Poligami menurut Hukum Positif

Label: , , ,

Poligami Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia
Oleh: Surya

Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 4 (c) dikatakan, asas perkawinan adalah menggunakan asas Monogami (beristeri satu orang). Namun masih ada peluang bagi seorang suami untuk melakukan poligami. Tentu saja dengan catatan: Jika diizinkan oleh hukum positif, termasuk didalamnya ijin dari isteri dengan menggunakan proses didepan Sidang Pengadilan dan oleh hukum agama orang yang bersangkutan. Selanjutnya dalam Bab VII PP No.9 tahun 1975 menjelaskan sbb:

Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis ke Pengadilan (Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri).

Pasal 41
Pengadilan selanjutnya berkewajiban memeriksa mengenai beberapa hal yang terkait dengan pemberian izin bagi suami untuk menikah lagi (poligami), hal-hal antara lain:
a. Ada tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:
- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan Sidang Pengadilan.
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
I. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat kerja; atau
II. Surat keterangan pajak penghasilan;
III. Surat keteranagan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pasal 42
1. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
2. Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.

Pasal 43
Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon (suami) untuk beristeri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.

Pasal 44
Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43.
Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disamping berlaku ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, juga berlaku Peraturan Pemerintah (PP) 10 tahun 1983 dan PP 45 tahun 1990. Kedua PP ini pada prinsipnya hampir sama dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan. Hanya saja kedua PP ini menitik beratkan pentingnya ijin atasan untuk melakukan poligami. Baru kemudian yang bersangkutan menempuh proses yang sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. Kedua PP ini dilengkapi dengan janji sanksi terhadap PNS yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia yang mengakomudasi dari hukum fiqh Islam yang bisa dipakai oleh umat Islam Indonesia, disebutkan pada pasal 55 ayat (2) dan (3):
(2)Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anaknya.
(3)Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Disepelekan
Dalam pengalaman LBH APIK NTB menangani kasus Kekerasan Dalam rumah Tangga (KDRT), ditemukan satu fakta menarik: hampir 50 persen kasus KDRT dipicu persoalan poligami tanpa ijin. Artinya, Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksananya serta aturan lain yang mengatur poligami dikalangan PNS banyak disepelekan atau bahkan dilanggar.
pada posisi ini, hukum lebih terlihat sebagai hanya peraturan namun tidak dibarengi dengan prilaku untuk mengerakkan hukum yang sudah dibangun. Hal ini terbukti dari pembiaran-pembiaran pelanggaran terhadap ketentuan poligami yang ada. Walapun ada aturan dalan KUHP pasal 279 ayat (1) yang menyatakan ancaman pidana penjara selama-lamanya 5 tahun bagi yang melanggar.
Dengan demikian, poligami tanpa ijin dapat dikatagorikan sebagai Kejahatan terhadap asal-usul perkawinan. Hukumannya sangatlah berat, yakni 5-7 tahun penjara. Serta dibarengi dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu sesuai dengan pasal 35 KUHP nomor 1–5. Sayangnya, penegakan hukumnya belum dilakukan dengan maksimal dan masih jauh dari harapan rasa keadilan yang dicita-citakan.
Temuan terbaru LBH APIK NTB di Kabupaten Sumbawa Besar ternyata terungkap sejak 2002 sampai sekarang Polres Sumbawa kebanjiran kasus-kasus Poligami tanpa ijin. Kendala penegakannya ada pada perbedaan penafsiran antara polisi, jaksa dan Hakim. Ini membuat setiap kasus yang diadukan tidak dapat ditindak lanjuti sampai pada tingkat pengadilan.
Pengalaman Sumbawa ini, agak berbeda dengan di Lombok Barat. Di kabupaten ini penegakan terhadap kejahatan Asal-Usul Perkawinan atau poligami tanpa ijin ini, bisa dilanjutkan sampai Majelis Hakim Mejatuhkan Putusan. Fenomena yang kontras antara dua daerah ini, jelas akan membuat masyarakat pencari keadilan akan tambah tersesat dalam kesesatan hukum. Di mana terlihat sekali adanya perbedaan penegakan hukum walaupun mengunakan produk Hukum yang sama.

Epilog
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak lepas dari kebijakan pembangunan pemerintah Orde Baru untuk mendomestikkan perempuan guna kepentingan politiknya sendiri. Jika diteliti lebih lanjut pasal-pasal yang mengatur tentang poligami, dapat diambil suatu kesimpulan masih kentalnya konsep hukum yang diskriminatif. Karena Undang-Undang perkawinan masih sangat mencerminkan nilai-nilai patriakhi. Misalnya, ijin yang diberikan oleh Pengadilan terhadap suami yang akan beristeri lebih dari seorang hanya mengacu pada kelemahan-kelemahan yang dimiliki isteri, antara lain: isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan tidak dapat melahirkan keturunan. Syarat ini tidak berlaku kepada seorang suami yang memiliki kelemahan seperti pada seorang isteri sebagai mana yang dinyatakan dalam pasal 4 ayat (2) UU. No. 1 Tahun 1974. Dengan demikian, maka nampak sekali bahwa kebijakan Negara dalam hal prinsip persamaan bagi warga negaranya masih nampak sangat ambigu (ambivalent).
Ternyata masih banyak hal yang harus dikerjakan untuk membangun produk hukum yang progresif antara lain:
1. Merevisi kembali Undang-Undang Perkawinan dan aturan Pelaksananya serta Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang PNS dengan menghilangkan konsep-konsep hukum yang diskriminatif dan bertentangan dengan hukum lainnya.
2. Membangun penafsiran yang sama ditingkat aparat penegak hukum untuk kepentingan proses penegakan hukum itu sendiri.
Dua tujuan besar diatas adalah merupakan suatu bentuk ideal dari suatu hukum yang progresif yang berlandaskan pada hukum sebagai peraturan dan hukum sebagai prilaku.

0 komentar:

Posting Komentar