sebab makna inilah yang paling mendekati dengan persoalan rumah tangga.


Dalam kitab Majmu’ Syarah Muhazzab, nusyuz dimaknai:

ألنشوز هو الإرتفاع وقيل للمكان المرتفع

“nusyuz adalah terangkat, tempat yang tinggi”

Sedangkan dalam kitab tafsir Al-Qasimi dan Al-Jami’, nusyuz berarti sesuatu yang tinggi atau tempat yang tinggi di bumi.

ألنشوز هوإرتفاع من الأرض

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Qur’an…..

وإذا قيل انشزوا فا نشزوا

Sedangkan menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah:

تخا فون عصبيانهن وتعا لبيهن عما اوجب الله عليهن من طا عةالزج

“mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari pada taat kepada suami”[2].

Sedangkan menurut istilah, dalam kitab Al-Bajuri dikatakan bahwa Nusyuz adalah:

ألنشوز هو الخروج عن الطا عة مطلقا أو من الزوجة أو من الزوج أو من هما

“nusyuz adalah keluar dari ketaatan (secara umum) dari isteri atau suami atau keduanya”.[3]

والنشوزمن جهة الزوجة أى بحسب الأصل والغا لب لأنه قد يكون من الزوج بخروجه عن أداءالحق الواجب عليه لها وهو معا شرتها با المعروف والقسم والمهر ولنفقه والكسوة وبقية المؤن

Artinya : Nusyuz bukan hanya isteri akan tetapi suami juga bisa melakukan hal yang sama. Suami nusyuz bisa ditandai dengan keluarnya atau tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang merupakan hak isteri yaitu mempergauli dengan ma’ruf (baik), melaksanakan pembagian dengan adil (bagi yang poligami), memberi mahar, nafkah, pakaian dan biaya-biaya yang lainnya.

Dari definisi singkat, baik berdasarkan bahasa atau istilah, bisa ditarik kesimpulan nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa yang menjadi kewajiban dalam rumah tangga. Adanya tindakan nusyuz ini adalah merupakan pintu pertama untuk kehancuran rumah tangga. Untuk itu, demi kelanggengan rumah tangga sebagaimana yang menjadi tujuan setiap pernikahan, maka suami ataupun isteri mempunyai hak yang sama untuk menegur masing-masing pihak yang ada tanda-tanda melakukan nusyuz.

Karena itu, penting sekali ditegaskan nusyuz tidak hanya berlaku bagi perempuan atau istri, tetapi suami juga bisa pula melakukan nusyuz. Bahkan justru peluang seorang suami lebih besar. Hal ini diterangkan Atha’ dengan ungkapan beliau yang terkenal:

ألنشوز أن تحب فراقه والرجل كذالك

“Nusyuz adalah sikap merasa senangnya salah seorang suami atau isteri untuk dapat saling meninggalkan”.[4]

Abu Mansur al-Lugawi menyatakan bahwa nusyuz ini bisa dilakukan suami maupun isteri. Ini disampaikan Abu Mansur dalam perkataannya:

قال أبو منصور اللغوى : النشوز كراهببة كل واحد من الزوجين صا حبه[5]

Artinya : Nusyuz adalah kebencian anatara kedua pasangan suami istri .

Selama ini berlaku penafsiran yang salah dan menyesatkan. Seakan-akan yang bisa melakukan nusyuz hanya perempuan saja. Hal ini jarang sekali diluruskan dalam dakwah Islam selama ini. Yang sering disampaikan hanya bagaimana isteri harus taat kepada suami karena kalau perempuan (isteri) mau masuk sorga, maka mereka harus taat kepada suaminya. Jika melanggar ketaatan tersebut, sang istri dicap nusyuz. Sebaliknya, seorang suami yang tidak memberi nafkah dan bersikap acuh tak acuh tidak otomatis disebut melakukan nusyuz.

Jenis Nusyuz

Para ulama membagi nusyuz menjadi dua macam. Pertama, nusyuz Perempuan atau isteri. Dalil al-Qur’an mengenai nusyuz perempuan ini ada misalnya pada surat An-nisa’ ayat 34:

“Waita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa’ : 34 )[6]

asbab an-uzul ayat ini turun, berkenaan dengan kasus seorang yang memukul isterinya karena berlaku nusyuz, kemudian dia mengadu kepada Rasulullah.[7] Selanjutnya Rasulullah menetapkan hukuman qishas atas suami tersebut, maka turunlah ayat 114 surat Thaha sebagai teguran kepada Rasulullah karena keputusan yang “tidak pas”. Maka turunlah ayat an-Nisa’ ayat 34 ini.

kitab Majmu’ Syarah Muhazzab menjelaskan tanda-tanda perempuan yang melakukan nusyuz:

أمارت النشوز أن لا تسرع فى أجا بته على غير عادتها أو لا تظهر احترامه ولا كرامته ولا تردعليه إلا متبرمة أو عابسة مع أطاعة فى الفراش

[8]

Tanda-tanda nusyuz perempuan (isteri) itu antara lain:

a. tidak cepat menjawab suaminya berdasarkan bukan kebiasaan

b. tidak nyata atau tidak jelas penghormatan kepada suaminya

c. tiada mendatangi suami kecuali dengan bosan, jemu atau dengan muka yang cemberut.

