Selarian


Selarian Sasak
Masyarakat pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat dikenal dengan kekayaan budaya yang unik, khususnya dalam budaya menikah. Masyarakat Lombok mengenal namanya Selarian atau lebih dikenal dengan nama "merarik" yaitu membawa perempuan untuk dinikahi. Pada awalnya proses ini berjalan baik karena sudah memenuhi unsur dan persyaratan secara adat dan tidak melanggar aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Akan tetapi pada perkembangannya adat ini sudah banyak berubah dan malah di salah gunakan oleh mereka yang tidak bertanggungjawab.
Kita cukup miris mendengar berita banyak anak-anak sekolah dilarikan untuk dinikahi dan bahkan mereka tidak saling mengenal sebelumnya, apalagi keluarga yang mau kenal, padahal sebagai prasyarat awal bahwa bisa melakukan selarian apabila antara laki-laki dan perempuan sudah saling kenal, ada proses saling kenal keluarga. Hal ini tentunya mengakibatkan banyak orang tua yang tidak terima anak mereka yang masih sekolah dibawa selarian bengitu saja. Kasus-kasus ini pada gilirannya berdampak pada IPM NTB yang tidak bisa naik peringkatnya, karena banyak pernikahan usia dini.

Menurut beberapa tokoh adat, bahwa sudah terjadi kekeliruan dalam adat selarian, tidak boleh membawa lari gadis yang masih di bawah umur, harus ada sepengetahuan orang tua, ada saling mengenal sebelumnya dsbnya.
Kasus terbaru yang ditangani oleh LBH APIK NTB adalah salah seorang putri dari Lombok Timur yang masih duduk di bangku sekolah dibawa selarian, orang tua tidak terima dan melaporkan kasus tersebut ke Aparat Kepolisian Lombok Timur, dan Aparat yang sudah responsif gender berani menahan pelaku dengan tuduhan melanggar pasal 332 KHUP melarikan perempuan yang belum dewasa. Salut untuk Polres Lombok Timur.
karena permasalahan ini tidak terlalu berani di campuri oleh aparat karena merupakan ranah adat, akan tetapi karena melanggar adat dan tentunya peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Aparat Kepolisian harus menegakkannya. Semoga ke depan tidak terjadi lagi kasus yang melanggar adat dan tentunya hukum. Mari kita kembali kepada adat selarian yang sesungguhnya....

Baca Selengkapnya ...

Moneva Program Anak

Monitoring dan Evaluasi 2009
Hari Senin kemarin tanggal 22 Juni 2009,LBH APIK NTB khususnya Program Anak mengadakan Monitoring dan Evaluasi Jaringan Perlindungan anak yang juga melibatkan 5 jaringan NGO yaitu : LARD Mataram, YPAI Lobar, LMND, STN dan FKMN NTB. Acara ini sendiri bertempat di Rumah Makan Dua Em Mataram dengan fasilitator : Marta Dinata dari YKPR Mataram.

Proses Moneva:

Pertama acara dibuka oleh Panitia Tony Hoban selaku koordinator Program anak LBH APIK NTB, dalam pembukaannya dia mengungkapkan bahwa :"acara moneva seperti ini sudah rutin kita lakukan 6 bulan sekali dengan melibatkan jaringan dan 5 NGO lain sebagai pemantau, acara ini dimaksudkan untuk menggali permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh jaringan dalam penanganan kasus anak".

Sementara Direktur LBH APIK NTB Beauty Erawati, SH, MH mengungkapkan "selama 3 tahun tertakhir ini sudah menangani 570 an kasus dan dengan jumlah korban 430 orang, mengapa ini berbeda, karena satu korban bisa mendapatkan 2-3 kasus. Banyak orang mengatakan bahwa LBH APIK NTB hanya menangani kasus saja, kalau menangani kasus saja, maka kasus tidak akan pernah habis sampai dunia kiamat. Padahal mereka tidak tahu, bahwa kita melakukan 3 (tiga) hal, struktur : kita memberikan pemahaman kepada aparat penegak hukum agar lebih responsip dam berpihak kepada korban. Subtansi : kita juga berupaya mendesakkan peraturan dan kebijakan ditingkat daerah berupa Perda dan SK yang adil terhadap perempuan. Kultur : juga memberikan penyadaran dan pemahaman kepada masyarakat untuk lebih memahami hukum. Jika ke tiga hal tersebut sudah bagus, maka secara otomatis perjuangan kita selama ini sudah berhasil". Imbuhnya.

Dalam moneva ini terungkap beberapa kendala yang dihadapi oleh jaringan diantaranya, jaringan belum memiliki buku panduan yang berisi mekanisme penanganan kasus dan peraturan yang berkaitan. banyak juga yang mengungkapkan bahwa banyak APH yang masih tidak responsif korban. Sementara juga ada muncul kendala dari korban dan masyarakat yang menganggap korban terutama perempuan dan anak yang salah jika terjadi kasus. Masyarakat masih menganggap aib untuk melaporkan kasusnya dan diketahui publik. Sementara temen-temen NGO meberikan masukan agar lebih meningkatkan koordinasi dan komunikasi anatar jaringan maupun jaringan dengan LBH APIK NTB. Perlu juga dibentuk forum di masing-masing daerah untuk melakukan advokasi bersama dan penanganan kasus yang berat sehingga tidak semua kasus harus dirujuk ke LBH APIK NTB, yang penting ada laporan ke APIK.

Semoga ke depan LBH APIK NTB semakin Jaya dan terus berbuat untuk kebaikan umat.....

Baca Selengkapnya ...

KASIHAN TKI NTB

Oh..TKI..oh
Akhir-akhir ini kita banyak mendengar TKI asal NTB banyak yang di deportasi bahkan sebelumnya mendapatkan penyiksaan, gaji tidak di bayar yang melanggar HAM mereka, hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi Pemda NTB untuk mengatasi permasalahan tersebut. Ada indikasi bahwa, TKI asal NTB dipalsukan identitasnya. Untuk itu diperlukan kepedulian dan keseriusan Pemda untuk menjalankan Fungsi Kontrol selaku Pengawasan dalam penempatan TKI asal NTB.

Semoga semua bisa peduli dengan nasib pahlawan devisa ini. Jangan sampai ketika orang asing maun masuk ke wilayah kita, kita semua marah dan rasa kebangsaan kita muncul, akan tetapi, ketika rakyat kita yang di injak-injak martabatnya sebagai manusia di negara lain, rasa patriot kita terbelenggu...ayo kita selamatkan pahlawan kita......maju...

Baca Selengkapnya ...

Selarian bermasalah?

Adat masyarakat sasak asli khsusus selarian (merarik) telah banyak mengandung kontrofersi, karena adat selarian yang sebenarnya tidak diperhatikan. Contoh kasus terbaru adalah, klien LBH APIK NTB yang masih anak di bawa untuk dinakahi tanpa persetujuan orang tua. Pihak keluarga perempuan tidak terima karena anaknya masih sekolah. Sementara keluarga laki-laki juga tidak terima calon mempelai perempuannya di ambil kembali oleh keluarga. lambat laun, karena proses permintaan wali tidak diberikan, pihak keluarga laki-laki mendaftarkan ke Pengadilan Agama Mataram untuk permohonan wali adhal. Hal ini tentunya merupakan babak baru dalam kisah selarian di Lombok. Diperlukan perhatian semua pihak terutama pemerintah dan tokoh adat untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bagaimana selarian yang sebenarnya tanpa melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Kita berharap adat selarian tidak membawa dampak yang buruk bagi peningkatan IPM NTB agar bisa sesuai dengan Slogan :NTB Bersaing (Beriman dan Berdaya Saing).
semoga....

Baca Selengkapnya ...

TOT Paralegal


TOT Paralegal
kemarin, tanggal 11 - 13 Juni 2009 bertempat di Hotel Puri Saron Senggigi, LBH APIK NTB mengadakan Training of Trainer Paralegal dengan peserta 26 orang yang berasal dari berbagai daerah. TOT ini terselenggara berkat kerjasama LBH APIK NTB dengan Federasi APIK, APIK yang hadir, Jakarta, Bali, Semarang, Manado, Pontianak, Palu dan Makassar.
TOT ini menghadirkan 2 (dua) orang fasilitator dari Makassar (Lusy Palalungan) dan dari Mataram (Beauty Erawati) serta narasumber Bapak Sulistio dari Koslata Mataram. TOT ini mengajarkan peserta untuk mernjadi fasililator yang handal dan menjadi narasumber yang baik..
ke depan diharapakan peserta bisa menjadi fasilitator untuk perubahan ke arah kesetaraan gender dan HAM.

Baca Selengkapnya ...

Pornografi


PORNOGRAFI
Pornografi haram karena mengeksploitasi aurat...
Namun, soal batasan aurat
dan kriteria sesuatu dapat disebut produk pornografi
tetaplah debatable.


Salah satu isu yang dipandang berkait rekat dengan pentingnya menutup aurat (berjilbab?) adalah isu pornografi. Kebanyakan muslim yakin bahwa menutup aurat turut bersumbang-sih bagi upaya meredam maraknya pornografi—juga versi ikutannya, pornoaksi.
Isu pornografi sendiri belakangan menguat seiring kian banyaknya alternatif media informasi dan/atau produk teknologi. Banyak bermunculan, baik kuantitas maupun kualitas. Aksesabilitas masyarakat pun terhadap beragam produk teknologi meningkat sehingga memudahkan mereka mengakses aneka bentuk informasi, termasuk produk-produk pornografi. Ambil misal, pertumbuhan dan persebaran internet, suatu peranti teknologi di mana seluruh hitam-putih informasi, termasuk produk pornografi, dapat dengan mudah diakses kapanpun, di manapun, dan oleh siapapun—tak terkecuali anak-anak. Beberapa tahun lalu internet masih terbilang langka, tapi kini sangat mudah dijumpai dan diakses seperti halnya media cetak dan elektronik. Bahkan, ketimbang televisi dan media-media cetak, ia lebih mampu menawarkan banyak “warna” bagi pengaksesnya.
Seiring itu, keprihatinan atas bahaya pornografi semakin merebak. Terutama bahayanya bagi anak-anak. Namun, keprihatinan itu terasa ironis dan menjadi kontroversial saat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengajukan suatu rancangan produk hukum bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) pada 14 Februari 2006. Munculnya RUU APP, kita tahu, tempo hari sempat menyulut kontroversi bahkan hampir-hampir juga memantik sejumlah benturan antarmassa pendukung dan penolak. Perdebatan seputar RUU tersebut beserta kemungkinan eksesnya kala itu ramai mewarnai berbagai forum dan media massa. Sayang, dalam perkembangannya, perdebatan yang mengemuka tak lagi produktif. Sebab, debat tak lagi fokus soal bahaya pornografi dan problem kememadaian perangkat perundang-undangan yang mengaturnya, tapi lebih ke soal klaim-klaim teologis yang berujung pada pemaksaan standar moral tertentu (Islam) terhadap standar-standar moral lain di tengah masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural. Polarisasinya di level sosial menjadi sangat sederhana, mereka yang menolak RUU dianggap melecehkan agama (Islam) dan penyokongnya menahbiskan diri sebagai pembela agama.
Polarisasi itu, juga seluruh perdebatan yang melatari, sejatinya terbentuk dan berpangkal dari kesulitan mendefinisikan pornografi (dan juga pornoaksi) itu sendiri. Definisi pornografi sungguhlah cair. Tak ada definisi tunggal tentangnya. Di situ kita menghadapi banyak dilema, terutama dalam menentukan kriteria yang disebut porno. Jelas, pada akhirnya, ini bukan hanya soal hukum tapi lebih jauh adalah persoalan akhlak, etika. Susahnya, soal etika acap disederhanakan sebagai etiket dan lalu dijadikan alasan suatu standar etiket tertentu untuk mendominasi standar-standar etiket lain. Kita abai bahwa soal-soal semacam itu sungguh terikat dengan keragaman budaya, letak geografis, dan kesepakatan publik tentang tata cara berbusana. Oleh karena itu, sebelum menghukumi pornografi (juga pornoaksi) kita perlu memahami seluk-beluk apa itu pornografi.