Para Imam mazhab yang empat juga mengemukakan beberapa tanda nusyuz isteri lainnya:

فامارته باالقول : هو أن يكون من عادته إذادعاها أجابته با التلبية, و إذا خاطبها أجابت خطابه بكلام جميل حسن, ثم صا رت بعد ذلك إذادعا ها لاتجيب بالتلبية, و إذاخاطبها او كلمها لاتجيب بكلام جميل. وظهور امارنه بالفعل : هو أن يكون من عادته إذا دعاها إلى الفراش أجابته بباسط طلقة الوجه, ثم صارت بعد ذلك تأتيه متكر هة. أو كان من عادتها إذادخل اليها قامت له وخدمته, ثم صارت لاتقوم له ولا تخدمه

Pertama, Nusyuz dengan ucapan adalah apabila biasanya kalau dipanggil, maka ia menjawab panggilan itu, atau kalau diajak bicara dia biasanya bicara dengan sopan dan dengan ucapan yang baik. Tetapi kemudian dia berubah, apabila dipanggil, maka ia tidak mau lagi menjawab, atau kalau diajak bicara ia acuh tidak peduli (cuek) dan mengeluarkan kata-kata yang jelek”.

Kedua, nusyuz dengan perbuatan adalah apabila biasanya kalau diajak tidur, maka ia menyambut dengan senyum dan wajah berseri. Tapi kemudian berubah menjadi enggan, menolak dengan wajah yang kecut. Tetapi kalau biasanya apabila suaminya datang ia langsung menyambutnya dengan hangat dan menyiapkan semua keperluannya. Tetapi kemudian berubah jadi tidak mau peduli lagi.[9]

Ada sebagian ulama menyatakan tanda-tanda nusyuz juga bia terlihat dari seorang isteri yang jika diajak untuk berhubungan intim, dia menolak. Akan tetapi, kita harus lebih adil melihat alasan isteri untuk tidak mau berhubungan. Kalau alasannya rasional, seperti sedang sakit, kelelahan atau tidak dalam keadaan siap hatinya, maka suami tidak berhak untuk memaksakan. Islam mengatur hubungan suami-istri itu harus bisa dinikmati kedua belah pihak.

Tanda-tanda nusyuz yang berkaitan dengan hubungan badan suami istri ini, bisa merujuk kepada hadits dari Abu Hurairah ra:

عن أبى هريرة رضي الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال إذابا تت المرءة هاجرت فراش زوجها, لعنتهاالملا ئكة حتى تصبح,حتى ترجع رواية الأخر حتى يرضى عنها – رواه مسلم

يؤخذ من الحديث : تحريم امتناعها من فراشه لغير عذر شرعى – متفق عليه

Artinya: apabila seorang suami meminta isterinya untuk melakukan hubungan intim (seksual), kemudian ia menolak, dan suaminya marah, maka isteri itu dilaknat para malaikat sampai pagi hari tiba (HR. Bukhari dan Muslim).[10]

Sebaliknya jika seorang istri “mafhum mukhalafah“ dalam keadaan uzur boleh tidak melayani suami, ia tidak bisa dikategorikan menentang (nusyuz) kepada suami.[11] hal ini ditegaskan misalnya dalam kitab Bajuri:

وبخلاف مالوكان بها عذ ركأن كا نت مر يضة أو مضنا ة لا تحتمل الوطء أو بفر جها قروح أو كانت مستحاضة أو كان الزوج عبلا بحيث يضرها فإ نها لا تكون نشوزا

“Tidak dikatakan nusyuz isteri-isteri yang apabila terdapat keuzuran seperti dalam keadaan sakit atau apabila berhubungan (berjima’) maka perempuaan ini akan sakit/lemah, atau vaginanya perempuan dalam keadaan sakit kuruk (cacar), istihadah, atau kemaluan suaminya besar yang sekiranya dapat memberikan mudharat bagi perempuan tersebut”.[12]

Selama ini di masyarakat berkembang pula pemahaman isteri disebut nusyuz jika keluar rumah tanpa ijin suami. Untuk perkara ini, kita mestinya lebih berhati-hati karena tidak secara mutlak berlaku demikian. Pertimbangan realitas sosial masyarakat juga harus jadi pedoman. Saat ini, tidak terkecuali di negeri yang mayoritasnya muslim, banyak sekali perempuan yang mencari nafkah karena beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Karena itu jika isteri mencari nafkah, tidak serta merta bisa dikatakan sebagai perbuatan nusyuz.