A. Mencari Definisi
Istilah pornografi berasal dari bahasa Yunani, πορνογραφία atau pornographia. Ia berakar pada kata Yunani klasik, πορνη dan γραφειν, yang secara harfiah berarti “tulisan tentang atau gambar tentang pelacur”. Mulanya ia sebuah eufemisme dan secara harfiah berarti “(sesuatu yang) dijual”. Istilah pornografi juga sering dirujukkan pada kata Yunani kuno untuk menunjuk orang-orang yang mencatat “pornoai” atau para pelacur terkenal atau yang mempunyai kecakapan tertentu. Terkadang juga disingkat menjadi porn, pr0n, atau porno yang didefinisikan sebagai penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual. Ia memiliki kemiripan dengan “erotika” sehingga keduanya sering digunakan secara bergantian—padahal sebenarnya antarkedua istilah tersebut berbeda.


masturbasi, dan lain-lain. Hal-hal inilah yang antara lain menuai protes-keberatan. Terkait ini, KH A. Mustofa Bisri merasa perlu me-wanti-wanti (mengingatkan) para elit di DPR untuk bertindak arif dengan mengakomodir aneka kepentingan, aspirasi, dan perbedaan kultural di tengah masyarakat. “Apalagi di Indonesia ada beberapa provinsi yang sudah sangat kental dengan penampilan yang oleh sebagian masyarakat dinilai sebagai porno, seperti di Bali dan Papua,” katanya. Karena itu Gus Mus, demikian kyai budayawan itu akrab disapa, meminta mendefinisikan terlebih dahulu secara tegas apa itu porno tanpa mencederai keragaman di masyarakat. Ia berujar, “Definisi porno harus tegas dulu, karena masalah aurat itu juga banyak pendapat. Jangan-jangan setelah RUU disahkan nanti justru akan berbenturan dengan fiqh Islam, karena dalam fiqh Islam pun banyak pelajaran (berbeda-beda) tentang seksualitas, termasuk dunia kedokteran.”
Celakanya, saran-saran seperti antara lain diajukan Gus Mus itulah yang tampak serius diabaikan oleh para perumus RUU APP. Hampir secara keseluruhan, spirit RUU itu tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis, dan agama. RUU itu jutsru bertumpu pada sebentuk kepongahan bahwa negara dapat mengatur-atur moral dan etika segenap rakyat Indonesia yang begitu bhinneka itu lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah-laku berdasarkan standar moral atau keyakinan telogis tertentu dari satu kelompok masyarakat saja yang kebetulan mayoritas. Padahal negara Indonesia berdiri kukuh di atas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat-istiadat dan budayanya. Ratusan suku bangsa itu memiliki norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila, termasuk dalam soal tata busana.
Di samping itu, yang tak kalah menyesakkan adalah fakta bahwa RUU APP itu sagat kyat berpijak pada suatu logika “patriarkhis” yang menyudutkan dan mendiskriminasi perempuan. Logika dimaksud menganggap bahwa dekadensi moral bangsa ini lebih disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah-laku sopan dan tidak mau menutup rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Bahkan, dalam kasus-kasus kejahatan seksual, perempuan yang notabene berposisi sebagai korban justru dipersalahkan sebagai pangkal penyebab. Perempuan yang sebenarnya korban malah dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya kejahatan seksual itu. Ini, seperti disebut di bab sebelumnya, merupakan bentuk tindakan blaming the victims—menyalahkan korban. Itulah mengapa, karena meyakini seksualitas dan tubuh perempuan sebagai biang maraknya kemaksiatan, RUU ini sangat berkeinginan membatasi ruang gerak sekaligus rapat-rapat menutupnya agar moralitas sosial terjaga, kepribadian nan luhur menguat, dan tatanan hidup masyarakat tidak terancam.
Problem utama menyangkut pornografi sesungguhnya bukan ketiadaan aturan yang mengakomodasinya, melainkan rapuhnya penegakan hukum. Sebagian besar substansi yang diatur dalam RUU APP sejatinya telah diatur dalam KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia. Dengan demikian, pemberantasan pornografi adalah tanggung jawab polisi, kejaksaan, dan hakim, sehingga tidak diperlukan lagi ”Badan Antipornografi dan Pornoaksi Nasional” (BAPPN) yang akan dibiayai APBN, sebagaimana diatur dalam RUU itu.
Selanjutnya, karena pornografi menyangkut hak-hak privat warga negara dan khususnya persoalan kekerasan terhadap objek pornografi, yaitu perempuan dan anak-anak, maka acuan dasar hukum pembentukan RUU ini yang mengacu pada UUD 1945 Pasal 20, 21, dan 29 tidaklah tepat. Instrumen hukum yang sangat berkaitan dengan esensi pornografi dan implikasi pornografi bagi perempuan dan anak-anak adalah yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi setiap warga negara, yaitu pasal 27 (2) UUD 1945; pasal 28 I juntis pasal 28 J, dan pasal 28 G ayat (2) UUD 1945; pasal 1 juntis pasal 2, pasal 5 huruf (a), dan pasal 6 dari UU No 7/1984 (CEDAW); KUHP; UU No 40/1999 tentang Pers; UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak; dan Landasan Aksi Konferensi Beijing Kapital D Angka 112-113.
Lalu, adakah implikasi serius jika RUU APP itu terus dipaksakan untuk diundangkan? Terdapat sejumlah kekhawatiran logis jika RUU ini jadi diberlaku-terapkan. Pertama, pemberlakuan RUU ini bakal menghapus kemajemukan budaya bangsa sehingga yang tertuang dalam konsiderannya malah bertentangan dengan substansinya sendiri. Haruslah dimengerti bahwa berbagai hal tentang perkelaminan sangat berhubungan rekat dengan soal-soal kebudayaan dan sejarah kesukubangsaan di Indonesia sehingga sukar menuding tradisi tertentu, bahkan ritual keagamaan dalam tradisi tersebut, sebagai bentuk pornografi atau tindak pornoaksi, apalagi mengkriminalisasinya. Kedua, ketidakjelasan dalam definisi dan prosedur akan menyulitkan penegak hukum dalam menangani kasus yang dipandang sebagai pornografi atau dituduh sebagai pornoaksi. Ketiga, pengaturan paksa terhadap ruang privat—seperti cara-cara berpakaian—dicemaskan bakal menimbulkan pengekangan, pemaksaan, bahkan kekerasan negara terhadap warga negara melalui “pemberian” wewenang terhadap sekelompok orang yang akan bertindak sebagai ”polisi moral”. Dan, keempat, intervensi negara terhadap ruang privat akan menyebabkan hilangnya hak-hak sipil warga negara.
Keseluruh problem yang diidap oleh RUU APP berikut kemungkinan implikasinya itulah yang terus memperbesar gelombang penolakan atasnya—menandingi gerak kelompok-kelompok pendukungnya. Sikap penolakan mereka diketengahkan dengan slogan “Tolak Pornografi, Tolak RUU APP”. Bagi mereka, pornografi perlu ditolak karena berbahaya bagi moralitas masyarakat dan RUU APP juga perlu ditolak karena berpotensi mengancam kemajemukan, basis bagi keutuhan hidup berbangsa dan bernegara.
Penolakan terhadap RUU APP itu sama dapat dimengertinya dengan penolakan terhadap pornografi. Yang sungguh tak bisa dimengerti adalah ke-ngotot-an sementara umat Islam untuk memaksakan pengundangan RUU APP. Tak dapat dimengerti karena sikap bersikeras mereka cenderung bergeser dari kepentingan melindungi anak-anak dan perempuan dari pornografi menjadi kepentingan mendominasi domain publik atas nama agama. Inilah yang dirisaukan antara lain oleh Gus Mus. Menurut pengasuh pesantren Raudlatut Tholibin Rembang Jawa Tengah itu, desakan untuk segera mengeluarkan peraturan mengenai pornoaksi dan pornografi merupakan manifestasi kepanikan dari sebagian kelompok Islam yang merasa rendah diri. Kelompok ini merasa rendah diri dan tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengatasi masalah pornoaksi dan pornografi di Indonesia, sehingga mereka merasa perlu menekan DPR RI dan pemerintah untuk segera mengeluarkan undang-undang terkait. Tekanan keras untuk segera mengesahkan UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi itu mengisyaratkan seolah umat Islam tidak mampu memecahkan persoalannya sendiri. “Ada semacam kepanikan sebagian umat Islam terhadap globalisasi yang sedang terjadi saat ini… seakan umat Islam begitu cemas dan tidak bisa mengatasi persoalannya sendiri, sehingga merasa perlu memaksa agar RUU APP itu segera disahkan sebagai UU,” katanya.
Akhirnya, kita tidak perlu ragu: Islam jelas mengharamkan pornografi karena mengeksploitasi aurat. Namun, soal bagaimana menentukan batas aurat dan apa kriteria bagi sesuatu untuk dapat disebut produk pornografi bisa sangat debatable. Maka, biarkanlah masing-masing pandangan berkontestasi secara bebas di ruang publik. Tak perlu ada upaya suatu pandangan terntu dipaksakan sebagai standar tunggal kebenaran tentang aurat dan pornografi. Ini memang seperti soal riba. Islam jelas mengharamkan riba. Namun, apakah bunga bank dapat disebut bentuk riba dan karena itu haram? Kita tahu, tentang ini, terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Demikian juga soal aurat dan penentuan kriteria standar pornografi.
Kita mungkin dan boleh saja membuat sejumlah kriteria untuk dilekatkan sebagai definisi pornografi (juga pornoaksi). Akan tetapi, dari sisi hukum, apapun rumusan kita tetaplah sebuah legal opinion. Artinya, selalu terbuka munculnya second opinion tentang kriteria pornografi. Oleh karena itu, suatu rumusan tertentu tidak bisa dipaksakan untuk dijadikan rumusan tunggal kemana rumusan-rumusan lain harus merujukkan diri.
Masalah aurat, isu utama dalam pornografi (juga pornoaksi), memang lebih soal moralitas (etika), juga etiket. Maka, bila suatu standar moral tertentu hendak dijadikan standar moral publik, pastilah konsekuensinya memberangus keragaman—alih-alih mencipta kepastian hukum. Konsekuensi inilah yang bakal teretas bila RUU APP positif menjadi undang-undang. Agaknya, kita harus terus belajar menghormati pilihan-pilihan berbeda orang lain. Dengan begitu jargon rahmatan li al-‘âlamîn akan betul-betul menuai signifikansinya.



_________

Baca Selengkapnya ...