Dalam Bajuri Ibnu Qasim dijelaskan:

إذا بان نشوزالمرءة كخروج من منزله بلا عذر بخلاف ماإذا خرجت بعذر كان خرجت ألى القاضى لطلب حقها منه اوإلى إكتسا بها النفقة التى اعسر بها الزوج

“Apabila nyata perempuan itu nusyuz seperti keluar rumah dengan tampa illat (kepentingan), namun berbeda ketika perempuan (isteri) mempunyai kepentingan mendadak keluar rumah, seperti mencari hakim/KUA untuk menuntut hak-haknya atau untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak bisa diberikan oleh suami”.[13]

Hal yang serupa juga ditegaskan Ibrahim Al-Biqaiei. Dikatakan oeh ulama ini perempuan boleh keluar rumah karena ada kebutuhan mendesak[14] Perempuan juga boleh keluar rumah baik siang ataupun malam karena profesinya, seperti dokter, guru, bidan, perawat atau pekerja lainnya. Boleh setiap hari keluar karena keridhaan suaminya.[15]

Dalam kompilasi hukum Islam, soal Nusyuz juga diatur. Beberapa pasal menegaskan hak dan kewajiban suami dan istri.

Pasal 80

1) suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami dan isteri.

2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup beruma tangga sesuai dengan kemampuannya.

3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

4) Sesuai dengan pengahsilannya suami menanggung :

a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman isteri;

b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;

c. biaya pendidikan bagi anak.

Pasal 83

1) Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam;

2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga dengan sebaik-baiknya;

Pasal 84

1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah;

2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isteriya tersebut pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.

3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali setelah isteri tidak nusyuz.

4) Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.[16]

Sayangnya, dalam Kompilasi Hukum Islam ini tidak dikenal adanya nusyuz yang dilakukan suami. Padahal Islam jelas menegaskan nusyuz bia dilakukan suami dan isteri. Bahkan, dalam banyak riwayat dikatakan suami lebih besar peluangnya untuk melakukan nusyuz.

Pencegahan

Jika isteri melakukan nusyuz, ada beberapa cara yang bisa ditempuh suami untuk meredakan nusyuz sang isteri. Surat an- Nisa’ ayat 34 menjelaskan:

“Wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa:34)[17]

Bedasarkan ayat tersebut, sekurangnya ada tiga cara menghadapi isteri yang melakukan nusyuz. :Pertama, menasehati dengan tegas agar ia dapat kembali menjalankan kewajibannya dengan baik sebagai istri. Peringatan yang diberikan sepatutnya mengarahkan kepada pemulihan hubungan dalam rumah tangga. Disini suami dituntut bijaksana dalam perkataan dan perbuatan. Tegas bukan berarti kasar. Hal ini sesuai dengan prinsip dakwah yang dijelaskan oleh Allah SWT:

أدع إلى سبيل ربك با الحكمة و المو عظة الحسنة

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik”

Juga senada dengan hadist yang diriwayatkan Abi Ruqayah Tamimi addari ra:

عن أبى رقية تميم بن اوس الداري رضي الله عنه. أن النبى صلى الله عليه وسلم قال : الدين النصيحة, قلنا لمن؟ قال :لله وكتا به ولرسو له ولأئمة المسلمين وعامتهم {رواه مسلم}

“agama adalah nasihat. Bagi siapa? Bagi Allah dan Rasulnya dan bagi seluruh kaum Muslimin" (HR. Muslim)

Kedua, berpisah tempat tidur. Cara ini baru dilakukan jika cara yang pertama tidak mempan. Kalimat “واهجروهن” (pisahkan mereka) dalam surat An-Nisa ayat 34 ditafsirkan sebagian ulama sebagai tindakan seorang suami tidak melakukan hubungan seksual atau tidak diajak bicara sekalipun tetap berhubungan seksual. Bisa juga suami boleh tidur bersama sampai istri kembali taat. Atau tidak didekatkan ranjangnya dengan isteri.[18]

Tahap kedua ini merupakan tindakan yang lebih tegas daripada sekadar ucapan. Apabila dalam tahap ini isteri masih bersikukuh dengan sikap nusyuznya, maka berarti dia mencoba menghancurkan rumah tangganya sendiri. Sebab bagaimanapun hubungan seks adalah kebutuhan primer sebagai salah satu tujuan perkawinan.

Brapa lama pisah ranjang ini boleh dilakukan? Jika merujuk hadis Rasulullah SAW dikatakan:

أن النبى صلى ىلله عليه وسلم قال : لايحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة ايام . رواه مسلم

Dari Abu Hurairah ra Dari Nabi SAW beliau bersabda tidak boleh bagi seorang Muslim melakukan pemutusan (memisahkan diri) terhadap saudaranya melebihi 3 (tiga) hari. (HR. Muslim)

Ketiga, jika cara pertama dan kedua tidak bisa membuat isteri berubah menjadi taat kepada komitmen bersama dalam membangun rumah tangga, maka jalan terakhir adalah dengan memukulnya. Akan tetapi pemukulan di sini tidak bisa diartikan sebagai memukul dengan tangan atau alat secara kasar apalagi melukai. Ulama dalam menafsirkan ayat ini berbeda pendapat. Ada ulama yang menyatakan kita tidak akan mengerti maksud ayat tersebut jika hanya melihat permukaan atau buni teksnya saja.

Ada beberapa pengertian kalimat “فاضر بوهن” dalam penggalan ayat 34 surat An-Nisa itu. Kalimat tersebut tidak hanya bermakna ”pukullah mereka dengan tangan”. Ada beberapa makna lainnya. Ada yang bermakna menempuh perjalanan (an-Nisa’ ayat 101 dan Thaha ayat 77), bermakna membuat ( al-Tahrim ayat 10, Yasin ayat 13, al-Baqarah ayat 26 dan Ibrahim ayat 25), membuat jalan (surat Thaha ayat 25 dan 77), menutupi atau menutupi wajah dengan kerudung (an-Nur ayat 31), Ada lagi bermakna ditimpakan/diliputi (al-Baqarah ayat 61), menutup (al-Kahfi ayat 11).[19]

Hal senada diungkapkan ibnu Qutaibah yang mengartikan kalimat dalam ayat tersebut “فاضر بوهن” Kami menidurkan mereka”. Lanjut menurut beliau :”jika anda memaknai ayat ini secara harfiah, maka anda tidak akan dapat memahaminya”.[20] Dalam bahasa Arab dewasa ini kita juga mengenal kalimat “ضرب” juga bisa diartikan sebagai “bertindak tegas” bukan memukul secara lahir.

Al-Qurtubi menjelaskan:

والضرب فى هذه الأيه هو ضرب ا لتاديب غير مبرح وهوالذى لا يكسر عظما ولايشين جارحة كاالكرة ونحوها فإن المقصود منه الصلاح لاغير فلا جرم إذاأدى إلى الهلاك وجب الضمان

“pemukulan yang dimaksud dalam ayat ini adalah pemukulan yang bersifat mendidik, tidak mengakibatkan cedera, yaitu sampai mematahkan tulang, mengakibatkan pendarahan akibat luka dan semacamnya, karena yang dimaksudkan adalah perbaikan bukan lainnya. Karena itu jika terjadi semacam kerusakan (akibat) pemukulan, maka suami wajib dhamam (denda dan bertanggungjawab).[21]

Para ulama menggariskan beberapa persyaratan yang berat untuk bisa melakukan pemukulan terhadap isteri yang melakukan nusyuz, yaitu:

1. harus ada kesalahan yang diperbuat karena perempuan sebagai pelaku, bukan korban. Seperti seorang isteri yang tidak diberi nafkah suaminya. Lalu ia berusaha mencari nafkah sendiri di luar rumah, baik mendapat ijin atau tidak dari sang suami. Selama pekerjaan itu halal menurut agama, maka perempuan itu tidak boleh dipukul karena pada hakikatnya ia bukanlah pelaku nusyuz. melainkan korban kekerasan ekonomi dalam rumah tangga.

2. harus memilih alat pemukul yang tidak melukai.

3. Tidak boleh melukai, baik luka yang mengeluarkan darah atau melukai otot dalam sehingga mengakibatkan lebam dan memar, karenanya isteri bisa mengajukan tuntutan ke Pengadilan.

4. Pukulan tersebut tidak boleh mengenai muka, yang dimaksud dengan muka adalah bagian-bagian tubuh yang berbahaya seperti kepala, tengkuk atau dada, kalau hal itu terjadi isteri juga bisa menuntut suaminya ke Pengadilan.

5. tidak boleh memukul berulang-ulang. Apalagi dengan emosi atau dendam.

6. pukulan tersebut tidak disertai dengan kata-kata keji dan kotor.

Begitu beratnya syarat emmukul istri in, sampai Imam Syafi’I menyatakan boleh memukul akan tetapi tidak memukul jauh lebih mulia.

Nusyuz suami

Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 128 sbb:

“Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz[22] atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[23], dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir[24]. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu dengan baik dan mereka memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (an-Nisa’ : 128).[25]

Untuk mengetahui maksud ayat diatas, maka kita perlu mengetahui asbab an-Nuzulnya. Ayat ini turun berkenaan dengan kasus yang menimpa Saudah (isteri Rasulullah). Ketika beliau sudah tua, Rasulullah hendak menceraikannya, maka ia berkata kepada Rasulullah:

“Wahai Rasulullah:”jangan engkau mencerai aku, bukankah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan menjadi isterimu, maka tetapkanlah aku menjadi isterimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah ”.

Maka Rasulullah pun mengabulkan permohonan Saudah. Ia pun ditetapkan menjadi isteri beliau sampai meninggal dunia[26] Maka dengan kejadian tersebut, turunlah ayat an-Nisa’ 128.