Bekerja Bagi Perempuan

Bekerja di Luar Rumah Bagi Perempuan
Pada dasarya bekerja adalah merupakan hak azasi setiap manusia, baik dia laki-laki ataupun perempuan. Karena Islam memandang bahwa bekerja adalah merupakan ibadah dan ganjarannya adalah pahala dari Allah SWT. Jika merujuk kepada hadist Nabi SAW. sesungguhnya ada banyak riwayat menyebutkan tentang sahabat perempuan yang bekerja didalam dan diluar rumah, baik untuk kepentingan social, maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Misalnya adalah Asma bin Abu Bakar, isteri sahabat Zaubair bin Awwam, bekerja bercocok tanam, yang terkadang melakukan perjalanan cukup jauh. Dalam kitab hadist Shahih Muslim dikatakan sbb:
قال جابربن عبد الله : طاقت خالتى فأرادت أن تجد نخلها, فزجرهارجل أن تخرج. فأتت النبى صلى الله عليه وسلم, فقال : بلى فجدي نخلك فإنك عسى أن تصدقى أو تفعلى معروفا. (رواه مسلم)
“Jabir bin Abdillah berkata :”Bibiku diceraikan (suaminya), ketika ia hendak (keluar rumah untuk) memetik buah kurma, ia dilarang seseorang karena keluar rumah. Kemudian, ia menemui Rasulullah SAW (menanyakan hal itu) Nabi SAW kemudian menjawab:”Ya, (pergilah) dan petik buah kurma kamu, agar kamu bisa bersedekah atau berbuat baik (kepada) orang lain. (HR. Muslim)

Allah SWT. dalam beberapa ayat Al-Qur’an mewajibkan untuk bekerja dan berlaku bagi manusia baik dia laki-laki maupun perempuan, diantaranya sbb:
Surat al-jumu’ah ayat 10 :
“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk mencari penghidupan (ma’isyah) dan bersamaan dengan perintah melaksanakan shalat. Ayat ini bahkan menyuruh seseorang untuk bertebaran mencari rizki di seluruh muka bumi. Dengan cara ini seseorang akan dimudahkan jalan rezekinya ketimbang hanya berdiam diri dikampung halaman baik laki-laki maupun perempuan. Rasulullah SAW. menganjurkan setiap orang baik laki-laki maupun perempuan untuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Al-Maududi berpendapat bahwa perempuan boleh keluar rumah jika ada keperluan dengan tetap memperhatikan adaf kesopanan dan nilai-nilai syari’at Islam. Timbul pertanyaan, sesungguhnya hak siapa yang melarang perempuan itu keluar rumah? Dalam hal ini yang berhak adalah suami, jika perempuan belum mempunyai suami maka yang berhak adalah orang tuanya. Untuk itu perempuan keluar rumah atau tidak sangat tergantung pada suami atau orang tuanya. Pada dasarnya tidak ada yang berhak melarang seseorang apalagi perempuan untuk bekerja atau mengerjakan apa saja diluar rumah. Para ulama membedakan hukum perempuan bekerja yang dapat mengurangi hak suami, kebanyakan ulama menyatakan hal tersebut tidak ada masalah selama tidak ada yang keberatan antara suami dan isteri atau tidak mengurangi hak suami. Fuqaha’ mazhab Hanafi menyatakan bahwa dalam hal boleh atau tidaknya perempuan bekerja diluar rumah adalah harus dilihat dari ada atau tidak adanya hak suami yang dikurangi oleh isteri (perempuan).
Akan tetapi ada beberapa ibarat dan Hadist Rasulullah SAW. yang mengisyaratkan tentang permasalahan ini. Dalam sebuah ibarat kitab fiqhul Islam Imam Syeh. Dr. Wahbatul Zuhaili menyatakan sbb:
“apakah boleh seorang perempuan melakukan perjalanan untuk melaksanakan haji sunnah atau ziarah atau dagang atau seumpama keduanya (seperti bekerja) bersama beberapa orang perempuan yang terpercaya atau seorang perempuan yang terpercaya. Dalam hal ini ada 2 (dua) pendapat dan kedua pendapat tersebut dinukil oleh Syekh Abu Hamid, Mawardi, al-Muhamily dan lainnya dari ashhab ( ulama-ulama pendukung Syafi’i) yang dibicarakan pada bab Al-Ihshor dan kedua pendapat tersebut dinukil oleh Qadhi Husen dan Al-Bugawy dan Ar-Rofi’I dan dari yang lainnya dari mereka yang pertama: boleh, karena perjalanan tersebut bukan wajib. Pendapat yang kedua dan ini yang shahih dan sesuai dengan ijma’ ulama adalah tidak boleh karena perjalanan tersebut tidak wajib”.

Pada ibarat tersebut diatas ditekankan pada adanya perjalanan, akan tetapi ada isyarat disini pada lafaz “wanahwihima” yaitu seumpama, maksudnya adalah ziarah dan tijarah (bisnis). Hal ini mengisyaratkan tentang adanya aktivitas tijarah (bisnis). Mengacu pada ibarat yang tersebut, maka ada 2 (dua) pendapat ulama dalam hal ini, yaitu :
1. Menurut syekh Abu Hamid, Mawardi dan ulama-ulama lain yang merupakan ulama pendukung mazhab Syafi’i menyatakan boleh hukumnya perempuan melakukan perjalanan dan bisnis serta hukumnya seumpama mengerjakan ibadah haji.
2. Ada kesepakatan para ulama yang dikemukakan dalam kitab ‘Um bahwa tidak boleh perempuan musafir, ziarah atau bekerja karena perjalanan tersebut bukan merupakan perjalanan wajib.
Dalam hal ini boleh saja perempuan bekerja dan ada pula yang menyatakan tidak boleh, Akan tetapi tidak boleh ini bisa gugur apabila ada mahram yang menyertainya. Islam bukan berarti menghalangi perempuan untuk bekerja, malah perempuan diperbolehkan bekerja diluar rumah dengan izin dari suaminya dan perbuatan ini tidak dikatagorikan sebagai perbuatan nusyuz. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya Fiqhul Islam wa ‘adillatuhu sebagaimana ibarat dalam kitab tersebut sbb:
“iza ‘amilat azzaujatu nahaaran au lailan kharijal manzil khattabibati,”
Hal ini juga terdapat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Mesir, bahwa isteri yang bekerja sebagai dokter atau perawat atau lainnya maka hal itu boleh dan bukan termasuk nusyuz dan apalagi ditambah dengan adanya kewajiban nafkah yang melekat padanya. Hal ini juga tidak menyebabkan gugurya hak nafkah untuknya dari suami, dengan catatan bahwa dalam perjalanan ada jaminan keselamatan dari segala fitnah dan hal-hal yang akan merugikan atau mengurangi kehormatannya. Untuk itulah diperlukan adanya mahram yang bisa menjamin hal-hal tersebut. Menurut Yusuf Qardhawi jika kondisi aman, maka baik diperjalanan atau ditempat tujuan, maka hukum perempuan melakukan perjalanan atau bekerja adalah sama dengan melakukan ibadah haji.
Tujuan dari adanya mahram ini tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menjaga kehormatan dan nama baik perempuan, mehindarkannya dari niat jahat orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan menghindari fitnah. Jika tujuan adanya mahram adalah sebagaimana tersebut, maka tentu pada saat ini fungsinya semakin kompleks, tidak hanya dilihat dari siapa yang menyertai kepergian itu, akan tetapi esensinya adalah bagaimana memberikan perlindungan kepada perempuan agar terhindar dari fitnah dan hal-hal yang dapat mengurangi kehormatannya. Bentuk mahram tersebut bukan hanya manusia baik laki-laki maupun perempuan, akan tetapi bisa saja berbentuk aturan-aturan atau perundangan-undangan yang menjamin keselamatan perempuan atau siapa saja.
Ada beberapa hadist dari Rasulullah SAW. yang melarang perempuan keluar rumah untuk bekerja tampa adaya mahram yang mendampingi, yaitu :
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra sbb:
عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لاتسافر امرأة ثلاثا الا ومعها محرم { رواه البخارى ومسلم}وفى رواية مسلم :لا يحل للإمرأة تؤمن بالله واليوم الأخرأنتسافر مسيرة ثلاث ليال الا ومعها ذو محرم
“Diriwayatkan dari Ibn Umar bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:”tidak boleh tiga orang perempuan melakukan perjalanan kecuali bersamanya mahramnya”(HR. Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat Muslim :”tidak boleh bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan seukuran 3 (tiga) malam”.

Hadist yang diriwayatka oleh Ibn Said sbb:
وعن ابن سعيد عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : لا تسافر امرأة يومين الا ومعها زوجها أو ذو محرم {رواه البخارى ومسلم }
“Dari Abi Said dari Nabi SAW beliau bersabda:”tidak boleh seorang perempuan melakukan perjalanan selama dua hari kecuali besertanya suaminya atau mempunyai mahram”.(HR. Bukhari dan Muslim)

Melihat dari penjelasan hadist diatas bahwa sesungguhya perempuan bukan tidak boleh melakukan perjalanan ataupun bekerja diluar rumah, boleh saja dengan catatan ada bersamanya mahram (terjamin keamanan dan keselamatan jiwanya).
Melihat beberapa konteks hadist tersebut diatas maka perempuan dilarang bepergian tampa ditemani oleh muhrimnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Imam al-Kofal dalam mengomentari hadist tersebut sbb:
قال القفال : تحريم سفر المرأة من غير محرم وهو مطلق فى قليل السفر وكثيرة
“seorang perempuan dilarang melakukan perjalanan kecuali bersama mahramnya baik itu perjalanan yang sebentar ataupun waktu yang cukup lama.
Namun demikian ada beberapa hal yang menjadi perhatian para ulama dalam permasalahan ini ada yang mendukung perempuan kerja keluar rumah dan ada yang tidak membolehkannya dengan catatan juga.
Ada beberapa pendapat ulama fiqh dalam masalah ini, diantaranya yaitu:
1) Perempuan yang dalam kondisi ekonomi yang lemah atau kebutuhan yang mendesak diperbolehkan keluar rumah. Perempuan yang tidak bisa mencukupi nafkahnya sendiri maka boleh baginya melakukan perjalanan/kerja kapan saja dia mau walaupn tampa suami ataupun mahram. Hal senada juga dikemukakan oleh Ibrahim Al-Bagawi bahwa perempuan dibolehkan keluar rumah dalam keadaan yang mendesak.
“Allah mengijinkan perempuan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya”. Alasan beliau bahwa Saodah binti Zama’ah pernah keluar rumah untuk suatu keperluan yang kemudian ditegur oleh Umar Ibnu Khattab karena ia tidak segera sembunyi dari penglihatan Umar Ibn Khattab. Atas pristiwa ini Aisyah kemudian mengadu kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW bersabda :”Bahwa Allah memperbolehkan perempuan pergi keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya”. Lanjut menurut Ibnu Katsir :”berangkat ke masjid untuk melaksanakan shalat adalah hajat sehingga isteri boleh keluar rumah.
2). Seorang perempuan boleh melakukan perjalanan atau keluar rumah untuk bekerja dengan tujuan keselamatan dirinya atau ada kekhawatiran atas keselamatan jiwanya, menuntut ilmu ataupun untuk keperluan lainnya selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam maka hal ini tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan nusyuz.
و العلماء تفصل فى ذلك قالوا : ويجوز سفر المرأة وحدها فى الهجرة من دار الحرب والمخا فة على نفسها لتضاء الدين ورد الود يعة والرجوع من النشوز
Dalam ibarat tersebut dijelaskan ada beberapa perbuatan perempuan keluar rumah yang tidak dihukum haram padanya, diantaranya perempuan melakukan perjalanan atau keluar rumah dengan alasan untuk keselamatan diri dan jiwa asalkan melakukan perbuatan yang tidak bertentangan dengan syari’at dll.
3). Dalam kondisi darurat perempuan diperbolehkan keluar rumah, misalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini dikemukakan oleh Imam Al-Qurtuby :”jika tidak dalam kondisi darurat, maka hokum perempuan keluar rumah kembali pada hokum asal pada waktu-waktu normal, yaitu tidak boleh keluar rumah tampa adanya muhrim”.
Secara umum tidak ada kita temukan dalam literature fiqh yang melarang perempuan untuk bekerja, selama ada jaminan keamanan dan keselmatan. Ulama hanya berbeda pendapat mengenai perempuan yang sudah mempunyai suami yang dengan bekerja tersebut dapat mengurangi hak suami.
Ulama membedakan antara pekerjaan seorang perempuan (isteri) yang dapat mengurangi hak suami atau keadaan darurat dan kedua perempuan yang bekerja diluar rumah pada pekerjaan yang tidak mengandung resiko. Pada masalah yang pertama yaitu yang mengurangi hak suami para ulama melarang perempuan untuk keluar sendiri dalam rangka mencari pekerjaan. Dalam pandangan ulama fiqh, suami juga tidak berhak sama sekali untuk melarang isteri bekerja mencari nafkah, apabila nyata suami tidak bisa bekerja mencari nafkah dengan alasan sakit, miskin atau karena alasan yang lainnya. (fatwa Ibnu Hajar, juz IV, hal 205 dan Al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, hal : 573). Lebih tegas dalam fiqh Hambali, seorang suami yang pada awalnya sudah mengetahui calon isterinya sebagai pekerja yang setelah perkawinan juga akan tetap bekerja diluar rumah, suami tidak boleh kemudian melarang isterinya bekerja dengan alasan apapun. (lihat Fiqh al-Islam wa adillatuhu, juz, VII, hal 795).
Dalam kasus yang kedua yaitu jika dalam kondisi darurat, maka para ulama membolehkannya. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ibn Abidin sbb:
و الذى ينبغى تحريره أن يكون منعها من كل عمل يؤدى الى تنقص حقه, أوضرورة أو الى خروجها من بيته. أما العمل الذى لا ضرر فيه فلا وجه طنعها. وكذالك ليس له منعها من الخروج إذاكانت تجرقعملا هو من فروض الكفاية الخاصة بالمرأة مثل طلب العلم.
Melihat pada kausa hukum atau illat ajaran agama bahwa yang dimaksudkan oleh ketentuan tentang muhrim ini adalah adanya garansi atau jaminan keselamatan atas perempuan saat dimana perempuan tersebut dalam kondisi lemah, baik lemah fisik, psikis ataupun ekonomi. Hal senada juga dikemukakan oleh Iman Al-Qulyuby menyatakan bahwa :”kepergian perempuan bersamaan dengan perempuan lain yang terpercaya adalah boleh dengan kata lain mahram laki-laki sudah tidak dibutuhkan lagi ketika perempuan bepergian secara berjama’ah sebab dalam kondisi bersama-sama akan terjamin keselamatan jiwa dan raga serta hartanya”.
Musafir menurut mazhab Maliki, perempuan musafir dengan ijin suami, maka tidak gugur kewajiban suami ini untuk menafkahi. Ibnu taimyah kalau keluar perempuan, maka yang dipentingkan adalah keamanannya. Bahkan menurut Yusuf al-Qardawi, bahwa boleh perempuan keluar rumah untuk bekerja yang penting ada jaminan keamanan dan keselamatan jiwa dan dirinya.

Bagaimana TKI illegal?
Bekerja bisa saja hukumnya adalah sunnah, makruh dan bisa juga jatuhnya haram. Dalam hal bekerja diluar negeri yang membutuhkan berbagai perlengkapan dokumen sebagai syarat utama. Untuk itu jika tidak memiliki, maka mereka haram untuk pergi bekerja karena tidak ada jaminan keselamtan yang diberikan oleh Negara. Mereka sudah melanggar ketentuan yang dibuat oleh pemerintah, maka jika tidak taat kepada pemerintah yang sah, itu berdosa dan haram hukumnya.
Hal ini berdasrkan pada firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59 sbb:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Dalam ayat tersebut Allah SWT mewajibkan kepada kita sebagai umat Islam untuk taat kepada Allah, Rasul dan pemerintah yang sah.

Baca Selengkapnya ...

Poligami Dalam Islam

Poligami Dalam Islam

Al-Qur’an membicarakan poligami dalam Surat an-Nisa ayat 3. Sekurangnya ada tiga hal yang dijelaskan dalam surat ini. Pertama, berbicara tentang kondisi yang melatarbelakangi pengaturan, syarat adil dan batas maksimal isteri sampai empat orang. Kedua mengatur tentang larangan mengambil harta yang telah diberikan kepada isteri untuk biaya poligami. Betapun banyaknya harta itu. Ketiga, tentang beratnya atau hampir tidak mungkinnya seorang suami bisa berlaku adil terhadap isteri-isterinya jika ia berpoligami.

“Dan jika kamu takut tidak bisa berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu sukai, dua, tiga atau empat, tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat supaya kamu tidak berbuat aniaya.

Ayat ini adalah satu-satunya ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang poligami. Ayat tersebut jelas bersemangat monogami dan tidak menganjurkan muslim berpoligami. Ayat ini hanya memberi izin, itupun dengan syarat yang sangat ketat. Celakanya, ayat ini sering dijadikan landasan untuk mengatakan Islam merupakan agama wahyu satu-satunya yang membolehkan poligami.

Surat an-Nisa’ ayat 3 ini juga menghubungkan pengaturan tentang poligami dengan ketidakadilan yang diterima anak yatim. Pemahaman terhadap ayat ini bisa dilakukan dengan melihat latar belakang turunnya ayat tersebut. Ayat ini turun pada tahun ke 4 Hijriah. Saat itu umat Islam baru saja mengalami kekalahan terbesar dalam perang Uhud yang menelan korban 70 orang pria dewasa sebagai syuhada. Jumlah ini sangat besar untuk ukuran umat Islam pada waktu itu yang jumlah laki-lakinya lebih kurang 700 orang. Dengan gugurnya 10% laki-laki Muslim itu, maka banyak perempuan yang menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim. Keluarga banyak yang kehilangan penopang ekonomi keluarga.

Ketika terjadi krisis sosial akibat banyaknya sahabat yang gugur di medan perang itu, Nabi sebagai kepala negara harus menjamin kesejahteraan umatnya. Pada waktu itu kas negara terbatas, maka nabi menganjurkan kaum muslim yang memiliki kemampuan secara mental dan material untuk menanggulangi krisis dengan melakukan poligami. Ini artinya waktu itu poligami berfungsi sebagai katup pengaman sosial. Merujuk hal ini, poligami yang dilakukan tidak berdasarkan darurat sosial jelas terlarang.

Syekh Wahbah Mustafa menegaskan poligami pada dasarnya boleh. Tetapi karena berlaku adil terhadap lebih dari satu isteri itu teramat sulit, maka islam lebih menekankan monogami.
“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara perempuan-perempuan (isteri-isterimu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka janganlah kamu terlalu cenderung (perempuan yang engkau cintai) sehingga engkau biarkan (perempuan yang lain) seperti tergantung (terlupakan). Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari sebab-sebab perselisihan) maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Jelaslah sudah, poligami itu adalah sejenis amal sosial. Bukan alat legitimasi untuk mengumbar syahwat. Poloigami tidak dibenarkan terjadi dalam situasi yang normal. Perlu diingat, dalam kondisi darurat sosial saja poligami menekankan persyaratan yang ketat, apalagi kalau kondisinya normal-normal saja.

Poligami Rasulullah SAW
Bagian adari kehidupan Rasulullah yang paling sering disalahpahami dan dijadikan alat membenarkan poligami adalah kehdupan rumah tangga beliau yang terdiri dari belasan istri. Tidak banyak orang yang mau jujur bahwa 2/3 dari masa perkawinan beliau berjalan dengan monogami. Bukan poligami. Rasulullah menikah pada umur 25 tahun dengan Khadijah Binti Khuwailid, seorang janda berumur 40 tahun. Khadijah menjadi isteri rasul selama 25 tahun. 15 tahun sebelum kenabian dan 10 tahun sesudah kenabian. Sepeninggal Khadijah, rasul hidup sendiri hingga beberapa tahun. Baru kemudian beliu menikah dengan Siti Aisyah binti Abu Bakar, seorang gadis perawan anak dari sahabat utama beliau, Abu Bakar as-Shidiq.

Orang juga suka melupakan fakta, rasul baru melakukan poligami di usianya yang 53 tahun, tatkala baginda nabi menikahi Saudah binti Zami’ah, seorang janda korban perang. Semua istri beliau kemudian adalah janda perang. Harus dicatat pula, masa Rasulullah berpoligami bersamaan dengan masa jihad dan perjuangan membela Islam. Hal ini menunjukkan pernikahan beliau adalah darurat sosial untuk memberikan kepastian dan rasa aman kepada janda-janda korban perang. Banyak dari janda yang rasul nikahi berusia lanjut. Jauh lebih tua dibandingkan usia beliau.

Faktanya terang benderang, isteri rasul kebayakan adalah janda korban perang dan nabi berpoligami hanya 8 tahun saja dan 28 tahun ia berumah tangga sampai menjelang wafatnya. Sikap rasul tehadap poligami sendiri cukup tegas. Dikisahkan mislanya saat kondisi Madinah aman dan kondusif, rasul mengecam keinginan Ali yang hendak memadu Siti Fatimah, putri tunggal rasul.

Rasuls endiri mengakui poligami adalah pilihan berat karena harus bisa berlaku adil. Begitu beratnya, sampai Rasul sendiri berdoa secra khusus mohon ampun kepada Allah SWT karena merasa tidak mampu berlaku adil kepada semua isterinya. Do’a beliau ini sangat terkenal:

اللهم هذا قسمى فيما أملك فلا تلمنى فيما تملك ولا أملك {رواه الاربعة و, وصححه ابن حبان و الحاكم}

“Ya Allah, inilah pembagianku yang mampu aku lakukan menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencelaku tentang apa yang engaku mampu sedangkan aku tidak mampu”

Ada beberapa hikmah dari poligami yang Rasulullah lakukan.
1. Hikmah pensyari’atan: Poligami rasul menghapus tradisi jahiliyah yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung. Salah satu istri rasul adalah Zainab binti Jahsy, mantan isteri Zaid anak angkat Rasul.

2. Hikmah pengajaran: hal ini terlihat pada ummul mu’minin yang semuanya menjadi guru.

3. Hikmah sosial dan persaudaraan. Poligami rasul menguatkan dan mengeratkan hubungan sosial para sahabat. Siti Aisyah adalah putri kesayangan Abu Bakar, salah seorang sahabat utama nabi.

4. Hikmah politis. Poligami rasul melancarkan dakwah Islamiyah. Ini misalnya dilakukan nabi dengan menikahi Juwairiyah, putri Al-Harist pemimpin Bani Musthaliq dan Shafiyah, putri Huyyai bin akhthab. Buahnya permusuhan antara orang-orang Yahudi dengan Muslim dapat diredakan.