Imam Syafi’i dari Said bin Musayyib mengatakan bahwa ayat tersebut turun karena berkenaan putri Muhammad bin Maslamah yang berada pada Rafi’i. Karena merasa tidak suka dengan putri Muhammad lanatran tuanya, lalu ia mencerainya. Kemudian wanita itu berkata :”janganlah engkau ceraikan aku, bagikan buat saya apa yang jelas bagimu maka mereka mengadakan perdamaian dan turunlah ayat diatas.[27]

Semnetara menurut Ibn Abbas, ayat ini turun karena Ibnu Abi as-Sa’ib yang mempunyai isteri dan beberapa orang anak. Lantaran istrinya itu sudah sangat tua, ia berkeinginan untuk mencerainya. Lalu isterinya berkata: ”janganlah mencerai aku. Biarkanlah aku sibuk mengurus anak-anakku, walaupun engkau memberikan giliran dengan malam yang sedikit. Lalu ia menjawab itu lebih bagus bagiku”.

Tanda-tanda nusyuz laki-laki (suami), yaitu sikap acuh tak acuh kepada istri, tidak peduli ekonomi keluarga, menggauli rumah tangganya dengan tidak ma’ruf. Jika tanda-tanda ini ada, sebagian atau keseluruhannya, maka Imam Nawawi mengatakan:

فإ ذا ظهر من الزوج النشوز بأن منعها ما يجب لها من نفقة وكسوة وقسم وغير ذلك, أسكنها الحاكم إلى جنب ثقة عدل ليستوفى لها حقها.

“Maka apabila telah nampak nusyuz dari pihak suami seperti tidak memberikan isterinya nafkah, pakaian, dan pembagian yang lainnya, maka hakim menyerahkan perempuan itu ke orang yang adil dan terpercaya untuk mendapatkan hak-haknya”.[28]

Almaragi mengatakan, tanda-tanda nusyuz suami diantaranya bermuka masam (cemberut), tidak mau diajak berhubungan seksual, berkata-kata yang melecehkan martabat isteri. Imam Abu Jarir mengatakan dalam tafsirnya[29] yang Allah maksudkan dengan ayat :”Dan jika seorang wanita khawatir”, yakni dia tahu mengenai suaminya “Tentang nusyuz”, yakni merasa tinggi diri atasnya dan berpaling pada yang lain, dan dia menjadi demikian tinggi hati padanya. Baik dengan sikap marahnya, atau dengan sikap membencinya dengan sebab-sebab yang datang darinya, karena buruk rupanya atau karena umurnya yang sudah tua. Atau “sikap tidak acuh dari suaminya”, yakni suami selalu memalingkan wajah dari isterinya atau dia tidak lagi memberikan sesuatu yang seharusnya dia berikan kepada isterinya.

Jika ini terjadi, kata Imam Abu jabir “tidak mengapa keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya”, maka tidaklah dosa bagi keduanya (wanita yang khawatir akan nusyuz suaminya) atau keacuhannya untuk :”Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, yakni dengan membiarkan harinya (gilirannya) bagi suaminya, atau membebaskan untuknya sebagian kewajiban yang seharusnya diberikan buatnya yang merupakan kewajiban suaminya. Dengan harapan untuk menarik hatinya dan membuat posisi keluarganya semakin baik, dan memperkuat ikatan perkawinan antara suami dan isteri”.

Nusyuz suami, pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :

1. Memberikan mahar sesuai dengan permintaan isteri;

2. Memberikan nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami;[30]

3. Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama seperti alat rias dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan dirumah isteri.

4. menyiapkan pembantu bagi isteri yang dirumahnya memiliki pembantu;

5. menyiapkan bahan makanan minuman setiap hari untuk isteri anak-anak dan pembantu kalau ada;

6. memasak, mencuci, menyetrika dan pekerjaan rumah;

7. an pakaian pada musim panas, dingin, gugur dan semi untuk isteri dan anak-menyiapkanak, bagi yang tinggal di daerah yang memiliki empat musim tersebut.

8. memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga;

9. membayar upah kepada isteri, kalau isteri meminta bayaran atas semua pekerjaan.[31]

10. berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu;

11. berbuat adil diantara anak-anaknya.

Dalam kitab Al-Majmu’ dan Al-Bajuri dikatakan, jika suami melakukan nusyuz, maka hakim berhak memberikan hukuman berdasarkan ta’zir atau undang-undang yang berlaku kepada suami. Jika terjadi saling tuduh antara suami isteri dan tidak ada yang mau mengalah, maka harus diteliti siapa sebenarnya yang melakukan nusyuz. Jika terus berlanjut, maka suami dan isteri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini bisa datang dari keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama. Bisa juga melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 35 sbb:

“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.

Dalam nusyuz suami ini yang ditekankan cara penyelesaiannya adalah dengan ishlah (perdamaian), akan tetapi jika hal ini tidak berhasil, maka hakim boleh menjatuhkan ta’zir. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan dalam kitab Majmu’ sbb:

وأما الرجل فإن منعها حقها فى القسم او النفقة والسكن الزمه الحاكم تأدية ذلك أما لإذااساء خلقه فضربها او شتمها بلا سبب ففى (التتمه) ان الحاكم ينهاه ويعزه.

“Dan adapun seorang laki-laki (suami), maka jika suami mencegah isterinya untuk mengambil haknya berupa pembagian (bagi yang berpoligami) atau nafkah atau tempat tinggal, maka hakim mengharuskan (mewajibkan) suami untuk menunaikannya. Apabila semakin buruk kelakuannya, ia memukul atau mencaci maki isterinya tampa sebab, maka hakim harus mencegahnya denganya memberikan ta’zir”.[32]

Ta’zir dari segi bahasa bermakna mendidik atau memperbaiki, sedangkan menurut istilah, ta’zir adalah mengajarkan adab atau mengambil tindakan atas dosa yang tidak dikenakan hukuman “had” dan tidak ada “kafarah”. Seperti nusyuz suami ini.

Adapun bentuk-bentuk ta’zir yang bisa dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan kesalahan yang tidak bisa di “had” dan “kafarah” sepeti dalam kasus nusyuz suami ini, yaitu sbb:

ويحصل التعزير بضرب غير مبرح او صفح وهو الضرب بجمع الكتى او حبس حتى عن الجمعة او توبيح بكلام او تغريب او اقامت من المجلس ونحوها مما يراها المعزر جنسا وقدرا (اي من جهة جنسها وقدرها بحسب ما يراه تأديبا)

Bentuk-bentuk ta’zir adalah sbb:

v pemukulan yang tidak melukai;

v tempelengan yaitu pemukulan dengan keseluruhan telapak tangan;

v penahanan (penjara);

v mencela dengan perkataan;

v mengasingkan dari daerah asal sampai pada jarak tempuh yang boleh melakukan qasar;

v memecat dari kedudukannya;

v dan seumpama yang lebih berat dari ta’zir atas pemeriksaan mu’azzir (pemerintah atau pejabat yang berwenang) mengenai jenis dan ukurannya (jenis dan ukuran ta’zir yang dapat dilihat sebagai ta’did atau tindakan untuk menghukum).[33]

Bentuk dan jenis ta’zir ini diserahkan kepada pemerintah atau pejabat yang berwenang, hal ini sebagaimana yang diungkapkan dalam kitab I’anatutthalibin sbb:

و الحاصل أمر التعزير مفوض اليه لانتفاءتقديره شرعا فيجتهد فيه جنسا وقدرا وانفرادا وجتماعا فله ان يجمع بين الامور المتقدمه وله أن يقتصر على بعضها بل له تركه

Kesimpulannya perkara ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah atau pejabat yang berwenang karena tidak ada ukurannya menurut syara’, maka ia boleh berijtihad pada masalah ta’zir baik mengenai jenisnya, ukurannya, dan pemrintah atau pejabat yang mewakili boleh menggabungkan jenis-jenis ta’zir yang diatas atau boleh hanya mengambil sebagian saja atau bahka meniadakan ta’zir tersebut.[34]

Apabila degan jalan ta’zir ini suami masih saja melakukan nuysuz, maka perempuan (isteri) bisa menempuh jalur hukum juga berupa fasyahk. Hal ini bisa dilakukan apabila suami tidak memberikan nafkah selama 6 bulan.

Dalam I’anah juz 4 :dijelskan tetang solusi nusyuz laki-laki yaitu :

1. ta’zir :

2. memfasyakh (boleh tidak lewat pengadilan dengan catatan bahwa bila perempuan disuruh untuk membayar, akan tetapi tidak bisa membayar.

Fasyakh ini baru bisa dilakukan sesudah melapor kepada hakim, dan selama 3 hari ada proses penyelidikan oleh hakim Umar dan Ali pernah melakukan hal ini memfasyahk seseorang pada hari ke 4.

Ukuran nafkah Al-Bajury juz 2: 190

- Suami kaya maka setiap hari memberikan 2 mud (tergantung kebiasaan setempat/makanan pokok.

- Miskin, maka cukup satu mud/kebiasaan setempat

- Sangat sederhana, maka boleh setengah mud dan semua tergantung adat. Yang menjadi ukuran adalah sejauhmana akan mensengsarakan isteri.

[1] Ahmad Warsan Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta, Pustakan progresip, 1994 : 1517.

[2] Abu Adillah bin Muhammad al-Qurthubi, Jami’ ahkami Qur’an, Dar Al-Fikr, Bairut, Gilid III, hal : 150

[3] Ali Ibnu Qasim al-Gozi, al-Bajuri,juz II, hal 129

[4] Muhammad bin Jarir bin Yazid Khalid al-Thabari Abu Ja’far, Jami’ al_Bayan ‘An Ta’wil ‘Ayil Qur’an, Bairut, Dar al-Fikr, 1405 H, jilid v hal:62 dan lihat juga Ali Bin Sulaiman al-Mardawawi Abu al-Hasn, al-Inshahaf Fi Ma’rifah al-Rajih min al-Khilaf ‘Ala Mazhab al-Imam Ahmad bin Hambal, Bairut, Dar Ihya’ al-Turas al-Araby, jilid VIII, hal 382.