Syarat-syarat Poligami
Islam membolehkan poligami, tetapi memberikan syarat yang sangat ketat. Antara lain:
1. Kemampuan memberikan nafkah
Nafkah meliputi makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan segala kebutuhan dalam rumah tangga yang lazim digunakan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

ألا وحقهن عليكم ان تحسنوا اليهن فى نفقتهن وكسو تهن وطعا مهن ( رواه الترميذى وابن ماجه)
“Ketahuilah, hak mereka atas kalian adalah hendaklah kalian memberikan nafkah, pakaian dan makanan kepada mereka (isteri) secara layak (HR. Imam Turmudzi dan Ibn Majah)”
2. Harus bisa berlaku adil
Hal ini berdasarkan hadist dari Rasulullah SAW:

عن عا ئشة رضى الله عنها كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم بين نسا ئه ويعدل ويقول
: اللهم هذا قسمى فيما أملك فلا تلمنى فيما تملك ولا أملك {رواه الاربعةو, وصححه ابن حبان
و الحاكم}

“Dari Aisyah ra adalah Rasulullah SAW ……Ya Allah inilah pembagianku menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencelaku tentang apa yang Engkau berkuasa sedangkan aku tidak berkusa”(HR. Empat Imam Hadist, shahih ibn Hibban dan Hakim)

الحديث دليل على انه صلى الله عليه وسلم كان يقسم بين نسائه وتقدمت الإشارة الى أنه هل كان
واجبا أم لا. قيل كان القسم عليه صلى الله عليه وسلم غير واجب لقوله تعالى" ترجى من تشاء
منهن وتؤوى اليك من تشاء" الايه. قال بعض المفسرين انه اباح الله له أن يترك التسوية
القسم بين أزواجه حتى أنه ليؤخر من تشاء منهن عن نوبتها ويطأ من تشاء فى غير توبتها.
ان ذلك من خصانص النبى صلى الله عليه وسلم. وإذ ثبت ذلك أنه لايجب القسم عليه صلى
الله عليه وسلم فإنه كان يقسم بينهن من حسن عشرته وكمال حسن خلقه وتأليف قلوب نسائه.
Artinya : hadits ini adalah sebagai dasar Nabi saw membagi dengan adil dintara istri-istrinya dan telah ada penjelasan mengenai hal itu di depan apakah nabi wajib adil atau tidak? Ada yang berpendapat nabi tidak wajib adil pada istri-istrinya. Ini berdasarkan firman Allah " kau ( hai Muhammad ) boleh mengharap dari istri-istrimu dan boleh juga tidak”. Sebagian ulama tafsir berkata Allah memberikan khususiyah pada Nabi saw untuk tidak wajib memperlakukan istri-istrnya sama, bahkan beliau boleh melayani siapa yang ia inginkan dari mereka walaupun belum datang gilirannya. hal ini adalah khususiyah beliau. Jadi keadilan beliau itu bukan karena kewajiaban tetapi karena keluhuran budi pekertinya " .
Hal senada juga dijelaskan dalam kitab Subulussalam yang menukil hadist dari Imam Ahmad:

وعن أبى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم :من كانت له إمرئتان فمال إلى أحدا هما دون
الأ خرى جاء يوما القيامة وشقه ما ئل { رواه أحمد ولاربعة وسنده صحيح}

“Dari Abi Hurairah ra Rasulullah SAW bersabda :”barang siapa yang mempunyai isteri dua isteri kemudian lebih condong kepada salah satu isterinya maka pada hari kiamat nanti pundaknya sebelah kiri dalam keadaan miring”.(HR. Ahmad dan Empat Imam Hadist dan sanadnya shahih).

هذالحديث دليل على أنه يجب التسوية بين الزوجات على الزوج ويحرم عليه الميل على أحدهن.
Hadist ini menjadi dalil bahwa suami wajib meletakkan persamaan diantara isteri-isterinya dan haram atasnya untuk lebih condong kepada salah satu isterinya.

عن أنس رضى الله عنه قال: من السنة إذا تزوج الرجل البكر على الثيب إقام عندها سبعا ثم قسم, وإذا تزوج الثيب إقام عندها ثلاثا ثم قسم (متفق عليه واللفظ للبخارى)
االحديث دليل على اشارة الجديدة لمن كانت عنده زوجة, وقال ابن عبد البر : جمهور العلماء على أن
ذلك حق للمرأة بسبب الزفاف سواء أكانت عنده زوجة أم لا. واختاره النووى لكن الحديث دل على انه فيمن كانت عنده زوجة. وقد ذهب الى التفرقة بين البكر والثيب. بما ذكر الجمهور فظاهر الحديث أنه واجب وإنه حق لزوجة الجديده , وبه قال الا ئمة الثلاثة وقال ابو حنيفة ان الجديده لاتفضل فى القسم بل يستوى بينها وبين اللا تى عنده.

Artinya : termasuk dari sunnah apabila ia menikahi seorang gadis agar menemaninya selama tujuh hari kemudian baru dibagi. Sedangkan apabila menikahi seorang janda, maka ia menemaninya selama tiga hari kemudian dibagi". (HR. Bukhari Muslim) .

Hadits ini adalah sebagai isyarat bagi siapa saja yang menikah untuk hendaknya menemani istrinya yang baru, walaupun ia sudah memiliki istri . Ibn Abd Al-Bar berkata " menurut jumhur ulama, hal itu adalah hak istri yang baru karena masa pengantinan. Baik suami punya istri atau tidak. Mengenai soal beda antara gadis dan janda ini, pendapat imam yang tiga (Malik, Syafi'I dan Ahmad), sedangkan imam Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak ada beda antara istri yang gadis dengan yang janda dan juga istri-istrinya yang lain.

Adil yang dimaksudkan dalam surat an-Nisa’ ayat 3 adalah adil dari segi nafkah dan pembagian waktu, sedangkan adil yang dimaksdukan pada surat an_nisa’ ayat 129 adalah adil dalam kasih sayang. Termasuk juga adil dalam bercakap-cakap dan bersenang-senang ketika jimak (hubungan suami isteri). Menurut Ibnu Jarir, keadilan menjadi syarat mutlak dalam berpoligami. Ada pesan dibalik syarat keadilan ini untuk laki-laki berusaha memperkecil jumlah isteri agar tidak berbuat zalim kepada isteri dan anak-anaknya.

Baca Selengkapnya ...

HAM



Info:

Akhir bulan Mei 2009 kemarin kami LBH APIK NTB mengadakan workshop HAM yang diikuti oleh 27 orang peserta terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, tokoh budaya, tokoh masyarakat dan NGO yang ada di NTB. workshop ini sendiri mengangkat tema : "menyamakan persepsi membulatkan tekad dan aksi".
mengahadirkan fasiliattor dari HRWG Jakarta yaitu : mas Chaerul Anam dan panitia Surya looo.....
workshop HAM 2009 ini bertujuan untuk membentuk jaringan perlindungan HAM di NTB yang khsusus untuk pembelaan HAM perempuan dan anak di NTB yang masih banyak dilanggar dan bahkan banyak sekali masih menjadi korban.
tahun 2009 ini LBH APIK NTB memang sengaja banyak berhubungan dengan tokoh adat, karena selama ini memang mereka belum terlalu banyak disentuh dalam rangka pembelaan HAM ini. apalagi di Lombok, ada adat selarian yang memungkinkan siapa saja bisa melarikan gadis dan tidak akan di tuntut sebagai penculikan, apakah segampang itu selarian? bagaimana sebenarnya mekanisme yang benar?. Untuk itu masyarakat harus diberikan informasi bagaiamana sebenarnya selarian itu agar tidak melanggar adat dan terutama hukum yang berlaku di Indonesia.

Baca Selengkapnya ...

Kepemimpinan Perempuan

Label: ,

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

Makna kepemimpinan
Dalam bahasa Arab kepemimpinan disebut “أَلْخِلافَة” atau disebut juga “امَارَةُ المؤمِنِيْنَ” semua sebutan tersebut menunjukkan pada suatu jabatan public yaitu jabatan tertinggi dalam politik atau pemerintahan. Dalam hal ini para ulama mendivinisikan mengenai kepemimpinan ini dalam beberapa persi, dianataranya sbb:
Menurut al-Taftajani khilafah adalah jabatan pimpinan umum yang mengatur urusan agama dan yang mengatur hal –hal yang berhubungan dengan kehidupan dunia, sebagai pengganti dari Nabi Muhammad SAW. Al-Mawardi mengatakan bahwa imamah (kepemimpinan) adalah suatu ucapan yang dihantar untuk jabatan pengganti kenabian dalam memelihara agama dan mengatur urusan agama. Sementara Ibnu Khaldum mengatakan bahwa khilafah adalah orang yang mengemban tanggungjawab orang banyak sesuai dengan ketentuan syara’ (agama) untuk kemaslahatan akhirat mereka atau kemaslahatan dunia yang kembali pada kemaslahatan akhirat.
قال العلماء الراعى هنا هو الحافظ المؤ تمن, الملتزم صلاح ماقام به وماهو تحت نظره
“Menurut ulama raa’i bahwa pemimpin adalah orang yang mampu memelihara amanah, selalu menciptakan prdamaian dan dibawah perhatiannya”.

Hukum Mengangkat Pemimpin
Menurut pendapat ahli sunnah, murji’ah, syi’ah dan mu’tazilah bahwa mengangkat pemimpin adalah hukumnya wajib dan umat wajib patuh terhadap pemimpin yang adil yang menjalankan hokum selama tidak menyuruh terhadap hal-hal yang melanggar perintah Allah SWT.
Dasar hokum yang dikemukakan oleh mereka adalah sbb:
A. Dalil syara’, yaitu ijma’ shahabat yatitu kesepkatan para shanata dan generasi sesudahnya bahwa wajib mengangkat pemimpin, karena waktu pada saat Rasulullah wafat dan sebelum dimakamkan para shabat berkumpul di rumah Sakifah bani Sa’idah untuk melantik Abu Bakar setelah sebelumnya bermusyawarah dengan pemuka-pemuka dari kaum muhajirin dan kaum anshor menyetujuai pengangkatan Abu Bakar tersebut sebagai khalifah yang pertamagenerasi
Menurut Al-Iji dalam kitab Al-Mawakif menyebutkan bahwa kesepakatan kaum muslimin pada generasi awal setelah Rasulullah wafat adalah tidak boleh trjadi kekosongan kepeimpinan. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang dikemukana oleh Abu Bakar dalam khotbahnya ketika Rasulullah wafat, sbb:
“ingatlah bahwa Nabi Muhammad SAW telah wafat, maka haruslah agama ini ada yang memimpinnya”. Maka para shahabat segera menerima perkataanya dan menangguhnkan urusan yang paling penting saat itu, yaitu memakamkan Rasulullah SAW.
B. dalil aqli
pada dasarnya bermasyarakat sudah merupakan tabiat manusia sebagai mahluk social. Hal ini memungkinkan terjadinya perselisihan, permusuhan karena manusia memiliki sifat mencintai dan sekaligus tamak terhadap sesuatu. Menurut Al-Mawardi bahwa wajib mengangkat pemimpin dari segi aqal karena tabiat manusia menyerahkan urusan tersebut kepada orang yang bisa mengatasi kezaliman dan mengatasi perselisihan antara manusia.
Islam memandang bahwa mengangkat pemimpin adalah hal yang sangat penting, hal ini ditandai dengan adanya perintah Allah untuk taat kepada pimpinan. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Ada beberapa sabda Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk mengangkat pimpinan dalam suatu kaum,
من ما ت وليس فى عنقه بيعت ما ت ميتة جاهلية
“Barang siapa meninggal sedang tidak membai’at (melantik seorang pemimpin) maka ia meninggal seperti orang yang mati pada masa jahiliah”.

إذا خرج ثلاثة فى سفر فليؤمروأحدهم
“apabila pergi musyafir 3 (tiga) orang maka hendaklah mengangkat seorang pemimpin diantara mereka”

ان أحب النا س الى الله يوم القيا مة وأردناهم منه مجلسا إمام عادل وابغض النا س إلى الله وابعدهم منه مجلسا امام جائز
“Sesungguhnya orang yang paling dicintai Allah dan yang paling dekat tempat dari padanya adalah imam (pemimpin) yang adil dan orang yang paling dimurkai dan yang paling jauh tempat diantara mereka adalah pemimpin yang dhalim”.

لا يحل لثلاثة يكون فى فلاة من الأرض الا امروا عليهم احدهم
“tidak halal bagi 3 (tiga) orang yang berada ditanah lapang dari permukaan bumi kecuali mengagkat seoarng menjadi pemimpin diantara mereka”.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa setiap manusia tidak akan sepurna kemaslahatnnya baik yang berhububungan dengan urusan dunia dan akhirat kecuali dengan bermasyarakat dan tolong menolong dalam mencapai segala mampaat hidup, saling membantu dalam segala yang membahayakan hidup mereka dan semua maksud tersebut akan dapat tercapai apabila mentaati kepada yang menyuruh dan melarang maksud tersebut. Untuk itu diharuskan kepada manusia untuk taat kepada yang menyuruh dan melarangnya.
Imam al-Gazali berkata dunia dan keamanan terhadap diri dan harta tidak akan teratur kecuali dengan peguasa yang ditaati. Hal ini dapat dibuktikan pada saat terjadinya fitnah dengan meninggalnya penguasa-penguasa atau imam-imam. Apabila hal ini dibiarkan begitu saja tampa engangkat seorang pemimpin yang ditaati maka akan terjadi kekacauan dan pertumpahan darah.