[5] Abu Abdillah bin Ahmad al-Qurtubi, Jamiul Liahkamil Qur’an, Cet, Dar al-Fikr, Bairut, juz, III, hal : 150

[6] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Depag RI,1989, CV. Toha Semarang, hlm : 123.

[7] ibid

[8] Imam Nawawi, al-Majmu’ Sayarah Muhazab, Cet, Dar al-Fikr, Bairut, juz XVII, hal : 127

[9] Lihat al-Bayan syarah al-Muhazzab,Imam Abu al-Husen Yahya bin Abu al-Khair Salim al-Imrany al-Yamany 558 H, Dar al-Minhaj Jedah, Arab Saudi, bab an-Nusyuz, jilid IX, hal 528.

[10] Lihat sahih Bukhari hadist ke 226 juz VI dan shahih Muslim hadist ke 122 dan 1436. Dar al-Kutub ilmiyah Bairut.

[11] Fathul Mun’in Syarah, Syek Musa Sahin, Juz, V, hlm 475

[12] Ali Ibnu Qasim al-Gozi, Bajuri, Jilid II, hal : 133

[13] ibid

[14] Nadhm al-Dhurap fil tanasub al-Ayat wa al-Suwar, juz VI, hal, 102.

[15] Fiqhul Islam, Syeh. Dr. Wahbatul Zuhaili, juz VII, 792.

[16] Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI, 2001, hal, 45-46

[17] Al-Qur’an dan terjemahannya, Depag RI, 1989, CV. Toha Semarang, hal, 123

[18] al-Thabary Abu Ja’far, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil ‘Ayil Qur’an, Jilid V, hal : 64

[19] Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, Al-Raghib al-Isfahany, juz,….. hal, ….

[20] Ta’wil Muskil al-Qur’an, Ibn Qutaibah,…………

[21] Muhammad Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurtuby Abu Abdillah, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Mesir, Dar al-Sya’ab, 1373 H, jilid V, hal : 172

[22] Sikap nusyuz dari suami dapat berupa bersikap keras (kasar) terhadap isterinya, termasuk juga tidak mau melayani isteri dalam hubungan jima’ dan juga tidak mau memberi nafkah.

[23] Perdamaian dapat berupa sikap isteri yang mau berdamai asalkan tidak diceraikan.

[24] Tabi’at manusia itu tidak mau melepaskan sebagian haknya kepada orang lain dengan seihlas hatinya, kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebagian hak-haknya maka suami boleh menerimanya.

[25] Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, PT. Sari Agung, 2004, hal : 177

[26] Jalaluddin as-Syuti, al-Durru al-Mansyur, Bairut, Dar al-Fikr, hal : 711

[27] ibid

[28] Majmu’ Syarah Muhazzab, Imam Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarapudin an-Nawawi Tahqiq Muhammad Najib al-Muthi’, juz.XVII, 142, Dar Ihya’ Turats Bairut.

[29] Jami’ al-Bayangaan fi Tafsir Al-Qur’an, Juz, 4 hal :304

[30] Para ulama berpendapat bahwa nafkah batin berupa kemesraan dalam rumah tangga tidak termasuk kewajiban suami. Namun bagaimanapun juga ada sebuah prinsi fikih yang menyebutkan " مالا يتم الواجب إلا به فهو واجب" “ suatu kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan mengerjakan suatu pekerjaan, maka fuqaha’ memfatwakan bahwa pembuatan itu juga hukumya jadi wajib.

[31] Lihat surat al-Thalaq ayat 6 tentang kewajiban suami memberikan nafkah isteri yang menyusui anak-anaknya yang masih kecil.

[32] Imam Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarapudin an-Nawawi Tahqiq Muhammad Najib al-Muthi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Dar Ihya’ Turast Bairut, juz.XVIII, hal :129.

[33] Syekh Abu Bakar Utsman Muhammad Syath, I’anatut Thalibin, Darul Kutub,cet,Bairut, 1995 juz 4, hal : 166.

[34] Ibid, hal 168

Baca Selengkapnya ...

Poligami menurut Hukum Positif

Label: , , ,

Poligami Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia
Oleh: Surya

Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 4 (c) dikatakan, asas perkawinan adalah menggunakan asas Monogami (beristeri satu orang). Namun masih ada peluang bagi seorang suami untuk melakukan poligami. Tentu saja dengan catatan: Jika diizinkan oleh hukum positif, termasuk didalamnya ijin dari isteri dengan menggunakan proses didepan Sidang Pengadilan dan oleh hukum agama orang yang bersangkutan. Selanjutnya dalam Bab VII PP No.9 tahun 1975 menjelaskan sbb:

Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis ke Pengadilan (Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri).

Pasal 41
Pengadilan selanjutnya berkewajiban memeriksa mengenai beberapa hal yang terkait dengan pemberian izin bagi suami untuk menikah lagi (poligami), hal-hal antara lain:
a. Ada tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:
- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan Sidang Pengadilan.
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
I. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat kerja; atau
II. Surat keterangan pajak penghasilan;
III. Surat keteranagan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pasal 42
1. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
2. Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.