Pemimpin Perempuan
Firman Allah dalam al-Qur’an surat berfirman :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.

Secara historis ayat ini turun disebabkan oleh adanya seorang yang menampar istrinya, kemudian istrinya mengadukan hal tersebut kepada Nabi, dan Nabi memberikan keputusan agar diberikan Qishah, maka turunlah ayat di atas, sehingga Nabi menarik kembali keputusannya, dengan demikian laki-laki itu tidak di-qishah (menampar). Menurut Qurai Syihab banyak ulama yang memahami kalimat “ألرجال” dalam arti para suami karena konsideran pernyataan diatas seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka para suami telah menafkahkan sebagian dari harta yakni isteri-isteri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata laki-laki adalah pria secara umum maka tentu konsiderannya tidak demikian. Ayat inilah yang sering kali dijadikan sebagai landasan untuk membenarkan hak otoritas kepada kaum laki untuk berkuasa, baik dalam rumah tangga maupun lainnya. Hal ini disebabkan oleh redaksi ayat yang menggunakan kata “قوامون_ على ”, (menggunakan huruf jar ‘ala) yang disamakan maknanya dengan kata “قوامون_ ب ” (menggunakan huruf jar bi (ba’). Yang pertama dapat berarti mendukung dan membantu (to support), sedangkan yang kedua berarti “menangani” atau “mengurus” (undertike). Dengan demikian, semestinya diterjemahkan “membantu”, “mendukung” bukan “menangani”. Akan tetapi dalam kamus bahasa Arab, seperti al-Munjid (Lois Ma’luf), al-Munawwir dan Lisan al-Arab ditemukan bahwa kata ”قوامون “ merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata “ قوام ” yang berati “orang-orang yang bertanggung jawab” (al-Mutakallafun bi al-Amri), baik diikuti oleh “Ala” dan “Ba’” sesuai dengan ungkapan berikut:
{"قوم بأمرها وما تحتاج إليه وقام بأمر كذا و قام الرجل على المرأة مائنها وإنه لقوام عليها مائن لها"}
“Dia (laki) telah melaksanakan (bertanggung jawab) terhadap tugasnya (perempuan) dan hal yang dibutuhkan, demikian juga ia telah melaksanakan tugas demikian… dan seorang laki bertanggung jawab atas istrinya yaitu menyediakan sandang pangan dan sesungguhnya ia benar-benar bertanggung jawab terhadapnya, yaitu menyediakan sandang pangan”

Masih dalam konteks ayat di atas, sebagian mufassir, al-Bagawi misalnya, secara tegas mengklaim bahwa kemimpinan laki-laki atas perempuan itu ditegakkan, baik dalam persoalan perintah maupun larangan. Lebih ekstrim lagi adalah pandangan Abu Su’ud yang menegaskan – dikutip Muhammad Ali Ash-Shabuniy - dalam menafsirkan ayat di atas, bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin baik dalam sekala besar maupun kecil.
Penafsiran literaristik tadi jelas menunjukkan suatu wajah diskriminasi atas hak-hak kemanusian universal. Artinya sebuah penafsiran yang telah meletakkan superioritas kaum laki-laki atas perempuan, selain al-Qur’an mengajukan hadits yang memposisikan perempuan pada posisi inperior, yaitu hadis berikut:
{لن يفلح قوم ولّو أمرهم امرأة}
“Tidaklah akan berjaya suatu kaum (bangsa) yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum perempuan”
Masih dalam menafsirkan hadits tersebut, Ibnu Kasir, secara jelas mengatakan bahwa; hak kepemimipinan, sebagai hakim dan penguasa harus berada di kalangan laki-laki. Dengan kata lain bahwa jabatan yang disebut tadi tidak boleh dipegang oleh kaum perempuan. Adalah jelas bahwa kedua argumentasi di atas menurut pandangan penafsir yang terpengaruh bias gender sering menjadikannya sebagai alasan mendelegetimasi perempuan dalam konteks kepemimpinan (mengambil peran sebagai pemimpin), baik politik maupun otoritas keagamaan. Yang menarik adalah pandangan Qurais Shihab yang secara jelas melihat hadist di atas sebagai hadist dhaif, yang dibuat oleh mereka yang masih terpengaruh dengan pandangan miring terhadap perempuan, karena penafsiran mereka yang keliru. Adanya beberapa pandangan dan penafsiran di atas, telah menjadi legetimasi teologis bagi pembenaran hak-hak hegemonik kaum laki-laki atas kaum perempuan, menjadi daya tarik tersendiri untuk dilakukan studi lanjutan, terutama dalam masalah kemimpinan intlektualitas Islam atau hak perempuan sebagai penafsir doktrin Islam.
Adalah sebuah pengakuan yang sulit dibantah bahwa umat Islam menyakini al-Qur’an dan al-Hadist menjadi sumber otoritatif Islam, dan menurut umat Islam, bahwa kedua sumber tersebut -sebagaimana yang diyakini-adalah bersumber dari wahyu. Sebagai sumber ajaran Islam, al-Qur’an tidak pernah membuat defrensia yang meletakkan hegemonik kaum laki-laki atas kaum perempuan, bahkan al-Qur’an memandang manusia – secara umum - dan kemanusiaan adalah simbol keberpihakan al-Qur’an terhadap manusia sebagai makhluk Allah. Keberpihakan al-Qur’an di atas prinsip-prinsip kesederajatan tampak secara nyata disuarakan sendiri:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Pada lain ayat disebutkan:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."

Selain ayat di atas, Allah juga menegaskan sifat ke-taqwa-an seorang dan karya yang baik dalam kehidupannya adalah menjadi ukuran kemuliaan dan predikat terbaiknya, tanpa membedakan jenis kelamin, sehingga posisi laki-laki dan perempuan adalah sama dalam berkarya positif baik bagi dirinya, masyarakat, dan lingkungannya. Perhatikan ayat berikut:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Dan ungkapan ayat lain dalam al-Qur’an seperti ayat:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
Kedua ayat di atas (Surat al-Isra’ ayat 70 dan Ali Imran ayat 193) - disamping ayat lainnya- secara gamblang dan jelas menunjukkan sikap kritis yang berusaha mengikis habis segala bentuk difrensia dan diskriminasi atas nilai-nilai kemanusiaan (bukan atas dimensi biologis atau jenis kelamin). Karena tidak mengakui perbedaan jenis kelamin adalah tidak masuk akal, maka usaha-usaha memojokkan kaum wanita dalam aktvitas kemanusiaan, termasuk kereatifitas intelektual sangat tidak dibenarkan. Dengan demikian sampai disini jelas al-Qur’an maupun al-Hadist telah meletakkan kaum perempuan maupun laki-laki dalam suatu ruang kesederajatan (equlity sphare), yaitu sebuah kesederajatan kemanusiaan yang merefleksikan manusia sebagai Khalifah Allah (Vicegerent Of God).
Dalam konteks sebagai Khalifah Allah , kaum perempuan pun berhak memegang dan memainkan peran penting dalam melakukan kegiatan keagamaan serta melakukan reformasi dan rekonstruksi prilaku dunia Muslim, termasuk di dalamnya peran-peran sosial-keagamaan. Usaha transformasi, reformasi dan rekonstruksi teologi yang dilakukan perempuan muslim akhir-akhir ini semakin menampakkan diri, dan secara lebih jauh adalah melakukan tafsir baru (re-interpretasi) atas al- Quran. Sebagai contoh adalah munculnya nama-nama seperti: Amina Wadud Muhsin. Ia bahkan secara terang-terangan mengeritik dokterin syari’ah historis yang secara berlebihan telah memposisikan kaum laki-laki secara hegemonic, sehingga pada akhirnya laki-laki telah memonopoli dan mendominasi kekuasaan politik dan otoritas penafsiran atas agama.
Kesadaran intelektualitas dan spiritualitas kaum perempuan atas peran hegemonik kaum laki-laki inilah ternyata melahirkan sikap kritis mereka, termasuk untuk menyatakan hak untuk melakukan tafsir atas dokterin islam, seperti yang dilakukan oleh: Asma’ Syarif Beatrix, Amina Wadud Muhsin, Rifaat Hasan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kemunculan kaum perempuan dalam mengambil hak atas reinterpretasi doktrin Islam jelas menjadi simbul atas kesederajatan intlektual dan spritualitas kaum perempuan dan kaum laki-lak. Maka cukup beralasan bila Mahmud Muhammad Toha secara tegas menolak segala bentuk pemisahan laki-laki dan perempuan (tentu saja tidak dalam bentuk jenis kelamin). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa munculnya terminlogi pemisahan laki-laki dan perempuan dalam pengertian bahwa laki-laki memiliki hak otoritatif tunggal untuk menfsirkan agama jelas berangkat dari usaha-usaha para penafsir Islam (dokterin Islam), seperti para mufassir, fuqaha’ klasik.
Fakta-fakta di atas dapat dijadikan alasan untuk mengatakan, bahwa kaum perempuan juga memiliki hak dan kemampuan intlektual dalam memahami dan melakukan interprestasi atas ajaran Islam, dan sekaligus mengukuhkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah Khalifah Allah yang, memiliki tanggung jawab dan hak intlektualitas, yang pada gilirannya disebut sebagai pemegang otoritas keagamaan atau ulama’ perempuan yang selama ini diklaim sebagai pemilik hak kaum laki-laki. Kemampuan kaum perempuan sebagai penafsir doktrin Islam adalah bagian dari realitas kemurahan Tuhan atas hamba-Nya dan sebagaimana ditunjukkan pula oleh sejarah.
Ada beberapa persayaratan untuk menjadi seorang khalifah (pemimpin) dan sayarat-syarat yang dikemukakan oleh para ulama tidak satupun yang menyatakan ada persyaratan jenis kelamin.
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili dalam fiqh al-Islam menyebutkan beberapa persayaratan untuk menjadi pimpinan tertinggi, yaitu:
1. Mempunyai sifat terpercaya
2. terpelihara dan wara’ (terhindar dari hal-hal yang subhat) sert ihlas;
3. memberikan motifasi yang baik terhadap orang-orang muslim.
Menurut Syekh Muhammad Izzah Darwarah menyatakan sebagaimana yang terdapat dalam kitab Nizam al-Hukmi fi as-Syari’ah al-Islamiyah wa at-Tarikh Al-Islam Zafir Al-Qasimi sbb :”jika perempuan pada masa-masa pertama Islam tidak ikut serta dalam urusan-urusan Negara secara luas, karena alasannya adalah tabi’at kehidupan social saat itu, dan itu bukan berarti menonaktifkan hukum-hukum al-Qur’an, sebab kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya adalah sumber syari’at dan hukum-hukum Islam disetiap masa dan tempat.
Secara lebih jauh disebutkan dalam kitab tersebut bahwa para fuqaha’ tidak menemukan satu nashpun dalam al-Qur’an yang mencegah perempuan untuk memegang tongkat kewenangan besar. Oleh karenanya mereka mencari-cari dalil dalam sunnah, sementara semua petunjuk nash tentang tema kepemimpinan besar. Orang yang meneliti hadist yang dijadikan sebagai dalil yang tidak memberikan hak kepada perempuan untuk menjadi pimpinan politik, pasti menemukan bahwa hadist-hadist tersebut diriwayatkan secara perorangan (hadist ahad) yang masih dzanny yang tidak bisa mengalahkan dalil yang qath’i seperti firman Allah SWT. dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 71 sbb:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar”.

Dalam ayat tersebut disebutkan adanya kewajiban bagi laki-laki dan perempuan untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran tanpa membedakan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin.
™



Baca Selengkapnya ...

Sunat 3

Label: ,

Beda Khitan Laki dan Perempuan
Perempuan juga berkhitan, pada zaman nabi ada tabib yang bertugas menjadi penghkitan perempuan.. liat makalah subki. Nabi menyatakan hanya di oles saja bukan dipotong, tapi kalau dipotong harus sekedar saja asal ada nama dipotong. Semua hadis tetang khitan semua dhaif dan semua berdasrkan ijtihadiyah. Hal ini sesuai dengan hadist bahwa pada masa Rasulullah sudah ada tukang khitan perempuan.

Menurut laporan organisasi kesehatan dunia (WHO) yang dimuat pada majalah Population Report mengungkapkan banyak terjadi komplikasi pada anak perempuan yang di khitan di Afrika. Seperti infeksi dan adanya fistula pada daerah yang dilakukan penyunatan. Hal ini bisa menyebabkan adanya luka sayatan didinding vagina yang tidak jelas manfaatnya yang tentunya bisa merusak hymen. Cara khitan ini telah
menimbulkan permasalahan dan mudharat. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa agama telah meligitimasi praktik khitan yang mengamputasi organ seksual perempuan, dan hokum fiqh tidak dan belum memberikan sanksi bila hal ini terjadi terhadap perempuan.
Sedangkan tujuan perempuan di khitan (sunat) untuk mengurangi sahwat perempuan, karena sifat dari sel telur (ovum) perempuan adalah panas dan dengan digosok saja mereka bisa terangsang, sedangkan mani laki-laki dingin akan tetapi hal ini masih menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh.

Dalam buku Prof. Ida Bagus Gde Manuaba, S.Pog dalam klentit organ perempuan dipenuhi dengan pembuluh darah yang bisa mengakibatkan kegairahan dan rangsangan. Hal ini juga dijelaskan dalam kitab fathul mun’in juga dijelaskan agar bisa menambah gaerah perempuan laki-laki. Artinya masa orgasme (orgasmic phase) sama tercapai.
Ibnu Qayyum al-Jauziah mengatakan pada faraj perepuan terhimpun banyak urat dan ketika digosok, maka gairah seksual perempuan bisa membara. Menurut beliau mani perempuan sifatnya dingin maka untuk membangkitkan gaerag perempuan dengan menggosoknya. Selajutnya beliau mengatakan tentang “tanhaqi” memotong sedikit, bukan semuanya. Ketika disunnat maka gairah itu semakin tinggi. Memang hadist ini dhaif, menurut Imam Nawawi dalam “majmu’ syarah muhazzab” bahwa boleh beramal dengan hadist yang dhaif tetapi “li fadhailil a’mal” tetapi tidak bisa dipakai untuk berhukum akan tetapi menurut Imam Syafi’i bahwa dalil yang kuat yang dipakai untuk kewajiban khitan ini adalah “wattabi’ millata ibrahimma haniifa” dan juga disebut dalam azkar an-Nawawiyah.
Menurut syekh Mahmud Syaltut dalam kitabnya al-Fatawa menyatakan bahwa tujuan khitan laki-laki tidak sama dengan tujuan khitan perempuan Hal ini hanya bertolak ukur pada maslahah (kebaikan) bagi perempuan itu sendiri. Tingkat libido perempuan tidak ditentukan dengan khitan atau tidak, perempuan dikhitan hanya untuk menjaga kehormatan perempuan itu sendiri. Menjaga kehormatan tidak hanya dengan dikhitan tetapi dengan memberikan pendidikan yang baik terhadap mereka . Perempuan dikhitan untuk menjaga kehormatan laki-laki juga. Khitan bukan menjadi ukuran terjadinya hubungan bebas dilingkungan pergaulan mereka, jadi menurutnya khitan tidak wajib bagi perempuan tetapi wajib bagi laki-laki.
Pada zaman nabi saw sudah ada tabib khusus yang bertugas mengkhitan perempuan, hal ini dikaitkan dengan adanya hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ummu Athiah sbb:
“bahwa ada seorang perempuan yang mengkhitan perempuan di Madinah, kemudian Nabi SAW bersabda :”Jangan kamu keterlaluan (memotong bagian kelentit terlalu banyak) karena itu lebih memberikan kepuasan bagi perempuan dan lebih disukai oleh suami”.

Perawi hadist ini adalah Abu Daud sendiri dan mengatakan bahwa hadist ini lemah karena perawinya majhul (tidak dikenal). Menurut Sayyid Sabiq bahwa semua hadist yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah dhaif (lemah), tidak ada satupun yang shahih. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara ex officio khitan perempuan merupakan fatwa yang bersumber dari masalah ijtihadiyah. Terlepas dari dalil-dalil naqli diatas, kita juga tidak bisa melupakan bahwa perumusan-perumusan hokum Islam tidak mesti bersandarkan dalil-dalil naqli semata, tetapi juga ada pertimbangan-pertimbangan hokum lainnya terasuk khitan.
Imam As-Syatibi mengatakan dalam Muwafaqat Ushulus Syari’ah syariat Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dunia dan akhirat. Cita-cita kemaslahatan dapat diwujudkan jika 5 (lima) unsur pokok dapat terpelihara, yaitu : Agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (daruriyatul hams). Maka jika kita mengikuti konsep diatas, tampak bahwa khitan pada laki-laki bertujuan untuk memelihara jiwa, baik suami maupun isteri, dengan pertimbangan ini maka tidaklah keliru jika kita mengatakan bahwa khitan pada laki-laki adalah wajib. Sementara khitan pada perempuan dimaksudkan sebagai control seksual perempuan. Dengan demikian praktik khitan yang membuang sebagian atau seluruh klitoris, bahkan menjahit labia majora menjadi dibenarkan dalam nalar masyarakat patriakhi.
Sejumlah penelitian menemukan praktik pemotongan klitoris dapat menyebabkan perempuan kesulitan orgasme, yang sangat munkin menyebabkan hubungan suami isteri kurang harmonis dan hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan perceraian. Prinsip fiqh mengatakan:”perantara itu sama hukumnya dengan tujuan”. Melihat lima konsep diatas maka mempertahankan keharmonisan rumah tangga merupakan kewajiban bersama untuk memelihara keturunan. Lalu bagaimana dengan praktik yang dilakukan di zaman Rasulullah SAW cara khitan pada perempuan dilakukan dengan cara hanya sekedar mencolek ujung klitoris dengan jarum, sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud diatas.
Tujuan Khitan Ibn Taimiyah
- membendung libido
- kalau tidak sunat maka dia akan meronta
- orang yang tidak disunat akan lebih bergejolak yang tidak berkhitan.
KHITAN pr adalah perpaduan antara budaya dan di yogya khitan dilkukan. Ada di recorder. Departemen kesehatan. UNICEF..5 WANIT, secara medist khitan perempuan tidak ada manfaatnya, WHO sunat perempuan adalah kekejaman. Kltoridotomo, kliotori. Studi terbaru, permpuan yang telah mengalami korban 30 % menjalani bedah cesar utuk melahirkan.

Baca Selengkapnya ...

Sunat 2

Label: , ,

Landasa Hukum
Dasar hukum khitan adalah firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 123 sbb:
“Kemudian kami wahyukan kepadamu agar mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan dia tidak termasuk golongan orang-orang yang musyrik. ( an-Nahl : 123 ).

Terkait khitan perempuan . Ibnu Qudamah –salah seorang ulama mazhab Hambali- Murid Syekh Abdul Qadir al-Jaelani- Ia berpendapat: bahwa dengan berlandaskan firman Allah " " maka pada perempuan juga harus diperlakukan sama dengan laki-laki. Selain itu dalam Hadist lain menyatakan:
Dalam hadist di atas dinyatakan, bahwa dua Khitan yang bertemu mewajibkan untuk mandi, maka dari itu perempuan itu juga pada dasarnya mereka telah wajib berkhitan. Disamping itu Umar ra menceritakan bahwa ada seorang perempuan sebagai tukang sunat melakukan sunatan sesuai dengan bunyi Informasi Umar:
Artinya : bahwa Umar ra berkata kepada seorang tukang khita perempuan biarkan sedikit / sisakan jangan kau habiskan kalau kau mengkhitan
Lengkapnya hadis ini adalah:

Selain itu didapatkan hadist mauquf yang berbunyi:
Selain itu adanya informasi bahwa memang telah ada tukang khitan perempuan pada zaman Rasul, seperti informasi berikut ini:
Demikian juga pendapat Ibnu Taimiyah –ketika ditanya tentang khitanann perempuan- bahwa seorang perempuan wajib ber-khitan sebagaimana laki, berdasarkan dengan hadist mauquf di atas, dengan tujuan untuk melemahkan syahwat mereka, sesuai dengan ungkapannya:
Dalam Fath al-Bariy dijelaskan berbagai pendapat ulama’ tentang Khitan laki dan perempuan, baik yang mendukung dan tidak dan ujung-unjungnya kembali kepada pada tafsiran ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang kisah nabi Ibrahim. (silahkan periksa kembali), dan akhirnya diungkapkan suatu kesimpulan bahwa semua hadits yang menjadi dasar adanya keharusan khitan adalah masih dapat dipertanyakan, sesuai dengan ungkapannya:
Sementara orang perempuan yang ber-khitan pertama kali adalah seorang budak yang diberikan Hajar kepada Nabi Ibrahim, sebagaimana yang diinformasikan oleh Syaukani dalam Fath al-Qadir dengan ungkapannya:
Karena masih samarnya hukum khitan ini, maka para ulama berbeda pandangan seperti yang dapat dilihat pada ungkapan Ibnu Abidin:
Mengenai khitan ini Rasulullah SAW telah bersabda :
“Dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi saw bersabda :”bersih itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, menggunting kuku, dan mencabut bulu ketiak( HR Bukhari dan Muslim).
Empat: riwayat dari Ibn Abbas :”Khitan itu disunnahkan bagi laki-laki dan dimuliakan bagi perempuan.

Dalam hadist diatas disebutkan tentang khitan sebagai pangkal uhsulilfitrah yang lima karena disebutkan pada pangkal hadist. Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Abdurrazak dari ma’mar dari Tsawus dari bapaknya dari Abdullah bin Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lafaz “kalimat” pada ayat:”wa izibtala ibrahima” adalah lima dikepala dan lima dibadan dikepala adalah mencukur kumis, berkemumur, membersihkan hidung, siwak dan menguraikan rambut. Sedangkan lima hal dibadan adalah memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, khitan, mencabut bulu ketiak dan beristinjak.
Dalam sebuah riwayat yang diambil dari Almarwazi menyatakan: setelah Nabi Ibrahim as melakukan khitan, maka orang yang akan melakukan tawaf harus melakukan khitan dulu.
Ajaran khitan ini juga bisa di jumpai dalam agama Nasrani, dalam kitab Kejadian Baru dikatakan bahwa anak laki-laki harus dikhitan pada umur 8 hari setelah kelahiran, kemudian Yesus di khitan. Dalam kitab Injil dikatakan bahwa Adam sudah disunat. Hal ini bisa dilihat dalam Lukas. Paulus juga mengkhitan orang, tetapi ia mengatakan bahwa mau khitan boleh tapi boleh juga tidak melakukan khitan.
Ada juga beberapa riwayat lain yang menceritakan tentang usia Nabi Ibrahim as pada saat melakukan khitan karena beliau melakukannya sendiri. Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang menyatakan Nabi Ibrahim as berkhitan pada usia 70 tahun atau 120 tahun menurut riwayat yang lain. Dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 123 inilah yang menjadi dalil kewajiban laki-laki berkhitan, sedangkan bagi perempun tidak ada dasar hukumnya dalam syariat Nabi Ibrahim as. Dalam kitab Jami’ul ahkam al-qurtubi,
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat sebagimana yang disebukan diatas, hal ini karena ada sebagian ulama memasukkan kewajiban berkhitan adalah termasuk kewajiban yang diabil dari “millah Ibrahim”, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Bari sbb:
Saqawi, Imam Tajludi diriwayatkan bahwa Siti Aisyah dipestakan khitan ini baik laki maupun perempuan. Dalam hadist dikatakan :”Akhifful khitan… nikah. Hadist ini menurut as-Saukani bahwa hadist ini tidak jelas sanadnya. Tetapi dibawahnya dijelaskan Siti Aisyah berbicara pada konteks khitan perempuan.
Pada zaman Nabi Ibrahim as yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 123 ini menujukkan keumuman, yaitu siapa saja, baik dia laki-laki maupun perempuan melakkukan khitan karea Siti Sarah sudah melakukan sumpah untuk itu beliau berkhitan dan ini selanjutnya menjadi tradisi. Dan barang siapa yang bertawaf maka dia harus berkhitan dahulu. “Millah” dalam ayat ini maksudnya adalah at-tauhid, ini dibuktikan dengan konsep ayat tersebut yang diakhiri dengan kalima : “wama kana minal musyrikin”.