Pasal 43
Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon (suami) untuk beristeri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.

Pasal 44
Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43.
Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disamping berlaku ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, juga berlaku Peraturan Pemerintah (PP) 10 tahun 1983 dan PP 45 tahun 1990. Kedua PP ini pada prinsipnya hampir sama dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan. Hanya saja kedua PP ini menitik beratkan pentingnya ijin atasan untuk melakukan poligami. Baru kemudian yang bersangkutan menempuh proses yang sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. Kedua PP ini dilengkapi dengan janji sanksi terhadap PNS yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia yang mengakomudasi dari hukum fiqh Islam yang bisa dipakai oleh umat Islam Indonesia, disebutkan pada pasal 55 ayat (2) dan (3):
(2)Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anaknya.
(3)Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Disepelekan
Dalam pengalaman LBH APIK NTB menangani kasus Kekerasan Dalam rumah Tangga (KDRT), ditemukan satu fakta menarik: hampir 50 persen kasus KDRT dipicu persoalan poligami tanpa ijin. Artinya, Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksananya serta aturan lain yang mengatur poligami dikalangan PNS banyak disepelekan atau bahkan dilanggar.
pada posisi ini, hukum lebih terlihat sebagai hanya peraturan namun tidak dibarengi dengan prilaku untuk mengerakkan hukum yang sudah dibangun. Hal ini terbukti dari pembiaran-pembiaran pelanggaran terhadap ketentuan poligami yang ada. Walapun ada aturan dalan KUHP pasal 279 ayat (1) yang menyatakan ancaman pidana penjara selama-lamanya 5 tahun bagi yang melanggar.
Dengan demikian, poligami tanpa ijin dapat dikatagorikan sebagai Kejahatan terhadap asal-usul perkawinan. Hukumannya sangatlah berat, yakni 5-7 tahun penjara. Serta dibarengi dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu sesuai dengan pasal 35 KUHP nomor 1–5. Sayangnya, penegakan hukumnya belum dilakukan dengan maksimal dan masih jauh dari harapan rasa keadilan yang dicita-citakan.
Temuan terbaru LBH APIK NTB di Kabupaten Sumbawa Besar ternyata terungkap sejak 2002 sampai sekarang Polres Sumbawa kebanjiran kasus-kasus Poligami tanpa ijin. Kendala penegakannya ada pada perbedaan penafsiran antara polisi, jaksa dan Hakim. Ini membuat setiap kasus yang diadukan tidak dapat ditindak lanjuti sampai pada tingkat pengadilan.
Pengalaman Sumbawa ini, agak berbeda dengan di Lombok Barat. Di kabupaten ini penegakan terhadap kejahatan Asal-Usul Perkawinan atau poligami tanpa ijin ini, bisa dilanjutkan sampai Majelis Hakim Mejatuhkan Putusan. Fenomena yang kontras antara dua daerah ini, jelas akan membuat masyarakat pencari keadilan akan tambah tersesat dalam kesesatan hukum. Di mana terlihat sekali adanya perbedaan penegakan hukum walaupun mengunakan produk Hukum yang sama.

Epilog
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak lepas dari kebijakan pembangunan pemerintah Orde Baru untuk mendomestikkan perempuan guna kepentingan politiknya sendiri. Jika diteliti lebih lanjut pasal-pasal yang mengatur tentang poligami, dapat diambil suatu kesimpulan masih kentalnya konsep hukum yang diskriminatif. Karena Undang-Undang perkawinan masih sangat mencerminkan nilai-nilai patriakhi. Misalnya, ijin yang diberikan oleh Pengadilan terhadap suami yang akan beristeri lebih dari seorang hanya mengacu pada kelemahan-kelemahan yang dimiliki isteri, antara lain: isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan tidak dapat melahirkan keturunan. Syarat ini tidak berlaku kepada seorang suami yang memiliki kelemahan seperti pada seorang isteri sebagai mana yang dinyatakan dalam pasal 4 ayat (2) UU. No. 1 Tahun 1974. Dengan demikian, maka nampak sekali bahwa kebijakan Negara dalam hal prinsip persamaan bagi warga negaranya masih nampak sangat ambigu (ambivalent).
Ternyata masih banyak hal yang harus dikerjakan untuk membangun produk hukum yang progresif antara lain:
1. Merevisi kembali Undang-Undang Perkawinan dan aturan Pelaksananya serta Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang PNS dengan menghilangkan konsep-konsep hukum yang diskriminatif dan bertentangan dengan hukum lainnya.
2. Membangun penafsiran yang sama ditingkat aparat penegak hukum untuk kepentingan proses penegakan hukum itu sendiri.
Dua tujuan besar diatas adalah merupakan suatu bentuk ideal dari suatu hukum yang progresif yang berlandaskan pada hukum sebagai peraturan dan hukum sebagai prilaku.

Baca Selengkapnya ...