Hukumnya
Al-Qur’an tidak menjelaskan masalah khitan ini, akan tetapi ada beberapa hadist yang menerangkan hal tersebut, yaitu :
Pertama: riwayat dari Ustman bin Kulaib bahwa kakeknya dating kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata.”aku telah masuk Islam” lalu Nabi SAW bersabda :”Buanglah darimu rambut kekufuran dan bekhitanlah”.
Kedua: Riwayat dari Harb bin Ismail:”siapa yang masuk Islam, maka berkhitanlah walaupun sudah besar”. Ketiga riwayat dari Abu Hurairah :
Mengenai hukum khitan ini para ulama berbeda pendapat, diantaranya yaitu:
Menurut Imam Hasan Al-Bishri, Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Mazhab Hambali, yang mengacu pada hadist Rasulullah SAW mengatakan bahwa khitan itu sunnah bagi laki-laki dan dimuliakan bagi perempuan.
Menurut Imam As-Sya’bi, Rabi’ah, Al-Auza’i, Yahya bin Saad Al-Ashari, Malik bin Anas, As-Syafi’I dan Ahmad berpendapat bawhwa khitan ini adalah hukumnya wajib. Bahkan menurut Imam Malik :
”barang siapa yang tidak berkhitan maka tidak boleh jadi imam dan kesaksiannya ditolak”.
Tapi ada riwayat lain bahwa Imam Malik mengatakan bahwa hukumnya sunnah. Ibn Musa dari kalangan Hanabilah berkata bahwa hokum khitan adalah sunnah mu’akkadah. Sedangkan Imam Ahmad bahwa hokum khitan itu adalah wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan.
Adapun praktik khitan bagi perempuan dikalangan masyarakat adalah dimaksudkan sebagai control terhadap seksualitas perempuan. Dengan demikian praktik khitan yang memotong sebagian atau seluruh klitoris, bahkan menjahit labia majora menjadi dibenarkan dalam masyarakat patriakhi.
Sejumlah penelitian menemukan, praktik pemotongan klitoris menyebabkan perempuan mengalami kesulitan orgasme. Dengan teori maqasisdus syar’i yaitu untuk kemaslahatan manusia, maka disimpulkan praktik pemotongan klitoris menyebabkan kemudaratan sehingga tidak absah dilakukan.
Praktik khitan dibeberapa Negara Islam dan umat Islam telah menyalahi praktik khitan perempuan yang telah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW yang hanya sekedar membasuh atau mencolek ujung klitoris dengan jarum. Hal ini diperintahkan langsung oleh Rasulullah SAW kepad tukan sunat perempuan yang bernama Ummu Athiyah, beliau bersabda:”jangan berlebihan, karena adalah bagian kenikmatan perempuan dan kecintaan suami”. Bahkan dalam riwayat lain dikatakan :”sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami.(HR. Abu Daud).
Adapun tafsil hokum khitan dalam mazhan Syafi’i adalah sbb:
1. Wajib bagi laki-laki dan perempuan yang sudah balig, berakal dan mampu menahan sakitnya.
2. wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan, ini pendapat Syafi’I, tetapi dianggap syaz karena berlawanan dengan pendpat jumhur Syafi’iyah walaupun sama dengan pendapat Hanabilah.
3. Tidak wajib pada anak-anak dan orang gila, baik laki-laki atau perempuan, karena mereka belum mukallaf dengan kewajiban syari’at.
4. Haram pada 3 (tiga) orang, yaitu
a) Banci musykil yang memiliki dua alat kelamin, karena tidak boleh melukai tanpa ada keyakinan;
b) Mengkhitan orang yang sudah meninggal walaupun sudah balig;
c) Mengkhitan anak yang dilahirkan dalam keadaan terkhitan.

Baca Selengkapnya ...

Sunat

Label: , , ,


KHITAN
(Sunat)

Sebuah Arti

Kata khitan (sirkumsisi, sunat) adalah masdar dari “khatana” sama dengan “Nizal” dan “Khitan”. Ditujukan juga untuk menyebutkan nama bagian kulit yang akan di khitan. Dalam sebuah hadist dikatakan “izaltaqal khitanani Faqad wajabal guslu” apabila dua khitanan bertemu maka wajib mandi. Para ulama lugah (bahasa) mengatakan biasanya kata khitan disebutkan untuk laki-laki sedangkan untuk perempuan disebut “khafdhah”, dan untuk menyebut keduanya disebut “’izarah”. Menurut Ibnu Faris bahwa khitan berasal dari kata “qatha’a” yang berarti memotong. Sedangkan arti lain dari kata “khatan” yaitu jalinan persaudaraan.[1]

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata bahwa orang-orang Arab melakukan khitan sejak dahulu kala, bahkan dulu orang-orang Arab berkeyakinan apabila anak laki-laki lahir pada bulan purnama, maka dia lahir dalam keadaan telah dikhitan.

Khitan menurut istilah adalah mengambil bagian qulfah (kulit yang menutup) kepala zakar laki-laki atau kelentit yang menonjol dibagian atas vagina perempuan.

Ibnu Ruslan dalam Zubad menjelaskan :

“Cabutlah bulu ketiak dan memotong kumis, juga bulu kemaluan dan khitan itu wajib bagi yang sudah balig dengan memotong penutup kepala zakar. Dan pada perempuan dengan menghilangkan sekedarnya dan jeger itu makruh”.

Sejarah

Ditinjau dari sisi sejarah khitan telah dikenal kira-kira 100 tahun SM . Para antropolog menemukan bahwa budaya khitan telah ada sejak pra-Islam yang dibuktikan dengan ditemukannya mumi perempuan di Mesir kono pada abad 16 SM yang memiliki tanda clitoridectomy (pemotongan yang merusk kelamin) . Pada abad ke 2 SM khitan perempuan dijadikan sebagai prosesi perkawinan . Dalam penelitian lain ditemukan khitan telah dilakukan oleh pengembara Smit Hamid dan Hamitoi di Asia Barat Daya dan Afika Timur, beberapa bangsa Negro di Afrika Timur dan Afrika Selatan . Di Indonesia sendiri tempatnya di Museum Batavia terdapat benda kuno yang memperlihatkan zakar telah di khitan.

1. Berbeda dengan antropolog Barat yang lebih menganggap bahwa khitan (sunat) semata-mata untuk tujuan medis atau untuk menjaga kesehatan. Anggapan ini ditentang oleh beberapa orang yang berhasil menemukan relief dan patung-patung peniggalan tentang upacara penyunatan ribuan tahun silam. Pada saat itu penyunatan lebih bertujuan untuk tujuan pengorbanan bagi para dewa dan simbol perlawanan rasa takut kepada roh jahat. Di Yucatan dan Nicaragua darah orang yang disunat di oleskan pada patung berhala oleh pemuka agama. Sedangkan di Afrika, upacara sunat dilakukan secara massal dengan harapan agar memperoleh berkah yang lebih besar dari leluhur.[2]

Menurut para sejarawan Muslim bahwa dalam Islam khitan ini telah sepakat bahwa Nabi berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwattha’ dari Abu Hurairah sbb:

( Ibrahim melakukan khitan pada usia 120 tahun dan beliau hidup setelah itu selama 80 tahun).

Al-Marwazi berkata Al-Musayyib bin Rafi, berkata :”diriwayatkan bahwa lafaz qadum dibaca dua qadum (mukhaffaf) yang berarti kapak yang dipakai oleh Nabi Ibrahim as untuk melakukan khitan . lafaz yang kedua adalah qaddum ( mutsaqqal ) yaitu nama tempat beliau melakukan khitan . Tapi Pendapat pertama yang paling banyak dianut oleh para ulama hadits dan lugah. Ikrimah berkata setelah Nabi Ibrahim as melakukan khitan, maka semua orang melakukan khitan dan menjadi ajaran yang mentradisi secara turun temurun, sampai ada undang-undang bahwa seseorang tidak boleh melakukan tawaf di ka’bah bagi yang tidak berkhitan baik laki-laki maupun perempuan.[3]

Juga ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

(ibrahim melakukan khitan pada waktu berumur 80 tahun disebuah tempat bernaa Qadum”) .

Hadist yang kedua ini lebih kuat karena riwayat ini yang mahfuz dalam hadist riwayat ibn Ajlan dan dikuatkan oleh riwayat A’raj dari Abu Hurairah .

Khitan ini juga di kenal dalam kitab Injil, dalam agama Nasrani khitan ini adalah merupakan ajaran yang harus dilakukan. Dalam kitab kejadian 17 : 12 menganjurkan anak laki-laki dikhitan dalm usia 8 hari. Itu sebabnya nabi Isa as telah dikhitan pada usia 8 hari. Setelah itu beliau dibawa ke Bait Allah di Yerussalem untuk diserahkan kepada Tuhan dan diberkahi oleh Simon.[4] Hal ini juga bersumber pada Imamat 12 : 1. Dalam kitab Injil juga disebutkan bahwa nabi-nabi terdahulu juga telah melakukan khitan diantaranya, yaitu :

1. Adam “maka Musa telah memberi kamu hokum bersunat itu, bukan asalnya dari Musa, melainkan dari nenek moyangmu”.[5]

2. Ibrahim, Ismail dan Ishak;[6]

3. Harun dan Musa;[7]

4. Yahya (Yohanes) dan Yesus di khitan dalam usia 8 hari;[8]

5. Nabi Muhammad SAW. Karena beliau termasuk keturunan nabi Ibrahim as, menurut riwayat yang sahih beliau di khitan pada hari ketujuh dari kelahiran beliau. Tetapi ada juga yang menyebutkan beliau telah di khitan sejak lahir.

Paulus meniadakan hukum khitan, Paulus ini adalah orang yang mengaku-ngaku Rasulnya Yesus dalam kisah Rasul, riwayat yang saling bertentangan sebagaimana yang dicatat oleh Lukas, yang bersumber dari Paulus sendiri. Paulus menghitankan orang lalu ia berkata :”khitan atau tidak, tidak jadi apa-apa” dan akhirnya ia putuskan bahwa khitan itu tidak ada faedahnya.[9]


[1] Lihat lisanul Arab Ibn Manzur hal 26 Jilid 4. Dar Ihya’turats Bairut Libanon

[2] Hal ini juga pernah dilakukan oleh A’isyah sebagaimana dijelaskan oleh As-Sakhawi dalam Maqassid al-Hasanah. Lihat Maqasid al-Hasanah hadits yang ke 43, hal 72, cetakan pertama 1985. Dar Al-Kitab Al-Arabi Bairut Libanon.

[3] Jami’ Ahkam Fiqhiyah Imam Al-Qurtubi jilid 1 hal 39 pada kitab thaharah. Dar al-Kitab Al-Arabi Bairut Libanon.

[4] Lihat Lukas 2 : 22 – 2 : 23

[5] Injil Barnabas 23 : 1 - 5

[6] Kitab kejadian 17 : 24 – 26 dan 21 : 4

[7] Kitab kejadian 12 : 43

[8] Lukas 1 : 59 - 60

[9] Kisah Rasul 16 : 3 dan Korintus 7 : 19.

Baca Selengkapnya ...